Pengaruh Buddha Dalam Pemikiran RA Kartini 

adilnews | 23 April 2024, 07:23 am | 133 views

Bangsa Indonesia baru saja memperingati Hari Kartini pada 21 April. Peringatan ini merupakan penghormatan pada sosok penting dalam emansipasi wanita di Indonesia yakni Raden Ajeng (RA) Kartini. Belakangan banyak orang yang mempertanyakan apa sebenarnya agama RA Kartini? Apalagi dalam salah satu suratnya kepada Nyonya R.M. Abendanon Mandiri pada 27 Oktober 1902, yang diterbitkan dalam buku ”Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang)”, Kartini mengaku dirinya sebagai ”Bocah Buddha” 

Dalam surat itu Kartini menceritakan, saat kecil ia pernah sakit keras. Beberapa kali dokter mencoba mengobati Kartini, tapi tidak ada hasil. Hingga suatu waktu, seorang Tionghoa yang juga pegawai Kelenteng Hian Thian Siang Tee, Welahan, Jepara, menawarinya suatu obatalternatif. Setelah meminum ramuan yang berupa abu pembakaran dari hioswa (alat untuk membakar abu) itu, di luar dugaan wanita kelahiran Jepara pada1879 ini sembuh. 

”Selepas sembuh, Kartini sempat mengunjungi Kelenteng Welahan itu sekali,” ujar Suwoto, salah satu pengurus Kelenteng Dewa Langit itu seperti pernah dikutip Jawa Pos Radar Kudus. Katanya, Kartini ingin melihat ”dewa” yang telah menolongnya sembuh dari sakit.  

Selain itu dalam suratnya, Kartini juga mengaku sebagai vegetarian seperti Buddha. ”Saya ada satu Bocah Buddha, maka itu ada menjadi satu alasan mengapa saya kini tiada memakan barang berjiwa,” tulis Kartini. Kata ”barang berjiwa” itu, menurut Suwoto merupakan makanan hasil pembunuhan. Seperti daging hewan. Sikap vegetarian ini dimulai bermula sejak berumur 14-15 tahun. Namun ia tak memiliki keberanian untuk berterus terang pada keluarganya meski akhirnya memberitahu ibunya dan ditanggapi dengan gembira. 

Pengaruh Buddha 

Agama Buddha memang cukup berpengaruh dalam pemikiran Kartini. Hal itu terlihat dari penggunaan istilah-istilah Buddhis dalam bahasa Belanda dalam suaratnya seperti kata ” Boeddhabeeld ” (arca Buddha), ”Boeddha-kindje” (anak Buddha), ”Boeddhisme” (Buddhisme) dan ”Bodhisatwa” sebagaimana terlihat dari surat-suratnya kepada Ny. Abendanon. 

Dalam situs website Vihara Sakyakirti, digambarkan masa Kartini dibesarkan, agama Buddha baru bangkit kembali setelah tertidur lama sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, dan diperkenalkan kembali di Nusantara dalam balutan tradisi Tionghoa bersama dengan agama tradisi Tionghoa lainnya seperti Tao dan Kong Hu Cu. Pergaulannya dengan etnis Tionghoa itu yang membawa budaya serta agamanya inilah yang mengarahkan Kartini untuk mengenal agama Buddha yang memberikan inspirasi bagi pergolakan batin dan perjuangan bagi kaumnya.  

Dalam suratnya sebanyak 3 kali ia memuji sebuah buku karya Harold Fielding (1859-1917) dari Belanda berjudul ”de Ziel van een Volk” (Jiwa Suatu Bangsa; Inggris: Soul of a People) yang diterjemahkan oleh Felix Orrt ke dalam bahasa Inggris. Kartini nampak terkesan dengan buku karya H. Fielding tersebut sehingga ia perlu mengungkapkannya kepada tiga orang teman asingnya, di antaranya dalam surat kepada Dr. N. Adriani, 10 Agustus 1901; kepada Hilda Gerarda de Booij-Boissevain, 26 Mei 1902; dan kepada Nyonya R. M. Abendanon-Mandri, 5 Juli 1903.  

Buku ”de Ziel van een Volk” (Jiwa Suatu Bangsa) sendiri berisi mengenai pengalaman dan pengetahuan si penulis mengenai ajaran Buddha dan bagaimana masyarakat Birma (Myanmar) menerapkan, menerjemahkan ajaran Buddha tersebut dalam kehidupan mereka. Yang menarik dari buku tersebut terdapat beberapa hal pembahasan mengenai perempuan, di antaranya adalah mengenai kedudukan kaum perempuan yang secara umum setara dengan pria, mengenai perkawinan yang dianggap murni urusan duniawi bukan urusan agama, dan peran perempuan dalam keagamaan pada masyarakat Birma yang ”lebih religius tapi tidak serius” berbanding terbalik dengan kaum lelakinya.  

Tidaklah mengherankan jika dari pembahasan seputar kaum perempuan dalam buku bernuansa agama Buddha karya Fielding tersebut Kartini mendapatkan inspirasi dan dorongan bagi perjuangannya. Seperti yang diyakini oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya ”Panggil Aku Kartini Saja”. Pemikiran Kartini yang kritis yang tertuang dalam surat-suratnya merupakan pemikiran seorang perempuan yang melampaui jamannya. Pemikirannya bukan hanya seputar emansipasi perempuan tetapi juga usaha pencarian nilai-nilai spiritual dalam beragama.  

