
Oleh: Fadjar Pratikto
Dua pekan lalu, Beijing kembali menggelar Forum Xiangshan ke-12 pada 17–19 September 2025 di Pusat Konvensi Internasional Beijing. Forum ini diklaim sebagai wadah dialog keamanan internasional, namun para analis menilai acara tersebut lebih tepat dipandang sebagai alat politik Partai Komunis Tiongkok (PKT) untuk memperluas pengaruh globalnya.
Forum Xiangshan secara luas dianggap sebagai tandingan Dialog Shangri-La di Singapura, forum keamanan paling bergengsi di Asia yang selama dua dekade terakhir menjadi arena utama bagi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya dalam membahas isu strategis kawasan. Jika Shangri-La mencerminkan dominasi narasi Barat, maka Xiangshan hadir untuk menawarkan narasi alternatif yang dikontrol Beijing.
Retorika perdamaian, agenda tersembunyi
Dengan tema resmi “Meneguhkan Ketertiban Internasional dan Mempromosikan Pembangunan Damai Bersama”, Forum Xiangshan tahun ini menampilkan sesi pleno, panel diskusi, dialog tingkat tinggi, serta seminar bagi perwira dan akademisi muda. Agenda-agenda tersebut dibingkai sebagai komitmen Tiongkok terhadap perdamaian global.
Namun menurut laporan The Epoch Times, forum ini tak lebih dari wadah propaganda PKT. Retorika perdamaian hanya menutupi tujuan sesungguhnya: memperluas pengaruh militer Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), memperkuat posisi Tiongkok di negara-negara Selatan (Global South), dan mendorong tatanan dunia alternatif yang dipimpin Beijing untuk menggantikan tatanan internasional berbasis aturan yang selama ini dipimpin AS.
Kontradiksi itu tampak jelas. Forum digelar hanya beberapa minggu setelah Beijing mengadakan parade militer besar-besaran. Dalam pidato pembukaannya, Menteri Pertahanan Dong Jun menegaskan kembali ambisi “penyatuan” Taiwan ke Tiongkok, menyebutnya sebagai bagian integral dari tatanan internasional pascaperang—pernyataan yang justru menyoroti watak agresif Beijing.
Sekitar 1.800 delegasi dari 100 negara menghadiri Forum Xiangshan 2025, termasuk pejabat senior dari PBB, ASEAN, dan Palang Merah Internasional. Negara-negara berkembang menjadi sorotan khusus dengan dimasukkan secara resmi dalam agenda pleno untuk pertama kalinya.
Sejumlah tokoh hadir, termasuk Menteri Pertahanan Singapura Chan Chun Sing, perwakilan dari Vietnam, Rusia, Prancis, Nigeria, dan Brasil. Sebaliknya, AS hanya mengirim atase pertahanan dari kedutaannya di Beijing. Level kehadiran yang rendah ini menunjukkan sikap dingin Washington terhadap forum buatan Beijing, berbeda dengan Shangri-La yang selalu dihadiri pejabat tinggi pertahanan AS.
Menurut Raymond Kuo, peneliti senior RAND Corporation, “AS lebih suka Shangri-La, China lebih suka Xiangshan. Preferensi itu terlihat dari siapa yang mereka kirim.”
Saingi Shangri-La, kuasai Global South
Tujuan strategis utama Beijing adalah menjadikan Forum Xiangshan sebagai panggung saingan Shangri-La. Melalui forum ini, Beijing berupaya menampilkan PLA sebagai kekuatan utama pembentuk masa depan keamanan internasional.
Dengan menekankan partisipasi negara-negara Global South, Beijing menampilkan dirinya sebagai pemimpin negara-negara berkembang yang seringkali merasa terpinggirkan di forum Barat. Retorika yang dibawa Xi Jinping dan pejabat Tiongkok menggambarkan Beijing sebagai mediator netral yang lebih adil dibanding Washington.
Namun, analis menilai strategi ini hanyalah cara PKT memperluas pengaruhnya dari ranah ekonomi ke ranah keamanan. Dengan teknologi militer, proyek infrastruktur, hingga sistem pengawasan digital, Beijing mencoba memikat negara-negara Selatan dengan iming-iming harga murah dan bantuan finansial.
Forum Xiangshan juga dijadikan panggung untuk mempromosikan berbagai inisiatif global Xi Jinping, mulai dari Global Development Initiative (GDI), Global Security Initiative (GSI), Global Civilization Initiative (GCI), hingga Global Governance Initiative (GGI) yang baru diumumkan September ini.
