Masih soal “Adili Jokowi”, Apakah cukup hanya berhenti sampai Graffiti saja?

adilnews | 13 February 2025, 13:50 pm | 62 views

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes*

Sebagaimana saya janjikan kemarin, tulisan ini merupakan follow-up atau lanjutan dari judul sebelumnya “Makna Graffiti Adili Jokowi yang marak di berbagai kota Indonesia” kemarin (12/02/25). Jadi kalau kemarin lebih berisi Sejarah Graffiti mulai dari jaman Pra-sejarah di Gua Altamira (Spanyol), Lascaux (Perancis) & Leang-leang (Sulsel, Indonesia), berlanjut ke Jaman Revolusi Kemerdekaan, hingga ke Jaman-now (Jokowi 404-not found), maka kali ini lebih kepada bagaimana kelanjutannya alias apa yang seharusnya dilakukan oleh Rakyat Indonesia kedepannya.

Graffiti yang marak spontan di banyak kota Indonesia saat ini tentu tidak akan muncul begitu saja, ibarat pepatah “tidak akan ada asap tanpa api”. Sebab kalau hanya muncul di satu ataupun dua kota saja, Graffiti “Adili Jokowi” mungkin hanya akibat kelakuan dia yang tidak seberapa, namun ini terjadi secara masif di banyak kota besar Indonesia, mulai dari Solo, Jogja, Medan, Malang, hingga Surabaya dst. Artinya? Banyak pihak yang menjadi “Korban Mulyono” sebagaimana desain kaos yang laris manis saat ini di berbagai lapak e-commerce (Shopee, Tokopedia, Lazada dsb), ini fakta bukan hoax.

Disisi lain, mulai muncul juga upaya pembelokkan fakta terhadap seruan di Graffiti “Adili Jokowi” ini, salahsatunya keluar dari mulut Jokowi sendiri saat diwawancara -secara eksklusif- oleh Najwa Shihab kemarin melalui YouTube Mata Najwa: “Jokowi soal IKN, Gibran dan Adili Jokowi”: youtu.be/u3hjah1ii3o . Dalam video berdurasi 24-menit 46-detik tersebut, Jokowi mengatakan secara khusus dimenit ke-11 sampai 12’30” atau sekitar 90 detik sendiri bahwa Aksi sosial tersebut hanyalah “Ekspresi Kalah Pilpres (?) dan Belum Move-on”, sungguh sebuah jawaban yang sangat kerdil, kalau tidak ingin meminjam istilah khas Rocky Gerung: “Dungu”, karena moso malah ditarik-tarik ke soal Pilpres.

Kemudian meski saya bukan Pakar (mikro) ekspresi atau Psikolog yang bisa menilai Gestur dari Jokowi saat diwawancara diatas, namun setidaknya cukup dengan mencermati Rekaman tayangan NarasiTV secara Visual saja, tidak perlu ilmu Multimedia apalagi Telematika, Gerakan tubuh Jokowi -utamanya kaki- yang terus bergerak cepat naik turun, bahkan oleh banyak netizen dikatakan “tremor” cukup mengganggu dan menyita perhatian. Tidak sedikit komentar yang mengatakannya dengan menohok sebagai “bentuk spontan / tidak sadar jika seseorang cemas, grogi, mau berkata bohong” atau bahkan “mirip gerakan penjahit, jika diberi mesin (jahit) bisa selesai banyak kaos…” ada-ada saja.

Oleh karenanya masyarakat jangan sampai dibenturkan oleh upaya pemutarbalikkan fakta yang malah menarik-narik ke persoalan “Kalah Pilpres & Belum Move-on” sebagaimana kata Jokowi saat diwawancara Nana ini, karena itu jelas gaya dengan mimik khas “Glembuk Solo” sebagaimana sukses dilakukannya lebih sedasa warsa terakhir di Indonesia (Catatan: Penjelasan soal apa sebenarnya arti “Glembuk Solo” ini pernah saya detailkan dalam YouTube Abraham Samad SpeakUp “Waspada Fufufafa Mau Menelikung Kekuasaan Presiden Prabowo”: youtu.be/umJ8RKHqp9M sehingga tidak perlu diulas lagi berkepanjangan disini).

