Cerita Anak Ratu Penguasa Samodra Yang Dikawal Naga

adilnews | 10 September 2024, 11:05 am | 525 views

Temanku Sarah mendadak bertingkah aneh, dia mengaku sebagai Ibu Ratu Samodra. “Aku ingin menemui anakku yang memakai baju putih itu,” sambil menunjuk kearahku. Begitu aku duduk di depannya, beliau memasangkan “mahkota” yang terbuat dari akar pohon di atas kepalaku.

Itu kisah nyata yg aku alami lima tahun yang lalu saat berada di Tasik. Waktu itu, aku bersama sahabatku Elies diajak temanku, Sarah pulang ke kampung halamannya di daerah Cikatomas, Tasikmalaya, Jawa Barat. Kebetulan pas acara selamatan 40 hari meninggal almarhum ibunya. Setelah menempuh perjalanan yang lancar selama 4 jam dari kota Bandung, kami sampe di Tasik menjelang Magrib.

Setelah selamatan, kami duduk santai sambil ngobrol bersama keluarga Sarah di ruang tamu. Tiba-tiba Sarah berprilaku aneh, berubah posisinya duduk manis dan sopan.

“Assalamualaikum, ini Ibu Ratu. Silakan besok ziarah ke makam orang tua kalian di atas,” tuturnya pelan.

Semua orang yang berada di ruangan tentu kaget melihat prilaku Sarah dan apa yang disampaikannya. Namun kami memang sudah berencana hendak ke makam orang tua Sarah besok pagi. Posisi makam keluarganya tak jauh dari tempat tinggalnya, hanya sedikit naik ke atas bukit.

Paginya sekitar jam 10 kami bertujuh bersama seorang Ustadz berangkat ke makam. Sesampainya di sana, kami menaburkan kembang dan berdoa yang dipimpin oleh Ustadz. Saat sedang berdoa, tiba-tiba Sarah berubah posisi duduk manis dan sopan.

“Assalamualaikum,” sapanya. Pak Ustadz pun membalas, Walaikum Salam sambil bilang, ” Ini siapa?”. Beliau jawab, “Ibu Ratu”. Kemudian beliau ngobrol dengan pak Ustadz dalam bahasa Sunda halus yang aku sendiri gak paham maksudnya.

Intinya “Ibu Ratu” mengatakan mau memberikan sesuatu ke anaknya. Sarah yg kerasukan kemudian jalan kearah mahkota yang terbuat dari akar pohon, trus langsung menuju ke hadapanku dan memakaikan mahkota itu di atas kepalaku. Setelah itu, “Ibu Ratu” berpesan jangan lupa sesampainya di rumah, mesti mandi kembang.

Dalam hati, aku berkata, kok aku dipakein mahkota ini. Apa maksudnya yah? Kok dia bilang aku ini anaknya? Semua pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiranku sepanjang perjalanan pulang dari makam ke rumah Sarah.

Setibanya di rumah, keluarga Sarah menyiapkan kembang di ember berisi air untuk disiramakan ke tubuhku. Sore itu aku pun dimandikan kembang dengan mahkota masih di kepala. Kejadian siang tadi di pemakaman pun menjadi perbincangan kami di malam itu.

Besok siangnya, kami bertujuh berangkat ke Goa Pemijahan dengan harapan sore menjelang Magrib sudah sampe. Situs ziarah ini terletak di Desa Panyalahan, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya.

Aku penasaran pengin kesana karena ada cerita mistik disana yang katanya di goa itu ada tempat peninggalan sejarah para wali berkumpul dan ada ruang dimensi lain yang bisa tembus ke Mekah.

Dalam perjalanan, tiba-tiba Sarah kembali kerasukan dan minta dipetikin bunga berwarna kuning yg berada di pinggir jalan. Kebetulan posisi pohon bunga itu dekat aku duduk sehingga bisa langsung kupetik dari samping mobil.

Saat itu senja mulai temaram, kami akhirnya mampir dulu di dekat Pantai Cikalong, sebagian besar mau sholat Magrib. Sementara mereka ke mushola, aku memilih duduk sambil merokok di pinggir pantai dekat plang yg bertuliskan “Dilarang Berenang”. Ponakan Sarah yg masih remaja ikut menemaniku duduk disitu.