Kepercayaan Kompleks 

Meski Kartini mengaku sebagai anak Buddha dalam suratnya itu, dan pengaruh Buddha begitu kuat dalam pemikirannya, namun belum ditemukan pengakuan bahwa secara resmi ia menyatakan berlindung pada Tri Ratna. Menurut Suwoto, meski Kartini mengatakan dirinya sebagai “Bocah Buddha”, bukan berarti pindah agama menjadi Buddha. ”Tapi ia meneladani Buddha. Hidup sesuai dengan nilai-nilai Buddha,” ujar pengurus Kelenteng Hian Thian Siang Tee, Welahan ini.  

Masih menurut Suwoto, dengan Kartini pergi ke kelenteng juga bergaulnya Kartini dengan orang dengan beragam latar belakang suku dan agama. Karena itulah, mungkin memberi pengaruh Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan emansipasi wanita. Pikirannya Kartini sudah maju sejak lebih dari 100 tahun yang lalu. 

Jadi boleh dikatakan, kepercayaan Kartini bersifat kompleks. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga bangsawan dengan nilai-nilai budaya Islam Jawa. Disisi lain, ia juga sangat terkesan dengan ajaran Buddha, berinteraksi dengan tradisi spiritual  Tionghoa, dan juga bergaul dengan orang-orang Belanda Kristen, yang tentunya membentuk pola pikirnya hingga akhir hayatnya.  

Kartini tidak membatasi dirinya sebagai seorang keluarga Islam ningrat tetapi menerima kepercayaan yang ada di sekitarnya. Kartini pun tumbuh menjadi perempuan yang cerdas dan kritis. Bahkan Kartini muda pernah mengalami pergulatan batin mengenai sejumlah aturan yang menurutnya tidak masuk akal. Kartini juga tumbuh sebagai wanita dengan rasa ingin tahu yang tinggi. 

Seperti halnya ketika dirinya belajar kitab suci Al-Qur’an yang saat itu hanya menggunakan bahasa Arab tanpa ada terjemahannya. Padahal tak semua orang paham akan makna ayat di dalam Al-Quran. Menurut Dosen Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Johan Wahyudhi pada abad ke-19 Al-Quran memang belum boleh diterjemahkan baik ke dalam bahasa Jawa ataupun Melayu. 

“Jadi satu sisi R.A. Kartini merasa bahwa dia ingin mendalami ajaran Islam, ingin menjadi muslimah yang sejati. Tapi di sisi lain, dia mengalami keterbatasan akses karena memang pendidikan bahasa Arab yang tidak merata di seluruh bangsawan Jawa,” kata Johan, seperti dikutip Liputan6.com. 

Pergolakan itu disampaikan oleh Kartini kepada sahabatnya Abendanon pada 15 Agustus 1902, seperti yang dikutip dalam buku Surat-Surat Kartini oleh Sulastin Sutrisno. Kartini pun menyebut dirinya tidak mau lagi mempelajari Al-Qur’an. 

“Dan ketika itu saya tidak suka lagi berbuat hal-hal yang tidak saya pahami sedikitpun. Saya tidak mau lagi berbuat sesuatu tanpa berpikir, tanpa mengetahui apa sebabnya, apa perlunya, apa maksudnya. Saya tidak mau lagi belajar membaca Al-Qur’an, belajar menghafalkan amsal dalam bahasa asing yang tidak saya ketahui artinya,” tulis Kartini dalam suratnya. Saat itu Kartini juga menduga gurunya juga tidak mengerti arti dari kitab suci itu. 

Meski dinilai terbuka dengan agama lain,  sejumlah pengamat sejarah menilai agama Kartini tetap adalah Islam. Pasalnya, sejumlah pergolakan batin Kartini akhirnya terjawab ketika ia bertemu dengan seorang ulama bernama Kiai Sholeh Darat. Johan Wahyudhi menyebut dari sejumlah buku biografi yang dibacanya, Kartini mendalami agama Islam dari ulama tersebut. 

Sejarawan JJ Rizal menyebutkan surat Kartini menunjukkan keterbukaan pemikirannya mengenai agama-agama yang ada di sekitarnya. Kartini tidak membatasi dirinya sebagai seorang keluarga Islam ningrat tetapi menerima kepercayaan yang ada di sekitarnya. “Ia seorang muslim, terkesan dengan Budha, dan bergaul dengan orang Kristen, makanya pemikirannya terbiasa dengan perbedaan dan terbuka,” ujarnya yang dikutip detik.com. 

Sekalipun menarik menghadirkan sososk Kartini dalam diskursus agama yang dianut olehnya, tapi tidak akan mengubur eksistensinya sebagai salah seorang perempuan yang memiliki peran besar untuk memperjuangkan emansipasi kaum hawa di masanya. Setelah Kartini wafat di Rembang, Jawa Tengah pada 17 September 1904 di usia 25 tahun, kini pemikirannya tentang emansipasi wanita terus bergema dihati kaum wanita Indonesia. (ATIKA). 

 

Berita Terkait