
PURWOREJO, ADILNEWS.COM- Lebih dari seratus penganut Hardo Pusoro berkumpul dalam acara “Srawung Agung” di Padepokan Ki Sumocitro, Dusun Krajan Wetan, Desa Kemanukan, Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah pada 8-9 Juli 2025. Kegiatan tahunan ini diadakan oleh Yayasan Warga Hardo Pusoro yang selama ini i menaungi aliran kepercayaan Hardo Pusoro.
Perayaan Srawung Agung ini dimulai sejak pagi hingga dini hari. Dalam acara seremonial pada Rabu malam, 9 Juli 2025 hadir pejabat daerah setempat yang diwakili oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Purworejo, perangkat kecamatan Bagelan dan perangkat desa Kemanukan, Babinsa, Forkompincam, tokoh masyarakat, dan warga setempat.
Dalam sambutannya, Kasubdit Kebudayaan Dindikbud Kabupaten Purworejo, Dyah Woro Setyaningsih, S.Sos, MM., mengaku salut pada warga Hardo Pusoro yang selalu mengadakan kegiatan tahunan Srawung Agung di desa Kemanukan, yang juga tempat tinggal almarhum Ki Sumocitro, pendiri komunitas aliran Kejawen ini.
“Kami dari Dindikbud Purworejo sangat mengapresiasi kegiatan semacam ini. Saya sudah lama mengetahui keberadaan komunitas Hardo Pusoro ini, dan menurut informasi yang saya peroleh termasuk lima besar aliran Kejawen yang ada di Indonesia. Semoga Hardo Pusoro semakin berkembang dan keberadaanya bermanfaat bagi masyarakat Purworejo khususnya dan Indonesia umumnya,’ ujar Dyah Woro dihadapan tamu undangan yang hadir.
Dalam kesempatan itu, dari Yayasan Warga Hardo Pusoro yang diwakili oleh Punto Ari Sidarta dan Punto Kumoro mempresentasikan paparan “Kawulo Gusti” yang disampaikan oleh Ki Sumocitro dalam acara semibar Theosofi pada 7 April 1917. Mereka menjelaskan panjang lebar tentang sejarah perkembangan aliran kepercayaan itu dan prinsip-prinsip ajarannya.
Sejak tahun 1952, Paguyuban Warga Hardo Puroso mengadakan acara tahunan yang dinamakan Srawung Agung sebagai ajang pertemuan, persaudaraan antar sesama penganutnya yang tersebar di seluruh nusantara. Srawung Agung biasanya dilangsungkan selama 2 hari yaitu malam 13 dan malam 14 Sura.
“Malam 13 Sura diadakan acara khusus internal sebagai pertemuan para sesepuh dan sebagai sarana tukar kawruh atau ngelmu serta barbagi pengalaman dan pencapaian-pencapaian selama menggeluti kawruh kasunyatan Hardo Pusoro,” jelas Sekretaris Yayasan Hardo Pusoro, Agus Susilo Widodo kepada ADIL News.
Sore harinya diadakan upacara selamatan pengetan nge-khaul swargi Guru Ki Sumocitra dan malam harinya (malam 14 Sura) dilangsungkan pertemuan seluruh kadang warga senusantara yang biasanya dihadiri juga oleh para tamu dari pejabat pemerintahan daerah maupun dari beberapa perwakilan paguyuban setempat.
Tahun 2024, Srawung Agung juga digelar di tempat yang sama dengan mengambil tema “Pengetan 100 tahun Moksa Ki Sumocitro”. Berkat keberadaan Paguyuban Warga Hardo Pusoro, pada tahun 2018 desa
Kemanukan telah diresmikan sebagai “Desa Kerukunan Umat Beragama”. Desa ini dianggap telah berperan dalam memperkuat pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan budaya, agama, dan pandangan hidup.
“Itu karena kami dari Yayasan Warga Hardo Pusoro bertanggung jawab atas kelestarian adat budaya dan sikap toleransi antar warga masyarakat,” jelas Agus Susilo.
