
Refleksi 104 Tahun Berdirinya PKT
Oleh: Fadjar Pratikto
Tanggal 23 Juli 2025 menandai usia 104 tahun berdirinya Partai Komunis Tiongkok (PKT), sebuah partai politik yang telah mendominasi panggung kekuasaan di Tiongkok sejak berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada 1949. Dalam kurun waktu itu, PKT telah menjelma menjadi simbol kekuasaan absolut, mencengkeram semua aspek kehidupan rakyat Tiongkok: dari ekonomi, politik, budaya hingga spiritualitas. Namun sebagaimana hukum sejarah dalam ilmu politik dan ekonomi, tidak ada kekuasaan, tidak ada ideologi, dan tidak ada partai politik yang kekal.
Kini, Tiongkok berada di ambang transformasi besar. Retakan besar telah tampak dalam tubuh kekuasaan yang selama ini tampak kokoh. Krisis ekonomi dan politik kian akut. Secara objektif, negara ini sedang menghadapi tekanan luar biasa baik dari dalam maupun luar negeri. Dan dalam kondisi seperti ini, ideologi komunis yang menjadi fondasi PKT tampak semakin kehilangan daya hidupnya.
Krisis Ekonomi Politik yang Tak Terelakkan
Selama beberapa dekade, legitimasi PKT didasarkan pada keberhasilan ekonomi. Sejak reformasi ekonomi di era Deng Xiaoping, Tiongkok tumbuh menjadi raksasa ekonomi dunia. Namun fase keemasan itu telah berlalu. Sejak beberapa tahun terakhir, berbagai indikator menunjukkan bahwa ekonomi Tiongkok sedang menurun drastis.
Pertumbuhan ekonomi melemah jauh dari angka dua digit seperti masa lampau. Investor asing mulai hengkang. Arus pelarian modal meningkat tajam. Pabrik-pabrik dan toko-toko tutup, utamanya di sektor manufaktur dan properti. Pasar tenaga kerja stagnan, dan angka pengangguran—terutama di kalangan muda dan terpelajar—mencapai titik kritis.
Kebijakan tarif tinggi dari Presiden AS Donald Trump yang kini kembali berkuasa, menambah beban berat ekonomi Tiongkok. Tarif sebesar 125% terhadap berbagai produk asal Tiongkok memperparah posisi daya saing ekspor mereka, memicu overproduksi, dan memperdalam krisis sektor industri.
Dalam teori political economy of development, seperti yang dijelaskan oleh Dani Rodrik dan Albert Hirschman, kekuasaan politik yang tidak mampu mengatasi stagnasi ekonomi akan mengalami delegitimasi cepat. Ketika rakyat tidak lagi menikmati manfaat ekonomi, maka kontrol otoriter yang selama ini dijustifikasi lewat pertumbuhan mulai dipertanyakan.
Di tengah krisis ekonomi yang membelit, PKT juga sedang mengalami pergolakan internal yang tajam. Xi Jinping, pemimpin paling kuat sejak Mao Zedong, telah melakukan pembersihan politik besar-besaran dengan dalih pemberantasan korupsi. Banyak lawan-lawan politiknya disingkirkan dari pemerintahan, militer, dan bahkan sektor bisnis. Namun, strategi ini menimbulkan resistensi kuat di kalangan elite partai dan militer.
Beredar rumor bahwa Xi kini telah dilucuti dari kekuasaan secara diam-diam dan digantikan oleh model kepemimpinan kolektif, mirip era pasca-Mao. Ketiadaan informasi yang transparan, sistem sensor ketat, dan spekulasi yang liar justru memperkuat kesan adanya krisis kekuasaan di tubuh PKT.
Teori dari Milan Svolik dalam The Politics of Authoritarian Rule menyebutkan bahwa konflik elite dalam rezim otoriter merupakan penyebab utama keruntuhan, bahkan lebih besar daripada perlawanan rakyat. Ketika solidaritas elite pecah, maka fondasi kekuasaan pun goyah.
