Tragedi Intoleransi di Sukabumi: Rumah Singgah Umat Kristen Dirusak Massa, Negara Didesak Bertindak Tegas

adilnews | 29 June 2025, 12:53 pm | 533 views

SUKABUMI, ADILNEWS.COM — Kebebasan beragama kembali tercoreng di Indonesia. Jumat siang, 27 Juni 2025, sekelompok warga di Kampung Tangkil RT 04/01, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, merusak sebuah rumah singgah milik Maria Veronika Ninna. Rumah tersebut selama ini dimanfaatkan sebagai tempat pembinaan rohani dan mental bagi umat Kristen dari berbagai wilayah.

Insiden terjadi sekitar pukul 14.00 WIB ketika kegiatan kerohanian sedang berlangsung di rumah tersebut. Sekelompok orang mendatangi lokasi dan memaksa pembubaran kegiatan. Tidak hanya itu, massa juga masuk ke dalam dan merusak sejumlah fasilitas rumah singgah. Mereka menuduh bangunan tersebut digunakan sebagai rumah ibadah tanpa izin resmi, meski selama ini hanya difungsikan sebagai tempat pertemuan dan pembinaan iman.

Kejadian tersebut langsung memantik keprihatinan berbagai pihak. Dewan Pimpinan Pusat Badan Musyawarah Antar Gereja Nasional (BAMAGNAS) mengecam keras tindakan intoleran tersebut. Ketua Umum BAMAGNAS, Dr. Japarlin Marbun, menilai aksi massa itu mencederai hak dasar warga negara sebagaimana dijamin konstitusi.

“Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945 dengan tegas melindungi hak kebebasan beragama dan beribadah. Negara tidak boleh diam ketika hak konstitusional warga dirampas oleh tindakan massa yang intoleran,” ujar Japarlin dalam pernyataan tertulis, Minggu (29/6).

Ia juga mengingatkan bahwa perilaku intoleran tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga bertentangan dengan Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menjamin hak individu untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah secara aman.

BAMAGNAS menegaskan lima tuntutan, yakni mendesak Presiden RI Prabowo Subianto untuk bersikap tegas terhadap pelanggaran kebebasan beragama, meminta Menteri Agama segera turun tangan, Kapolri menindak para pelaku, serta Pemkab Sukabumi dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk menciptakan dialog dan suasana damai di masyarakat.

“Intoleransi adalah virus bagi keberagaman Indonesia. Jangan biarkan virus itu menyebar,” tegas Sekretaris Jenderal BAMAGNAS, Dr. Hence Bulu.

Upaya Musyawarah Warga
Di sisi lain, pemerintah daerah dan unsur Forkopimcam Cidahu berupaya menenangkan suasana pasca-perusakan. Kaban Kesbangpol Kabupaten Sukabumi, Tri Romadhono, dalam musyawarah bersama warga di Aula Kantor Desa Tangkil, Sabtu (28/6), menyampaikan bahwa pemilik rumah sebenarnya telah diperingatkan sebelumnya agar tidak menggunakan bangunan tersebut sebagai tempat ibadah tanpa izin.

“Masyarakat akan mengganti kerusakan rumah tersebut. Perlu diluruskan, yang dirusak oleh warga Cidahu itu bukan gereja resmi, melainkan rumah tinggal,” kata Tri Romadhono.

Ia menambahkan, penggunaan bangunan sebagai tempat ibadah harus mematuhi aturan perizinan sesuai regulasi, dan pihak RT/RW maupun pemerintah desa diminta lebih aktif mendeteksi dini potensi konflik serupa.

Forkopimcam bersama tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda Cidahu juga telah menandatangani pernyataan bersama. Mereka menegaskan komitmen untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah, mencegah insiden serupa terulang, dan meminta pemilik rumah agar memfungsikan bangunan tersebut hanya sebagai tempat tinggal.

