Uji Forensik Ijazah S1 Jokowi

adilnews | 9 May 2025, 08:18 am | 357 views

Ir. KPH. Adipati, Bagas Pujilaksono Widyakanigara Hamengkunegara, M.Sc., Lic.Eng., Ph.D.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Seniman/Budayawan Yogyakarta

Mabes Polri akan melakukan uji forensik ijazah S1 Jokowi, pada tahap penyelidikan, mencari dua alat bukti, guna menetapkan status tersangka pada pihak terlapor. Pelapornya Jokowi sendiri.

Dalih pencemaran nama baik, penyebaran fitnah/berita bohong, adalah hilir. Hulunya adalah keaslian ijazah S1 Jokowi. Ini harus dibuktikan, paling tidak ada bukti awal.

Jika Mabes Polri menetapkan status hukum pihak-pihak terlapor, tanpa mempunyai bukti awal keaslian ijazah S1 Jokowi, maka penetapan status hukum tersangka pada pihak terlapor tersebut, jelas cacat logika dan hukum.

Metode uji forensik yang dipakai Mabes Polri pada ijazah S1 Jokowi, harus memenuhi kriteria sbb:
1. Software yang dipakai Mabes Polri harus berlisensi.
2. Operator software harus cukup skill dan pengetahuan pada case yang dimasalahkan.

Saya ingatkan pada Mabes Polri, jika uji forensik pada ijazah S1 Jokowi include Carbon Dating, hasilnya akan fuzzy. Karena, kertas pada umumnya, termasuk ijazah S1 Jokowi, densitasnya amat sangat rendah. Kemungkinan besar, hasilnya fuzzy. Beda dengan batu candi atau artefak lainnya. Harus hati-hati, bisa merugikan pihak Jokowi atau pihak yang memasalahkan keaslian ijazah S1 Jokowi.

Metode uji forensik yang dilakukan Mabes Polri harus dipaparkan di pengadilan dengan menghadirkan pihak lain, saksi ahli, sebagai second opinion, guna memastikan metode uji forensik yang dilakukan Mabes Polri sudah benar.

Ini bukan murni permasalahan akademik. Lebih pada performa dan kinerja sebuah metode, yang diharapkan/ditujukan mempunyai keterulangan yang tinggi pada data output, atas object yang sama.

*Lonthé-lonthé akademisi tidak akan pernah paham persoalan ini*.

Ada hal-hal yang sangat menggelikan terutama dari pihak terlapor, sebuah persoalan mendasar, terkait analisis mereka, yang diclaimed sebagai sebuah kajian ilmiah, yang konon katanya diberi nama digital forensik. Pertanyaannya adalah data inputnya bagaimana? Apakah data input didapat dengan cara benar, dengan memenuhi kaidah hukum, dan dari sumber yang bisa dipercaya?

Jujur, saya ragu, dengan otentiksitas data inputnya. Besides, metode yang mereka agung-agungkan, seolah outputnya adalah kebenaran, sumir.

Tingkat subyektifitasnya sangat tinggi. Bagaimana bisa hal-hal seperti itu disebar-sebarkan secara brutal di ruang-ruang publik?

Apakah software yang dipakai berlisensi? Apakah operator software mempunyai skill dan pengetahuan yang memadahi: menginterpretasikan data output dan case yang dihadapi?

Sekali lagi, ini bukan murni persoalan akademik. Lebih pada persoalan kinerja dan performa sebuah metode.

Apakah data yang dicomot dari medsos, bisa dijamin otentiksitasnya? Ijazah adalah data peribadi. Apakah data tersebut bisa secara semena-mena tanpa hak, dicomot begitu saja?

*Dalih-dalih kajian akademis adalah mbel gèdhès alias non-sense*.

Nasi telah menjadi bubur. Proses pengadilan atas dugaan adanya tindak pidana, harus tuntas.

Merdeka!

Berita Terkait