Sekilas tentang Hardo Pusoro
Di situs website Borobudur Writers & Cultural Festival, Agus Susilo pernah menulis tentang Hardo Pusoro. Hardo Pusoro adalah peninggalan dari Ki Sumocitro yang berasal dari Desa Kemanukan, Bagelen, Purworejo. Menurut sejarahnya pada, tahun 1876, ki Sumocitro diangkat sebagai Glondong (koordinator lurah) di Kemanukan, menggantikan ayah beliau. Karena permasalahan pajak dengan pemerintah Hindia Belanda, tahun 1880 R. Sumocitro melepaskan jabatan Glondong Kemanukan dan memutuskan untuk lebih mendalami kawruh kebatinan. Ada yang menyebutkan itu sebagai aksi boikot kebijakan pajak yang menindas rakyat.
Tahun 1907 sudah banyak murid dan pengikut di Banyuwangi, kemudian berpindah-pindah dari pegunungan antara Malang, Blitar dan Kediri. Selanjutnya beliau aktif dalam Gerakan Theosofie dan beliau pernah menjabat sebagai presiden Perhimpunan Theosofie Hindia Belanda wilayah Purworejo.
Theosofie adalah organisasi trans-nasional berpusat di Amerika Serikat, yang tujuannya antara lain memperkuat inti persaudaraan antar umat manusia; serta mempelajari persamaan berbagai agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan, untuk menjembatani hubungan antara kebudayaan Barat dan Timur.
Anggotanya terdiri dari kalangan cendekia Eropa maupun pribumi antara lain: Rajiman Wedyodiningrat, H. Agus Salim, Ahmad Subarjo, Gunawan Mangunkusumo, Cipto Mangukusumo, Douwes Dekker {D. Setiabudi}, Suwardi Suryaningrat {Ki Hajar Dewantoro}, dr. Sutomo {pendiri Budi Utomo}, Datuk St. Maharaja, M. Tabrani, R. Sukemi {ayah Bung Karno}, Siti Soemandari, Armin Pane, Sanusi Pane dll.
Tahun 1910 dibentuk Paguyuban warga Hardo Pusoro di ndalem Notopradjan, Yogyakarta. Nama Hardo Pusoro sendiri dipilih atas usulan dari ki Hery Purnomo (Ki Prawiro Mijoyo) dan KGPH Notoprojo dua murid Ki Sumocitro yang banyak berperan dalam perkembangan paguyuban warga Hardo Pusoro.
Kata hardo berasal dari bahasa Jawa kuno yang berarti gerak yang liar, daya yang tak teratur, atau gejolak, juga bisa berarti merajalela; sedangkan pusoro berarti mengikat atau mengendalikan. Maka, nama Hardo Pusoro dimaknai sebagai upaya pengendalian gerak/gejolak, yang berarti pengendalian hawa-nafsu.
Ajaran Hardo Pusoro terdiri dari 14 pepacak kawruh atau pepacak ngelmu sebagai berikut ;
Aja tindak rusuh tegese aja melikan
Aja jahil tegese aja getingan
Aja drengki tegese aja panasten
Aja dahwen tegese aja openan
Aja gumede tegese aja ambedakake
Aja kumingsun tegese aja ngaku pinter
Aja kuminter tegese aja nyacat kawruhing liyan
Aja kagetan tegese aja kelu carita kang elok
Aja kareman tegese aja duwe pakareman
Kudu santosa ing budi tegese kudu manteb
Kudu kenceng tapihe tegese. kudu sawiji tekade aja goroh
Aja lemer tegese aja sugih pepinginan
Aja mrengut tegese aja sugih nesu
Kudu manut tegese kudu nurut pitutur kang bener.
“Hardo Pusoro sebenarnya bukan penghayat kepercayaan, tetapi kawruh atau ngelmu, bukan untuk sekedar di mengerti akan tetapi untuk dijalankan dan dibuktikan kebenarannya,” tandas Agus Susilo.
Belajar dan bergaul dengan kadang warga Hardo Pusoro seperti membuka sebuah dunia baru, sebuah wawasan spiritual yang kaya, unik dan menarik. Banyak cerita cerita dan kisah hidup kadang warga Hardo Pusoro yang seperti menyadarkan kita bahwa nusantara memiliki khasanah keilmuan yang tinggi dan luhur. Namun saat ini terlupakan atau terabaikan karena perhatian manusia di era modern ada umumnya lebih terpesona pada kemajuan yang sifatnya lahiriah dari pada yang batiniah. (Rismawati)