Namun demikian, permintaan agar kasus ini tidak dilanjutkan ke ranah hukum memicu kritik sejumlah kalangan. BAMAGNAS dan pegiat kebebasan beragama menilai pendekatan semata-mata lewat musyawarah tidak cukup untuk memberikan rasa keadilan bagi korban.

“Negara harus hadir dan menegakkan hukum, bukan sekadar menengahi lewat musyawarah,” tegas Japarlin.

Toleransi yang Diuji
Kejadian di Sukabumi menjadi preseden berbahaya jika dibiarkan. Serangan terhadap rumah ibadah atau tempat berkegiatan keagamaan, meski dalam wujud rumah singgah, mencerminkan bahwa intoleransi masih menjadi ancaman nyata di masyarakat.

Indonesia selama ini dibangun di atas fondasi Bhinneka Tunggal Ika, di mana keberagaman agama dan keyakinan dijunjung tinggi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan masih ada kelompok yang merasa berhak membubarkan atau merusak kegiatan keagamaan hanya karena perbedaan iman.

Jika negara terus membiarkan tindakan main hakim sendiri berlindung di balik alasan perizinan, maka warga minoritas akan selalu berada dalam posisi terancam. Proses hukum tetap harus berjalan agar ada efek jera dan keadilan bagi semua pihak.

Peristiwa perusakan ini juga menyisakan trauma mendalam bagi jemaat yang biasa beraktivitas di rumah singgah tersebut. Maria Veronika Ninna, pemilik rumah, dalam keterangan singkat mengatakan bahwa banyak umat Kristen yang datang merasa takut dan khawatir akan keamanan mereka ke depan.

“Tempat ini selama ini bukan gereja resmi, hanya rumah untuk berkumpul, saling menguatkan iman. Kami tidak pernah membuat kegaduhan,” kata Maria sambil menahan tangis.

Bagi para jemaat, rumah singgah itu bukan hanya bangunan fisik, tetapi ruang di mana mereka merasa diterima dan dilindungi. Tindakan perusakan tersebut merusak rasa aman dan menciptakan trauma kolektif.

Negara Harus Tegas
Kasus ini menjadi ujian bagi pemerintahan Presiden Prabowo untuk menunjukkan komitmennya dalam menjamin kebebasan beragama, sebagaimana amanat reformasi dan konstitusi. Aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, juga dituntut bersikap profesional dan independen agar tidak tunduk pada tekanan kelompok mayoritas.

“Kita tidak boleh tunduk pada tekanan massa yang melanggar hukum. Ketika rumah ibadah dijadikan sasaran, maka yang diserang bukan hanya temboknya, tapi hakikat kebebasan itu sendiri,” pungkas Japarlin Marbun.

BAMAGNAS menegaskan akan terus mengawal proses hukum insiden ini, dan mendorong pemerintah agar menyiapkan langkah-langkah pencegahan serupa di masa mendatang, termasuk edukasi toleransi di masyarakat.

Sementara Forkopimcam Cidahu berharap masyarakat bisa lebih bijak dan mengedepankan musyawarah untuk menyelesaikan persoalan perbedaan keyakinan. Akan tetapi, berbagai pihak menilai musyawarah tidak cukup jika tidak diimbangi penegakan hukum agar menjadi pelajaran bagi semua pihak.

Pada akhirnya, kasus ini memperlihatkan bahwa toleransi masih rentan goyah jika negara tidak hadir secara tegas. Kebebasan beragama adalah hak dasar manusia, bukan hadiah, dan tidak boleh dikalahkan oleh tekanan kelompok intoleran.

Harapan publik kini tertuju pada aparat penegak hukum untuk menindak para pelaku secara adil dan transparan. Sebab, ketika rumah ibadah—atau rumah singgah—diserang, yang diserang sesungguhnya adalah sendi-sendi kebangsaan yang selama ini dijaga bersama. (Rismawati/ Sukabumi)

Berita Terkait