Tiba-tiba dari kejauhan, ada kereta kencana muncul dengan suara gembrincing yg sangat kuat kudengar. Semakin dekat kereta kencana itu menuju kearahku menyusuri pinggir pantai. Ponakan Sarah juga mendengar bunyi gembrincing suara kereta kuda. Tapi dia tidak melihat apa-apa.

Anehnya aku bisa melihat dengan jelas seorang kusir sedang mengendarai kereta kencana berkuda, namun tidak tampak siapa penumpang yg berada di dalamnya. Hingga akhirnya kereta itu hilang dari pandanganku, entah kemana tujuannya.

Tak lama setelah itu, dari kejauhan datang seorang lelaki tua menyusuri pantai. Saat mendekati kami, dia menyapaku, “Mau ke Goa Pemijahan yah Neng?”. Sontak saja aku mengiyakan. “Nanti Neng disana akan ditemui kuncen anak kecil,” tutur lelaki tua itu dan pergi begitu saja berlalu dari pandanganku.

Tak lama kemudian Elies, Sarah dan lainnya bergabung duduk di tepi pantai Cikalong. Saat kami sedang menikmati pemandangan laut yg semakin gelap, tiba-tiba gelombang ombak besar menyambar kami. Semua histeris terbawa ombak ke tengah Samodra Selatan. Anehnya meski aku sadar terbawa ke dasar Samodra, tapi tidak ada perasaan takut sedikit pun. Aku dengan tenang menikmati suasana di kedalaman Samodra.

Di luar dugaan, aku melihat pemandangan di dimensi lain seperti kota, ada banyak manusia di dasar laut sedang beraktivitas. Aku penasaran ingin melihat lebih dekat, benar-benar manusia seperti kita, sedang beraktivitas, ada orang yang cantik dan yang jelek.

Namun dalam waktu tak lama, tiba-tiba ombak besar kembali melempar kami ke daratan, semua selamat. Hanya basah kuyup pakaiannya. Sebagian besar sepatu dan sandalnya hilang terbawa ombak. Hanya sepatuku yang masih utuh sepasang. Kami pun terpaksa harus ganti pakaian karena semuanya basah.

Merasa tak aman berada di pantai, kami langsung melanjutkan perjalanan ke Goa Pamijahan. Selama dua jam kami tempuh perjalanannya. Di tengah perjalanan kami sempat mampir ke warung pinggir jalan untuk makan malam.

Sesampai di Goa Pemijahan, kami langsung mengetuk pintu rumah juri kunci setempat. Di luar dugaan kuncen yang keluar anak lelaki kecil berusia sekitar 15 tahun, persis seperti yang dikatakan kakek di pinggir pantai Cikalong. Juru kunci cilik ini yang mengantarkan kami masuk ke dalam Goa Pemijahan melihat-lihat suasana.

Usai ritual doa, kami dibawa ke suatu ruangan yang disebutnya “Singgasana Ratu”. Disitu ada batu alam berbentuk kursi yang tidak terlalu lebar dudukannya. Konon perempuan yang bisa duduk di singgasana “Kursi Ratu” itu berarti masih ada keturunan Ratu.

Semua perempuan rombongan kami yang berjumlah lima orang mencoba menduduki “Kursi Ratu” itu. Dua orang yang berbadan agak gemuk sudah pasti gak bisa menduduki. Dua lainnya yang badannya langsing pun gagal. Anehnya giliranku, kursi itu berhasil kududuki dengan sempurna.

Teman-temanku sudah pasti kaget. Juru kunci pun menaruh hormat kepadaku sambil berujar, “Ibu berarti ada keturunan Ratu”.

Di tengah malam, kami pun pamit kepada Juru Kunci untuk pulang ke rumah. Karena semua kecapean, aku ngambil-alih kendali mobil menyetirnya. Saat mobil mulai jalan menurun, aku melihat dengan sangat jelas ada Naga Besar berwarna kuning keemasan yang melayang di langit seperti ngikuti mobil kami. Namun hanya aku yang bisa melihat Naga itu mengawal perjalanan kami pulang, yang lainnya pada ketiduran.

Sesampainya di rumah Sarah, Naga itu mendadak hilang begitu saja seperti ditelan awan. (Risma/BERSAMBUNG)

Berita Terkait