
Keterangan: Jajaran perwira TNI Angkatan Laut dari Lantamal III Jakarta menyambut kedatangan tiga kapal perang Angkatan Laut China di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (24/12/2024). Foto: ANTARA/HO-Dinas Penerangan Lantamal III Jakarta.
Oleh: Fadjar Pratikto
Sepuluh tahun lalu, Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan tegas menolak perpanjangan pengelolaan JICT kepada Hutchison Port Holding (HPH) Group selama 20 tahun ke depan sampai 2039. Berkali-kali mereka menggelar aksi mempersoalkan pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo II) terkait dengan perpanjangan konsesi dengan perusahaan asal Hong Kong/ Tiongkok tersebut.
Aneh memang, konsesi HPH Group yang seharusnya baru akan berakhir pada 2019 sudah diperpanjang oleh Pelindo II pada tahun 2014. Momentum politik transisi pergantian presiden dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo pada 2014 dimanfaatkan betul untuk memperpanjang konsesi dengan menampikan temuan BPK tentang kerugian negara sebesar Rp 4 trilun. Saat itu SP JICT merasa perlu menolak kebijakan perpanjangan kontrak tersebut karena menyangkut kepentingan yang lebih besar yaitu kedaulatan bangsa dan negara sekaligus demi tegaknya hukum di Indonesia.
Harus diakui pada dua dekade terakhir, investasi asing di sektor pelabuhan Indonesia telah meningkat secara signifikan. Salah satu investor besarnya adalah Tiongkok, yang telah memperluas pengaruhnya di sektor pelabuhan dan pelayaran melalui perusahaannya seperti Hutchison Port dan Cosco. Investasi ini telah menimbulkan perdebatan tentang dampaknya terhadap kedaulatan negara.
Bagaimanapun, Indonesia memiliki posisi strategis sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai yang panjang. Hal ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi ekonomi maritim yang besar. Namun, infrastruktur pelabuhan Indonesia masih belum memadai untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang cepat. Hal itulah yang menjadi alasan pemerintah menggaet investor asing khususnya dari Tiongkok.
Kiprah Investor Tiongkok
Sejak 1999, Hutchison Port Holding Group dari Hong Kong yang dimiliki oleh Hutchison Whampoa, telah berinvestasi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, melalui anak perusahaannya– JICT. Setelah privatisasi, Pelindo II menjual sahamnya sebesar 51% kepada HPH Group, sehingga saham Pelindo II hanya sebesar 48,9% dan 0,1 persen dimiliki Koperasi Pegawai Maritim.
Jumlah kepemilikan saham HPH Group yang lebih besar tentu telah menyalahi aturan karena pelabuhan termasuk dalam salah satu cabang produksi penting yang seharusnya dikuasai oleh negara. Hal itulah yang ditolak SP JICT, dan diamini Menteri BUMN Dahlan Iskan sehingga ada perubahan dalam komposisi saham JICT pasca perpanjangan konsesi pada 2019. Pelindo II menjadi pemegang saham mayoritas sebesar 51,0% selebihnya dimiliki Hutchison Port Jakarta sebesar 48,9% dan Koperasi Pegawai Maritim sebesar 0,1%.
Selama ini JICT merupakan perusahaan yang melayani bongkar muat petikemas baik ekspor maupun impor di Pelabuhan Tanjung Priok. JICT beroperasi non stop 24 jam dalam 7 hari. Setelah beroperasi selama 25 tahun, JICT telah menjadi salah satu pelabuhan kontainer terbesar di Indonesia yang berstandar global.
Kini, arus barang di JICT pada tahun 2024 mencapai lebih dari 2,2 juta TEUS (twenty foot equivalent units). Angka ini setara dengan ukuran petikemas 20 kaki. Angka ini tumbuh jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2023 yang tercatat 1.739.587 TEUS. Sebanyak 60% peti kemas nasional dan 40% peti kemas di Jabodetabek diakses melalui JICT.
