Sang Maestro Azmir Azhari, Berkarya Dalam Kesunyian

adilnews | 8 April 2024, 07:24 am | 301 views

Oleh: Fadjar Pratikto- Adilnews

Malam semakin larut, seorang pematung tua belum juga tidur. Pikirannya sedang gundah gulana. Keheningan malam membawa lamunannya kepada setiap ujian hidup yang sedang ia hadapi. Pesanan patung sedang sepi dan sampai hari ini ia belum juga memiliki uang untuk meneruskan atau pindah kontrakan ke tempat yang lebih layak. Jangankan buat bayar sewa rumah, buat bertahan hidup sehari-hari pun ia masih serba kekurangan. Kini sang legenda seni patung Indonesia ini tinggal bersama istri dan seorang anaknya di sebuah kontrakan rumah tua di daerah Pondok Gede, Kota Bekasi.

Begitulah nasib pilu yang selama ini dijalani oleh maestro patung nasional, Azmir Azhari. Pematung Jakarta kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, 1 Januari 1953 ini sedang menghadapi masalah ekonomi yang serius. Bukan karena ia malas berkarya, tapi kesulitan itu terjadi dikarenakan belum adanya bantuan pendampingan dari pemerintah dan pemprov DKI Jakarta yang bisa secara riil mampu mengangkat nama dan usahanya di bidang seni patung realis klasik agar bisa dilirik oleh para pecinta seni tanah air.

Kurangnya apresiasi dari negara membuat penawaran atas karyanya belum dihargai secara layak dan profesional. Pemerintah sepertinya masih abai terhadap masa depan seniman yang merupakan aset bangsa ini, padahal Azmir adalah bagaikan legenda seni patung Indonesia yang memiliki kemampuan seni bertaraf internasional.

Maestro Patung

Selama ini Azmir dikenal sebagai pematung yang memiliki ciri khas gaya realis dan impresionis klasik. Patung-patung potretnya terlihat begitu hidup dan penuh dengan kekuatan emosi yang dalam. Setiap ia membuat patung tokoh pahlawan dan tokoh nasional, tingkat kemiripannya begitu tinggi dan tak ditemui pada karya-karya patung lain di Indonesia. Ia ingin menjadikan karyanya tersebut sebagai media pendidikan sejarah, seni, dan kebudayaan Indonesia. Indonesia, baginya, pantas memiliki patung-patung berkualitas tinggi yang mampu menginspirasi generasi mudanya untuk mencintai para pahlawannya.

“Sebab, seni patung yang saya dalami, sebagai catatan sejarah dari para pahlawan yang dapat direkam rupanya, bentuknya, wajahnya, sikapnya, geraknya, proporsi tubuhnya menjadi satu bentuk tiga dimensi yang diabadikan. Sehingga, orang melihat, wah ini pahlawan saya,” ungkap Azmir.

Azmir mulai belajar mematung semenjak Sekolah Dasar, dan ia mempelajarinya secara otodidak dengan membuat patung-patung dari tanah liat di pinggir danau di belakang rumah masa kecilnya di Minas, Riau. Kegemarannya membuat patung ia lakukan semata-mata untuk menghibur adik dan teman-teman sebayanya, tanpa tahu kemampuan mematungnya inilah yang akan membentuk jalan hidupnya di masa depan.

Selepas lulus SMA, Azmir merantau dari kampungnya di Payakumbuh ke Yogyakarta untuk belajar seni lukis di Jurusan Seni Patung Fakultas Seni Rupa Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ASRI Yogyakarta pada tahun 1973. Namun keinginannya untuk menjadi pelukis goyah hanya berselang satu tahun. Ia berputar haluan untuk menekuni seni patung pada tahun 1974 setelah perjumpaannya dengan sosok Empu Ageng Edhi Soenarso, pematung legendaris kesayangan Bung Karno. Edhi adalah pematung maestro Indonesia yang melahirkan karya-karya monumental seperti Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Jakarta, serta Patung Dirgantara di Pancoran, Jakarta.

Pertemuan dengan Edhi berawal saat Azmir ditugaskan oleh jurusan seni lukis untuk membuat sketsa secara maraton yang menggambarkan geliat kehidupan masyarakat di Kota Yogyakarta. Ia pergi ke sejumlah tempat untuk membikin sketsa dan mengakhirinya di kampus jurusan seni patung. “Waktu saya bikin sketsa di jurusan seni patung, Ketua jurusannya melihat sketsa saya, beliau bilang kamu kalau ada di seni patung nilainya bisa dapat A. Kamu mau nggak masuk seni patung saja?” kenang Azmir mengingat kembali percakapan dengan Edhi Soenarso di Yogyakarta.

