
JAKARTA, ADILNEWS.COM- Proyek mercusuar Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh yang digadang-gadang sebagai simbol modernisasi transportasi di era Presiden Joko Widodo kini kembali menjadi sorotan. Alih-alih menghasilkan keuntungan, proyek yang menelan biaya ratusan triliun rupiah ini justru menggerus keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hingga Rp 1,6 triliun pada semester I 2025.
Kerugian ini tercatat dalam laporan keuangan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PT PSBI) — entitas yang menaungi empat BUMN besar dalam proyek KCJB. Angka merah tersebut menambah deretan kerugian sebelumnya sebesar Rp 4,19 triliun sepanjang 2024.
Konsekuensinya, keuangan negara ikut tertekan. Sebab, sebagian besar dana pembangunan KCJB berasal dari pinjaman luar negeri yang dijamin pemerintah, APBN, dan modal konsorsium BUMN.
BUMN Terdampak Berat
Dimulai pada 2016, proyek KCJB awalnya diperkirakan hanya menelan biaya Rp 86,67 triliun. Namun, kenyataannya membengkak menjadi US$ 7,27 miliar atau sekitar Rp 112 triliun. Audit bersama Indonesia-Tiongkok mengungkap adanya cost overrun sebesar US$ 1,2 miliar (Rp 18,02 triliun) akibat pembebasan lahan, perubahan desain, dan eskalasi harga material.
Mayoritas pembiayaan disokong oleh pinjaman China Development Bank (CDB), sisanya dari modal BUMN dan APBN. Dengan bunga pinjaman yang tinggi, beban cicilan kini menjadi masalah serius bagi konsorsium.
Kerugian operasional Whoosh membuat empat BUMN yang tergabung dalam PT PSBI harus menanggung rugi secara proporsional. PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai pemimpin konsorsium, dengan kepemilikan 58,53% saham PT PSBI, pada semester I 2025 harus menanggung rugi Rp 951,48 miliar.
Pada 2024, KAI bahkan tekor Rp 2,23 triliun hanya dari pos kepemilikan di PSBI. Kondisi ini mengancam likuiditas dan kemampuan investasi KAI pada proyek strategis lainnya.
Empat BUMN yang terlibat di PSBI adalah:
* PT KAI (pemimpin konsorsium)
* PT Wijaya Karya
* PT Jasa Marga
* PT Perkebunan Nusantara VIII
Dari pihak Tiongkok, lima perusahaan raksasa bergabung dalam konsorsium China Railway, termasuk China Railway International dan CRRC Corporation Limited. Struktur kepemilikan KCIC: 60% PT PSBI, 40% konsorsium Tiongkok.
Kerugian BUMN tidak hanya menjadi masalah perusahaan, tetapi juga membebani APBN. Sebagai pemegang saham, BUMN membutuhkan tambahan modal dari negara untuk menopang arus kasnya. Beban bunga pinjaman luar negeri yang tinggi berpotensi menggerus ruang fiskal APBN di tahun-tahun mendatang.
Pengamat BUMN menilai, pola “penugasan politik tanpa hitungan bisnis matang” menjadi penyebab utama terjerembabnya proyek ini. “BUMN kita dipaksa memikul beban proyek prestisius yang secara komersial belum tentu layak. Ujungnya, negara yang menanggung,” kata seorang analis yang enggan disebut namanya.
Danantara Turun Tangan
Melihat tren kerugian yang terus membengkak, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) kini sedang mengkaji restrukturisasi utang KCIC.
CEO BPI Danantara, Rosan Roeslani, mengatakan proses evaluasi dilakukan agar restrukturisasi bersifat menyeluruh dan tidak sekadar menunda masalah.
“Kita mau memastikan kalau melakukan corporate action itu tuntas, bukan hanya menunda masalah,” ujar Rosan di Jakarta, 5 Agustus 2025.
COO BPI Danantara, Dony Oskaria, menambahkan bahwa beberapa alternatif penyelesaian akan diusulkan ke pemerintah, termasuk skema penyelamatan yang tidak semakin membebani keuangan BUMN.
Meski telah beroperasi sejak 2023, Whoosh belum mampu mencatatkan laba. Tingkat okupansi penumpang yang masih fluktuatif, biaya operasional tinggi, serta beban bunga utang membuat peluang balik modal menjadi semakin tipis.
Jika tren kerugian berlanjut, pemerintah berpotensi harus melakukan bailout melalui suntikan modal BUMN atau penjaminan tambahan APBN. Ini berarti, beban yang awalnya ditanggung korporasi akan kembali ke pundak rakyat melalui pajak dan utang negara.
Kesimpulannya, proyek KCJB yang dahulu dielu-elukan sebagai simbol kemajuan teknologi kini menjadi ujian berat bagi keuangan BUMN dan negara. Pertanyaannya, apakah restrukturisasi utang yang direncanakan mampu mengubah kereta cepat dari beban menjadi aset strategis, atau justru memperpanjang deretan utang dan kerugian? (Rismawati/ Jakarta)