Pada 2023, JICT juga menerima layanan konsorsium baru dengan memulai pelayaran perdana Tiongkok Indonesia Service 2 atau CIS2 yang diluncurkan di Shanghai. Sejak 17 Juli 2023, kapal Xin Bei Lun memulai rotasi dari Jakarta menuju Surabaya – Panabo – Kaohsiung – Shanghai-Ningbo – Shekou. CIS2 secara langsung menghubungkan beberapa pelabuhan di Tiongkok dengan Indonesia dan Filipina untuk memenuhi peningkatan permintaan pasar.
Investor Tiongkok lainnya di pelabuhan Indonesia adalah Cosco, yang telah menanam modalnya di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, melalui anak perusahaannya, Cosco Shipping Ports. Perusahaan pelayaran ini telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 2017 dan telah menjadi salah satu operator pelabuhan terbesar di Indonesia.
Cosco Shipping Line Indonesia adalah bagian dari Cosco Shipping Lines Co., Ltd., sebuah perusahaan pelayaran global yang berkantor pusat di Shanghai. Selain berkantor pusat di Jakarta, Cosco Shipping Line Indonesia memiliki kantor cabang di berbagai kota di seluruh Tanah Air, termasuk Surabaya, Semarang, Makassar, dan Balikpapan. Selain itu, perusahaan ini juga memiliki jaringan agen yang luas, sehingga dapat memberikan layanan pengiriman dan logistik yang lebih luas dan terintegrasi di seluruh Indonesia.
Perusahaan pelayaran global itu juga mendirikan perusahaan bernama PT Cosbulk Indonesia Global Shipping (CIGS) yang merupakan patungan yang dibentuk Cosco Group bersama PT Global Putra International Group. CIGS saat ini lebih berfokus pada layanan dan armada bulk-carrier yang melayani pengangkutan batu bara di dalam dan luar negeri.
Selain dua investor besar tersebut, Merchants Port Holdings Co Ltd (CM Port) dari Tiongkok pada 20 November 2023 juga telah mengakuisisi 51% saham PT Nusantara Pelabuhan Handal Tbk (PORT) dari PT Episenta Utama Investasi (EUI). Nilai transaksi sebesar US$ 61,2 juta atau setara Rp 954 miliar. EUI adalah pemilik 74,06% saham Nusantara Pelabuhan, yang secara tidak langsung dikendalikan oleh Garibaldi ‘Boy’ Thohir.
Temuan PWC Jerman
Berdasarkan studi auditor Price Water Cooper (PwC) Jerman yang dirilis pada 29 Januari 2025, Tiongkok memperkuat posisi strategis di Asia Tenggara melalui investasi langsung, merger, dan akuisisi di sektor pelabuhan dan logistik. Perusahaan-perusahaan Eropa kini bergantung pada kerja sama dengan Tiongkok jika ingin mengakses pasar di Asia Tenggara. Salah satu alasannya adalah kendali Partai Komunis Tiongkok (PKT) atas pelabuhan-pelabuhan di kawasan tersebut.
Salah satu contohnya adalah rencana untuk membangun pelabuhan laut dalam modern di Myanmar, yang sebagian besarnya berada di bawah kendali PKT. Pelabuhan yang direncanakan di Kyaukphyu, bertujuan untuk menyediakan akses ke Samudra Hindia, dipersiapkan menjadi proyek utama dalam strategi investasi besar-besaran “Belt and Road Initiative” yang dicanangkan Presiden Xi Jinping.
Sebuah pelabuhan di Muara di Brunei juga sebagian besar dikuasai oleh Tiongkok, kata penelitian tersebut. Selain itu, mereka memegang saham di pelabuhan di Singapura, Malaysia, dan Thailand. Sedangkan di Vietnam, Kamboja, Indonesia dan Filipina, Tiongkok juga berinvestasi di pelabuhan.
Studi PwC Jerman tidak hanya berfokus pada perkembangan di Asia Tenggara. Di sektor transportasi dan logistik global, laporan itu mencatat ada 199 merger dan akuisisi yang diumumkan tahun 2024 lalu, masing-masing bernilai minimal USD50 juta. Angka ini menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya.