Sejak itu Azmir pindah dari jurusan seni lukis ke seni patung. Prestasinya terus meningkat di jurusan seni patung sehingga ia mendapat perhatian besar dari para guru dan teman-teman kuliahnya. Edhi Sunarso pun mendidiknya secara langsung dengan memintanya untuk tinggal dan belajar mematung di rumahnya di Karangwuni, Yogyakarta. Sang guru sering juga mengajak Azmir untuk bekerja magang pada Edhi saat mengajar di STSRI ASRI Yogyakarta. Selanjutnya pada periode 1979-1981, Azmir pernah diminta menjadi asisten pengajar Edhi Sunarso.

Karena bakatnya sebagai pematung menonjol, Azmir kerapkali mendapatkan panggilan proyek dari sejumlah dosen lainnya untuk mengerjakan proyek-proyek di berbagai daerah. Tak terkecuali, pesanan itu datang dari Edhi sendiri. Salah satunya, Azmir pernah diminta membuat patung Kapten Pierre Tendean yang disimpan di Museum Satria Mandala, Jakarta dan Monumen Puputan Badung di Denpasar, Bali.

Pada tahun 1982, Azmir pamit kepada Edhi Sunarso untuk berkarir mandiri. Ia harus mengurus adik-adiknya yang ikut merantau mencari pekerjaan, sedangkan saat itu usaha seni patung di Yogyakarta sedang mengalami stagnasi. Walau berat meninggalkan Edhi yang sudah seperti ayahnya sendiri, ia tetap berangkat untuk mencoba peruntungannya di Ibukota sebagai pematung mandiri di Pasar Seni Ancol, Jakarta.

ko

Karya Fenomenal
Salah satu karya Azmir bersama pematung lainnya yang cukup fenomenal adalah membuat Relief Baluwarti di pintu gerbang masuk Taman Mini Indonesia Indah pada tahun 1981. Relief pesanan Ibu Tien Soeharto itu menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia sejak masa Majapahit hingga Konferensi Asia Afrika. Azmir bersama sahabat lamanya Kasman KS Piliang menjadi seniman penanggung jawab mega proyek garapan seniman Bandung But Muchtar dan Surya Pernawa itu.

Setelah hijrah ke Jakarta, Azmir pun mengerjakan beragam proyek patung yang sebagian besarnya adalah pesanan. Di kios kecilnya ia menerima tamu-tamu tokoh dari dalam dan luar negeri yang memesan patungnya. Dari patung potret yang berukuran kecil sampai patung monumen realis yang berukuran raksasa seperti Patung Jenderal Soedirman setinggi 10 meter yang menjadi ikon Kota Purbalingga.

Karyanya yang begitu detail dan terlihat nyata menarik perhatian sejumlah pemerintah daerah untuk memesan patung untuk dijadikan ikon kota mereka. Salah satunya adalah patung maskot Jakarta yaitu ‘Elang Bondol dan Salak Condet’ yang menandai enam titik perbatasan Provinsi DKI Jakarta.

Setelah sekian lama berkarya di Pasar Seni Ancol, Azmir mulai tahun 2013 memfokuskan pencarian di masa tuanya pada makna realisme yang mendalam dan memindahkan workshopnya ke tempat tinggalnya di Kebon Jeruk Jakarta Barat untuk memudahkannya dalam berkarya dan memulihkan kondisi kesehatannya yang sempat terserang penyakit jantung.

Disitulah pematung kawakan ini membuat maket patung Didi Kempot di halaman rumah kontrakannya di Kebun Jeruk pada tahun 2020. Di halaman rumah itu juga ada deretan maket-maket patung tokoh-tokoh hasil karyanya antara lain patung Jenderal Sudirman di Purbalingga, Taufiq Kiemas, Prof. Dr. H. Tabrani Rab, tokoh pengobatan Tiongkok Li Shao Bo, Ibu negara Ainun Habibie, dan beberapa karya abstraknya.

