Protes Pelaku Pariwisata Atas Kebijakan Larangan Study Tour, Tak Surutkan Tekad Dedi Mulyadi

adilnews | 23 July 2025, 11:26 am | 268 views

Oleh: Rismawati

BANDUNG, ADILNEWS.COM- Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang melarang kegiatan study tour sekolah di seluruh wilayah provinsi menuai gelombang protes besar-besaran dari para pelaku industri pariwisata. Puluhan sopir bus, pengusaha biro perjalanan, pemandu wisata, hingga penyedia jasa wisata alam turun ke jalan dan menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung Sate, kota Bandung, Senin (21/7/2025).

Aksi ini tak hanya melibatkan pelaku pariwisata lokal, tetapi juga pelaku dari luar daerah seperti Yogyakarta, termasuk Asosiasi Jeep Merapi yang selama ini rutin menerima kunjungan siswa dari Jawa Barat. Demonstran bahkan sempat memblokade ruas Jalan Layang Pasupati sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap Surat Keputusan Gubernur tentang pelarangan study tour sekolah.

Tudingan “Piknik Berkedok Pendidikan” Picu Amarah
Gubernur Dedi Mulyadi, atau yang akrab disapa KDM, tetap bersikukuh pada keputusannya. Dalam pernyataannya di media sosial, ia menyebut bahwa demonstrasi para pelaku pariwisata justru mengonfirmasi bahwa study tour selama ini lebih mengedepankan unsur rekreasi ketimbang pendidikan.

“Yang protes itu adalah pelaku kegiatan pariwisata. SK saya tidak melarang kegiatan pendidikan, tapi yang berkedok study tour padahal isinya cuma piknik. Jadi siapa yang merasa dirugikan? Bukan guru, bukan siswa, tapi pelaku bisnis wisata,” kata Dedi melalui akun Instagram pribadinya, Selasa (22/7).

Dedi menegaskan bahwa keputusan ini diambil demi kepentingan rakyat banyak, terutama para orang tua siswa dari kalangan ekonomi lemah yang kerap kali terbebani biaya tinggi untuk kegiatan study tour. Ia mengungkapkan bahwa banyak kasus di mana orang tua terpaksa berutang hingga menjual barang demi bisa membiayai anaknya ikut study tour.

“Tidak boleh anak piknik di atas rintihan orangtua,” tegasnya kepada Kompas.com dalam wawancara via telepon, Senin (24/3).

Namun pelaku industri pariwisata menyayangkan keputusan KDM yang dinilai gegabah dan merugikan ribuan pekerja sektor pariwisata. Ketua Asosiasi Pengusaha Bus Wisata Jawa Barat, Hendra Suparman, menyatakan bahwa pelarangan study tour telah mematikan mata pencaharian banyak orang yang menggantungkan hidup dari kunjungan pelajar.

“Kami bukan hanya bicara soal uang, tapi juga soal lapangan kerja. Ribuan sopir, kernet, pemandu wisata, pegawai hotel, warung makan, semuanya terdampak,” kata Hendra saat aksi unjuk rasa di Bandung.

Ia juga membantah tudingan bahwa kegiatan study tour hanya sebatas rekreasi. Menurutnya, sebagian besar sekolah menyusun kegiatan kunjungan ke museum, pusat sejarah, tempat produksi, dan instansi pemerintahan sebagai bagian dari pembelajaran langsung.

“Kalau semua dianggap piknik, berarti kita juga menafikan proses belajar kontekstual di luar kelas,” tambahnya

Sikap Pemerintah dan Orang Tua yang Terbelah
Di sisi lain, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa kegiatan study tour seharusnya tidak dilarang total, melainkan diatur agar tetap relevan dengan tujuan pendidikan. Ia menilai bahwa pelarangan justru berpotensi membatasi metode pembelajaran yang kreatif dan inspiratif.

Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) turut mengusulkan alternatif berupa tur dalam kota untuk menekan biaya dan tetap memberikan pengalaman edukatif kepada siswa. Sekretaris Jenderal Asita, Budi Rianto, menyatakan bahwa “edutrip” lokal ke museum daerah, pusat kerajinan, atau pabrik lokal bisa menjadi solusi antara bagi sekolah dan pelaku usaha.

“Kami siap berkolaborasi dengan dinas pendidikan untuk mendesain paket wisata edukatif yang tidak memberatkan orangtua,” ujar Budi.

Respon dari orang tua siswa sendiri cukup beragam. Sebagian besar dari kalangan menengah ke bawah menyatakan lega karena tidak lagi harus mengeluarkan dana besar untuk anak mereka. Namun, sebagian dari kelas menengah ke atas menilai kebijakan ini terlalu mengekang dan menyamaratakan kondisi seluruh siswa.

“Saya setuju kalau ada regulasi untuk membatasi biaya. Tapi kalau dilarang total, anak-anak kehilangan pengalaman luar kelas yang penting,” ujar Diah Rahmawati, orang tua siswa kelas 10 di Bandung.

Sementara itu, kebijakan KDM juga mendapat dukungan dari beberapa daerah. Pemerintah Provinsi Banten dan Bengkulu telah mengeluarkan kebijakan serupa. Wakil Gubernur Banten, Achmad Dimyati Natakusumah, mengatakan bahwa kegiatan study tour cukup dilakukan di wilayah masing-masing tanpa harus ke luar kota, demi efisiensi biaya dan keselamatan siswa.

Gubernur Bengkulu, Helmi Hasan, bahkan menginstruksikan larangan menyeluruh dari tingkat PAUD hingga SMA.

Namun, belum semua pihak sepakat. Beberapa sekolah di Jakarta dan Depok masih tetap menjalankan kegiatan study tour, bahkan menabrak aturan yang berlaku. Contohnya, SMAN 6 Depok yang tetap memberangkatkan ratusan siswanya ke Jawa Timur dan Bali. Akibatnya, kepala sekolahnya dicopot dari jabatannya oleh Gubernur Dedi.

Kebijakan larangan study tour ini tampaknya masih akan memicu polemik dalam waktu dekat. Di satu sisi, Dedi Mulyadi ingin melindungi rakyat dari jerat biaya pendidikan terselubung. Di sisi lain, pelaku pariwisata meminta kejelasan regulasi agar mereka tidak mati perlahan akibat pembatasan yang terlalu kaku.

Sejumlah pihak pun mulai menyerukan perlunya dialog terbuka antara pemerintah daerah, pelaku pariwisata, sekolah, dan orang tua siswa. Harapannya, sebuah kebijakan yang adil dan proporsional bisa dihasilkan — yang tetap menjaga muruah pendidikan tanpa mematikan roda ekonomi lokal.

Berita Terkait