Kepentingan Militer Asing
Investasi perusahaan negara dan swasta dari Tiongkok di pelabuhan Indonesia mungkin telah memberikan dampak terhadap ekonomi Indonesia. Investasinya dianggap telah membantu meningkatkan kapasitas pelabuhan dan pelayaran Indonesia, sehingga dapat meningkatkan volume perdagangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, investasinya juga telah dianggap membantu meningkatkan kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas pelabuhan. Hal ini telah membantu meningkatkan kemampuan Indonesia untuk bersaing di pasar global.
Disisi lain, investasi Hutchison Port dan Cosco di pelabuhan Indonesia telah menimbulkan perdebatan tentang dampaknya terhadap kedaulatan Republik Indonesia. Beberapa pihak khawatir bahwa investasi asing di sektor pelabuhan dapat mengancam kedaulatan Indonesia, karena dapat memberikan kontrol kepada pihak asing atas infrastruktur strategis.
Mungkin kita bisa berkaca dari investasi Tiongkok pada pelabuhan di sejumlah negara lain. Belum lama ini situs website Nspirement.com menurunkan ulasan tentang Investasi miliaran dari Tiongkok pada pelabuhan di seluruh dunia yang mengkuatirkan Barat.
Dalam analisisnya disebutkan kemunculan Tiongkok sebagai kekuatan maritim dan pengiriman barang merupakan inti dari ambisi pemimpin PKT Xi Jinping untuk mendominasi ekonomi global.
Pertama, Tiongkok memerlukan akses yang stabil ke rute perdagangan utama untuk terus memenuhi permintaan ekspor Tiongkok secara global, serta impor yang dibutuhkan Beijing agar ekonominya tetap berjalan.
Mengendalikan pelabuhan juga memungkinkan Tiongkok untuk menciptakan zona ekonomi di negara lain yang memberikan pemilik dan operator pelabuhan akses istimewa ke komoditas dan produk. Beberapa orang khawatir hal ini dapat memungkinkan Tiongkok untuk mengganggu pasokan barang tertentu atau bahkan memberikan pengaruh atas politik atau ekonomi negara lain.
“Penggerak utama lain dari strategi ini adalah logam dan mineral yang dibutuhkan untuk mendorong kebangkitan Tiongkok sebagai negara adikuasa teknologi. Beijing telah memusatkan investasi pelabuhannya di wilayah tempat sumber daya penting ini berada,” tulisnya.
Kekhawatiran terhadap militer Tiongkok menyebutkan bahwa diplomasi pelabuhannya berorientasi pasar. Namun, Tiongkok telah membangun satu pangkalan angkatan laut di negara Afrika yang berlokasi strategis, Djibouti. Dan diyakini sedang membangun pangkalan angkatan laut lainnya di Guinea Ekuatorial.
Menurut laporan terbaru oleh Asia Society Policy Institute, analis strategi percaya bahwa Tiongkok berusaha untuk “mempersenjatai” BRI. Hal itu relevan dengan kebijakan ekonomi dan luar negeri Tiongkok untuk membangun infrastruktur di berbagai negara. Salah satu caranya adalah dengan mensyaratkan pelabuhan komersial yang diinvestasikannya harus mampu bertindak sebagai pangkalan angkatan laut.
Sejauh ini, 14 dari 17 pelabuhan yang saham mayoritasnya dimiliki PKT berpotensi digunakan untuk keperluan angkatan laut. Pelabuhan tersebut dapat berfungsi ganda, mendukung jaringan logistik militer Tiongkok, dan memungkinkan kapal-kapal angkatan laut Tiongkok beroperasi lebih jauh dari pangkalannya.
Belajar dari pengalaman investasi Tiongkok di negara lain, perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut tentang dampak investasi asing di sektor pelabuhan Indonesia, serta perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah kita dalam mengelola dan mengawasi investasi asing di sektor ini. Bagaimanapun pelabuhan adalah kawasan strategis dan simbol kedaulatan negara. Maka privatisasi pelabuhan kepada investor asing, itu sama saja dengan mengobral rahasia pertahanan negara.
Seharusnya pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan investasi asing untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, sambil tetap menjaga kedaulatan dan kepentingan nasional dengan baik sesuai amanat konstitusi kita. Pemerintah Prabowo Subianto mesti waspada terhadap setiap potensi ancaman dari luar yang mengatasnamakan investasi asing. ****