Sebagai seorang seniman patung, Azmir menyadari nama besar bukanlah jaminan untuk bisa mendapatkan kehidupan yang layak. Hidupnya di Kebon Jeruk walau penuh kebahagiaan tetapi juga dipenuhi cobaan ekonomi yang begitu berat dikarenakan permohonannya untuk mendapat pendampingan pemasaran oleh negara dan pemerintah provinsi DKI Jakarta belum juga terwujud. Kondisi inilah yang membuatnya harus berjibaku sendirian memasarkan karyanya lewat sosial media dengan dibantu oleh anaknya.

Walau melewati masa-masa yang sulit, Azmir tak gentar dan terus mematung bahkan saat pandemi melanda Jakarta yang membuat bisnisnya luluh lantak dan proyek-proyeknya dibatalkan oleh para pemesan. Setelah bertahan hampir selama setahun di masa PSBB, ia dan keluarganya terpaksa terusir dari kontrakan yang ia telah tinggali selama bertahun-tahun itu. Demi bertahan, ia pasrah dipindahkan oleh seorang kenalannya ke sebuah kontrakan rumah tua di daerah pinggiran ibukota yang begitu jauh dari keluarga besar dan rumah lamanya. Walau begitu, Azmir tetap yakin bahwa ia akan kembali tinggal di Kebon Jeruk dan berkarya lagi di Jakarta seperti dulu lagi.

  • ko

Pada 2021 badan kebudayaan Bentara Budaya dibawah Kompas Gramedia mempercayakan Azmir untuk membuat patung pendiri Kompas Gramedia yaitu Jakob Oetama. Lewat patung perunggu itu ia mencurahkan seluruh bakat dan kemampuannya. Patung itu sekarang berdiri tegak di Bentara Budaya Jakarta, dan menjadi tolak ukur seni patung realis di Indonesia. Keindahan patung Jakob Oetama dan filosofinya yang mendalam mendapat pujian banyak tokoh seni dan budayawan.

Azmir juga membubuhkan tulisan ”Providentia Dei” di sisi kiri karya tubuh patung bust atau patung dada Jakob Oetama (1931-2020). Ia ingin mempersembahkan figur pendiri harian Kompas, sekaligus memberi makna mendalam tentang apa yang sering diucapkan Jakob, yakni providentia dei atau penyertaan Ilahi, penyelenggaraan Allah. Azmir merasa semua ujiannya selama ini adalah perjalanan yang menempa dirinya untuk menjadi pematung yang lebih hebat. Perlahan kisah dan kiprahnya selama 46 tahun di dunia seni rupa Indonesia yang sekian lama luput dari publikasi mulai terangkat. Masyarakat mulai mengenal bakat hebat yang dimiliki Jakarta ini.

Meski dedikasi Azmir pada seni patung sudah sangat tinggi, apresiasi yang dia terima masih jauh dari kata pantas. Kondisi ekonominya pun masih jauh dari kata cukup. Bahkan, dia bersama keluarganya masih tinggal di rumah kontrakan tua itu. Usulan dan penawaran karya-karyanya ke pemerintah tak ada yang kunjung mendapat respon dan tindaklanjut walau pandemi Covid-19 yang melanda tanah air selama beberapa tahun itu telah usai. Hal ini berimbas pada berbagai proyek karya patungnya yang tak selesai hingga kini, salah satunya adalah patung almarhum Didi Kempot yang pernah digagas oleh Komunitas Sobat Ambyar, Pemprov Jawa Tengah, dan Pemkot Surakarta di 2020 lalu.

Namun Azmir belum menyerah di usianya yang sekarang genap 70 tahun. Ia masih berencana membangun patung-patung pahlawan dan tokoh kebudayaan di negeri yang ia cintai ini. Ia ingin kembali berperan serta aktif dan turut andil dalam pembangunan Indonesia. Impian itu ia sampaikan langsung kepada Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria yang mengunjungi kontrakannya pada 25 Juni 2022 di Pondok Gede, Kota Bekasi. Riza yang baru berkesempatan bertemu berharap Azmir bisa terus berkiprah sebagai pematung di kota Jakarta dan memajukan seni dan kebudayaan di Indonesia dan juga dunia.

Menjelang Hari Seni Sedunia pada 15 April mendatang Azmir pun berpesan kepada para seniman patung muda. “Jadikanlah karya seni patung kita sebagai misi kebudayaan yang bukan hanya mempunyai estetika tapi juga makna yang mendalam, karena seni adalah realita kehidupan sesungguhnya,” tuturnya seperti dikutip oleh majalah Historia.

Berita Terkait