Muaknya Rakyat Terhadap Otoritarianisme
Secara subjektif, rakyat Tiongkok semakin muak terhadap cara PKT menjalankan pemerintahan. Kontrol terhadap kehidupan pribadi, sensor media, pengawasan digital ekstrem, hingga penindasan terhadap kelompok agama dan spiritual seperti Falun Gong, Kristen bawah tanah, Muslim Uighur, dan bahkan para intelektual universitas, membuat rakyat kehilangan harapan.
Kelas menengah, mahasiswa, dan kaum terpelajar yang sebelumnya menjadi pendukung stabilitas kini mulai menunjukkan keresahan. Gerakan bawah tanah tumbuh. Aspirasi untuk demokrasi dan keadilan sosial mulai menyeruak kembali. Kita diingatkan pada peristiwa Lapangan Tiananmen 1989, ketika ribuan mahasiswa berdiri menuntut reformasi politik—dan dibalas dengan kekerasan brutal.
Gerakan Tuidang—gerakan mengundurkan diri dari PKT dan organisasi afiliasinya—terus menggelinding sejak diluncurkan di luar daratan Tiongkok pada 2004. Hingga kini, lebih dari 450 juta orang telah menyatakan mundur dari PKT. Ini adalah manifestasi nyata dari keengganan moral rakyat terhadap ideologi dan kekuasaan partai yang tak lagi memiliki legitimasi etis maupun spiritual.
Sejarah adalah guru terbaik. Uni Soviet, yang dulu menjadi inspirasi bagi PKT, runtuh dalam waktu singkat karena kombinasi dari stagnasi ekonomi, krisis ideologi, dan tekanan reformasi internal. Negara-negara Eropa Timur—Polandia, Jerman Timur, Hungaria—juga mengalami hal serupa.
Teori path dependency dan critical juncture dalam ilmu politik menjelaskan bahwa sebuah rezim dapat runtuh dengan cepat ketika kondisi krisis mencapai titik kritis dan muncul alternatif sistem baru yang lebih menjanjikan bagi rakyat.
Hari ini, Tiongkok tampak mendekati titik kritis itu. Ekonomi macet, elite partai retak, rakyat muak, dan dunia internasional mulai menjauhi Tiongkok. Semua faktor tersebut membentuk perfect storm bagi kehancuran PKT.
Prediksi-prediksi yang dulu menyebut bahwa PKT akan segera runtuh—seperti yang ditulis Gordon Chang—memang belum terbukti di masa lalu. Namun, sebagaimana yang sering dikatakan oleh Nassim Nicholas Taleb dalam teori Black Swan, peristiwa besar sering datang secara tiba-tiba, setelah bertahun-tahun dianggap mustahil.
Keniscayaan Keruntuhan Partai Komunis
Dengan semua kondisi objektif dan subjektif di atas, kita bisa melihat bahwa transformasi besar sedang berada di depan mata. Tiongkok baru tanpa Partai Komunis adalah sebuah keniscayaan sejarah, bukan lagi sekadar harapan.
Pertanyaannya bukan apakah PKT akan runtuh, tetapi kapan dan dalam bentuk seperti apa perubahan itu akan terjadi.
Tiongkok pasca-PKT bukan berarti kehancuran negara. Justru sebaliknya, ini bisa menjadi awal bagi sebuah tatanan politik yang lebih manusiawi, demokratis, dan inklusif. Dengan sejarah peradaban yang kaya, budaya yang agung, dan rakyat yang tangguh, Tiongkok memiliki semua modal untuk menjadi bangsa besar tanpa harus bergantung pada ideologi komunisme yang telah usang.
Tepat di ulang tahun ke-104 PKT ini, kita sebaiknya tidak lagi merayakan kekuasaan yang menindas, tetapi menengok kemungkinan besar munculnya fajar baru. Sejarah tidak pernah diam. Ketika syarat-syarat kehancuran sudah terpenuhi, maka tidak ada tembok kekuasaan yang tidak bisa runtuh.
Menyongsong Tiongkok baru tanpa Partai Komunis bukanlah utopia. Ia adalah kenyataan yang sedang bertunas. Dan dunia, bersama rakyat Tiongkok sendiri, harus siap menyambut babak baru tersebut meski banyak orang yang mungkin meragukan. Sebab, pada akhirnya, tiada ideologi yang abadi. Hukum langit yang akan mewujudkan Tiongkok baru tanpa PKT, tak lama lagi.