Kembali ke alasan munculnya Graffiti “Adili Jokowi”, jelas karena selama rezim dia berkuasa (2014-2024, bahkan terus diupayakan “perpanjangan”-nya, mulai dari Rekayasa “tiga periode”, “Perpanjangan periode karena alasan Covid” hingga “Penyelundupan konstitusi yang melahirkan Anak Haram konstitusi”, banyak sekali sudah dilontarkan berbagai kritik dan tuduhan terkait ke-(tidak)-bijakan dan tindakannya. Namun kesemuanya tampak tidak mendapatkan perhatian dari Aparat terkait maupun Wakil Rakyat yang seharusnya peduli dengan kondisi kritis yang dialami Indonesia pasca rezim amburadul alias ugal-ugalan tersebut.

Beberapa isu utama yang menjadi sorotan sudah banyak dikemukakan oleh Netizen yang mewakili masyarakat di jagad maya, bahkan ada yang sampai menuliskannya hingga 66 (enam puluh enam) dosa Jokowi. Diantaranya yang paling menonjol adalah: Politik Dinasti dan Nepotisme alias keterlibatan Keluarga dalam Politik, dimana Jokowi dituduh mempraktikkan politik dinasti setelah anggota keluarganya, seperti anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka, bisa sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden. Selain itu, menantunya, Bobby Nasution, bisa juga jadi Gubernur Sumatera Utara, dan anak bungsunya, Kaesang Pangarep, sempat akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah juga jika tidak ditolak oleh people-power didepan Gedung MPR 22/08/14 lalu..

Selanjutnya Pelemahan Pemberantasan Korupsi, tepatnya saat Revisi UU KPK. Dimana Rezim Jokowi dikritik karena melemahkan KPK melalui revisi UU-KPK yang de facto dan de jure mengurangi independensi lembaga tersebut. Kemudian Pembatasan Kebebasan Berpendapat detailnya terkait penggunaan UU ITE, dimana Rezim Jokowi disebut banyak menggunakan UU- ITE untuk mengekang kebebasan berpendapat, dengan beberapa kasus penangkapan individu yang mengkritik presiden. Majalah Tempo juga dalam edisi khususnya tanggal 29/07/24, mengulas 18 poin yang disebut sebagai “Nawadosa” atau “18 (1+8=9) dosa-dosa Jokowi selama rezimnya.

Hal selanjutnya yang kini mulai mangkrak adalah Ide absurd Pemindahan Ibu Kota, dimana Proyek IKN yang memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur menuai hujatan karena tidak termasuk dalam janji kampanye awal dan akhirnya sangat membebani anggaran negara. Belum lagi penanganan Aksi Demonstrasi yang menggunakan tindakan Represif: Rezim Jokowi dikritik atas tindakan represif terhadap demonstran, terutama terkait penolakan terhadap beberapa undang-undang kontroversial. Belum lagi soal Kebijakan Ekonomi, Utang Negara yang sangat meningkat signifikan selama masa jabatannya menjadi sorotan, dengan kekhawatiran mengenai keberlanjutan fiskal.

Kesimpulannya, meskipun berbagai kritik dan tuduhan tersebut muncul, hingga saat ini tidak (atau belum?) ada putusan hukum yang menyatakan bahwa Jokowi telah melakukan banyak pelanggaran hukum, meski jelas bahwa hasil OCCRP menobatkannya sebagai Finalis terkorup dunia beberapa waktu lalu. Belum lagi jika disinggung soal keaslian Ijazahnya yang hingga kini masih jadi misteri, bahkan ditiru oleh Fufufafa yang terbukti 99,9% sungguh Kampungan, Porno, Rasis, namun bisa berkuasa, sangat terwelu alias terlalu. Dengan demikian cukupkah jika kata “Adili Jokowi” ini hanya sebatas Aksi Graffiti di berbagai kota bahkan Demo yang mulai marak? Haruskah Rakyat kembali melakukan People-power sebagaimana aksi 22/08/25 lalu yang berhasil menghentikan Niat Jahat Rezim ketika itu? Gusti Allah SWT tidak Sare, Rakyat juga ada batasnya …

* Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes – Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen

Berita Terkait