Jenderal Zhang Youxia, Wakil Ketua Komisi Militer Pusat, dalam jamuan makan malam forum menegaskan bahwa GGI adalah “panduan strategis untuk reformasi tata kelola global.” Dengan kata lain, forum ini berfungsi sebagai saluran pemasaran politik PKT untuk memperluas legitimasi inisiatif Xi.
Namun, para pengamat menekankan bahwa semua inisiatif itu bermuara pada tujuan tunggal: membangun tatanan dunia baru yang dipimpin PKT, bukan tatanan yang lebih adil sebagaimana diklaim.
Melalui GSI, Beijing memperluas keterlibatannya ke isu kontraterorisme, keamanan siber, biosekuriti, hingga teknologi baru. Tiongkok mengekspor teknologi pengawasan, melatih perwira asing, bahkan melakukan patroli gabungan di luar negeri. Langkah-langkah ini tidak hanya melindungi kepentingan luar negeri Beijing, tetapi juga menyebarkan norma keamanan ala PKT, memberikan akses intelijen, serta memperkuat cengkeraman politik.
Bagi banyak negara berkembang, teknologi Tiongkok dianggap murah, efektif, dan mudah diakses. Meski Barat memperingatkan risiko penyalahgunaan, sejumlah pemerintahan justru memanfaatkannya untuk menekan oposisi dan perbedaan pendapat, memperkuat narasi Beijing bahwa Tiongkok adalah mitra keamanan netral yang lebih bisa dipercaya dibanding AS.
Rivalitas terbuka dengan AS
Meski narasi resmi forum menekankan perdamaian, rivalitas AS–Tiongkok di Asia kian nyata. Washington tidak menaruh bobot besar pada Xiangshan, tetapi tetap memperkuat jejaring keamanan tradisionalnya di kawasan, dari Quad (AS, Jepang, India, Australia) hingga AUKUS (AS, Inggris, Australia).
Di lapangan, ketegangan juga meningkat. Pada September ini, kapal induk terbaru Tiongkok, Fujian, melintas di Selat Taiwan menuju Laut China Selatan dalam manuver militer. Di saat bersamaan, AS dan Jepang menggelar latihan gabungan dengan sistem rudal jarak menengah Typhon, langkah yang langsung dikecam Beijing dan Moskow.
“Forum Xiangshan adalah panggung propaganda. Diskusi nyata antara Beijing dan Washington terjadi lewat saluran tertutup, bukan di depan kamera,” kata Ying-Yu Lin, profesor Universitas Tamkang, Taiwan.
Bagi Xi Jinping, forum ini juga berfungsi menutupi krisis ekonomi-politik dalam negeri. Dengan pertumbuhan ekonomi melambat, pengangguran pemuda melonjak, krisis properti memburuk, dan protes sosial mulai bermunculan, Beijing butuh panggung global untuk menunjukkan bahwa Tiongkok masih kekuatan besar.
“Di tengah fondasi ekonomi yang rapuh, Xi harus membangun citra eksternal yang kuat. Xiangshan adalah salah satu instrumen propaganda itu,” ujar Elizabeth Freund Larus dari Pacific Council.
Namun, skeptisisme tetap tinggi. Banyak negara Asia Tenggara waspada terhadap janji perdamaian Beijing, terutama karena manuver militer agresif Tiongkok di Laut China Selatan.
Forum Xiangshan menegaskan bahwa perebutan pengaruh antara AS dan Tiongkok tidak lagi sekadar di bidang ekonomi atau teknologi, tetapi kini telah merambah ranah pertahanan dan tatanan internasional.
Melalui forum ini, Beijing berusaha membingkai dirinya sebagai kekuatan damai dan inklusif. Namun pada kenyataannya, ia adalah instrumen PKT untuk memajukan agenda global yang melemahkan dominasi AS.
“Forum Xiangshan bukan forum independen seperti Munich atau Shangri-La. Ini forum yang sepenuhnya dikontrol PKT untuk mempromosikan norma dan kepentingan rezim,” tulis Antonio Graceffo di The Epoch Times.
Bagi Washington, Shangri-La tetap arena utama untuk memperkuat aliansi. Bagi Beijing, Xiangshan adalah simbol bahwa mereka bisa menulis aturan main sendiri. Namun, satu hal jelas: Asia kini menjadi panggung utama perebutan pengaruh global, dengan PKT berusaha keras menutupi krisis internal melalui proyeksi kekuatan eksternal.