
Ir. KPH. Adipati, Bagas Pujilaksono Widyakanigara Hamengkunegara, M.Sc., Lic.Eng., Ph.D. Universitas Gadjah Mada & Seniman/Budayawan Yogyakarta
BEM UGM menyatakan sikap Mosi Tidak Percaya Terhadap Rektor UGM.
Bagi saya, pernyataan BEM UGM ini, sebagai momentum untuk introspeksi diri. Ini sangat menyedihkan dan memalukan.
*Sebagai orang yang pertama kali memunculkan nama Ova Emilia, sebagai kandidat calon Rektor UGM, saya malu dan sedih*.
Saya kira, sikap Mahasiswa UGM tidak berlebihan, justru kritis dan konstruktif.
UGM sebagai lembaga akademik, harus independen, dan netral, pijakan politiknya, hanyalah politik negara. Oknum-oknum UGM justru menyeret-nyeret UGM menjadi bagian dari politik kekuasaan.
Sangat menyolok, di kasus dugaan ijazah S1 Jokowi palsu, kesan saya, UGM menjadi begundalnya Jokowi. Untuk apa? Apa manfaatnya bagi UGM? Cari muka? Menjilat?
Dugaan ijazah S1 Jokowi palsu urusannya Jokowi, bukan urusannya UGM.
Tidak dipungkiri, saat Jokowi berkuasa, lewat Pratikno, banyak orang UGM, yang dikasih jabatan di pemerintahan dan BUMN. Fakta!
Namun, bukan berarti oknum-oknum UGM tersebut bisa/punya hak membawa gerbong UGM untuk menjadi begundal kekuasaan.
Sebagai perguruan tinggi besar dan tua, UGM harus tetap menjaga integritas dan komitmen kebangsaan dan akademiknya, semata mengabdi pada kepentingan kemanusiaan, bangsa dan negara.
Secara internal, tatakelola UGM, saat ini, sangat buruk dan memperihatinkan. Pejabat UGM hanya pintar omong, nggak becus kerja. Maling, pembohong, tukang njiplak karya tulis, dilindungi. Sedang orang jujur dan kritis, disingkir-singkiran, dirampas kenaikan gaji berkala, dijegali naik pangkat, dll. Menyedihkan!
*Saya yakini benar adalah reformasi itu didisain oleh ilmuwan/akademisi, dijalankan mahasiswa dan dinikmati bajingan*.
UGM harus berbenah, kembali mengukuhkan jatidirinya sebagai universitas kerakyatan dan perjuangan. Kuncinya jujur, adil dan egaliter.
*Belajar punya malu dan bisa menjaga kehormatan dan harga diri sebagai akademisi, bukan lonthé
Merdeka