Terdakwa Pencuri Emas Ilegal 774 Kg Asal Tiongkok Hanya Divonis MA 3,5 Tahun Penjara

adilnews | 7 July 2025, 11:13 am | 334 views

JAKARTA, ADILNEWS.COM- Setelah sempat menghirup udara bebas akibat putusan bebas di tingkat banding, terdakwa kasus tambang emas ilegal seberat 774 kilogram, Yu Hao, akhirnya kembali mendekam di balik jeruji besi. Mahkamah Agung RI melalui putusan kasasi tertanggal 13 Juni 2025 mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Penuntut Umum.

“Kabul kasasi Penuntut Umum, batal judex facti,” demikian bunyi amar putusan MA yang dikutip dari laman resminya pada 28 Juni 2025. Dalam putusan tersebut, MA memutuskan menjatuhkan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan kepada Yu Hao, warga negara Tiongkok yang merupakan pimpinan proyek tambang ilegal di Ketapang, Kalimantan Barat. Selain pidana penjara, Yu Hao juga dijatuhi hukuman denda sebesar Rp30 miliar.

Majelis kasasi MA yang memutus perkara ini diketuai oleh Hakim Agung Yohanes Priyana, dengan anggota Hakim Agung Sigid Triyono dan Noor Edi Yono. Meski amar putusan sudah diunggah ke situs Mahkamah Agung, salinan resmi dan lengkap putusan tersebut masih belum dipublikasikan sepenuhnya.

Hukuman Ringan Penegak Hukum
Hukuman penjara 3,5 tahun bagi ayu Hao dianggap masih terlalu ringan. Dengan jumlah emas yang dikeruk perusahaan dia sebesar 774 Kg dan kerusakan lingkungan yang dibuatnya, mestinya Yu Hao dituntut dengan hukuman yang lebih berat.

Namun, kita mesti apresiasi langkah penegsk hukum yang akhirnya berani menjebloskannya ke penjara . Sebagai tindak lanjut dari putusan kasasi MA, Kejaksaan Negeri Ketapang dan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat segera mengeksekusi Yu Hao. Proses eksekusi dilakukan pada 25 Juni 2025.

“Telah dilakukan eksekusi terhadap terdakwa Yu Hao pada hari Rabu 25 Juni 2025 yang bertempat di Rumah Detensi Imigrasi Kalbar ke Lapas Kelas II A Pontianak,” tulis Kejaksaan Negeri Ketapang melalui akun Instagram resminya.

Kepala Kejari Ketapang, Anthony Nainggolan, menegaskan bahwa putusan kasasi ini menjadi sinyal kuat bagi semua pihak bahwa aparat penegak hukum tidak main-main dalam menangani tindak pidana pertambangan ilegal, yang dinilai merugikan negara dalam jumlah besar dan berdampak pada kerusakan lingkungan.

“Putusan ini membuktikan bahwa sistem penegakan hukum tetap berjalan, meskipun sebelumnya sempat terjadi putusan bebas. Kejaksaan juga memastikan akan terus mengawal pelaksanaan putusan ini, termasuk eksekusi terhadap denda dan potensi pemulihan kerugian negara akibat aktivitas pertambangan ilegal yang dilakukan oleh terdakwa,” tegas Anthony.

Kasus Yu Hao mencuat sejak awal tahun 2024, saat aparat penegak hukum mengungkap praktik tambang ilegal di wilayah Ketapang, Kalimantan Barat. Yu Hao yang bekerja sebagai kontraktor untuk PT Sultan Rafli Mandiri diduga mengorganisir kegiatan penambangan emas tanpa izin di kawasan underground mining pada Februari hingga Mei 2024.

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kegiatan tambang ilegal ini menyebabkan kerugian negara akibat hilangnya cadangan emas sekitar 774 kilogram, serta cadangan perak lebih kurang 937 kilogram. Pengadilan Negeri Ketapang dalam putusannya pada Oktober 2024 sempat menyatakan Yu Hao terbukti bersalah dan menjatuhkan pidana 3,5 tahun penjara serta denda Rp30 miliar.

Namun di tingkat banding, putusan tersebut dianulir oleh Pengadilan Tinggi Pontianak. Majelis hakim banding berpendapat bahwa bukti-bukti serta keterangan ahli yang diajukan Penuntut Umum dinilai tidak cukup meyakinkan, sehingga Yu Hao dibebaskan.

Vonis bebas itulah yang memicu kritik luas di tengah masyarakat, karena dinilai mencederai rasa keadilan dan memperlemah upaya pemberantasan penambangan ilegal. Kejaksaan kemudian mengajukan kasasi ke MA. Akhirnya pada 13 Juni 2025, MA memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Pontianak dan kembali menghukum Yu Hao.

Eksekusi Yu Hao menjadi perhatian publik mengingat kasus ini menyangkut tambang emas ilegal dengan nilai kerugian negara sangat besar. Proses pemindahan Yu Hao ke Lapas Kelas II A Pontianak dikawal ketat oleh aparat Kejaksaan dan pihak imigrasi, mengingat status Yu Hao sebagai warga negara asing.

Selain pidana penjara, Kejaksaan juga berkomitmen memastikan eksekusi denda Rp30 miliar berjalan sesuai ketentuan, serta melakukan upaya lain untuk menelusuri kerugian negara akibat operasi tambang ilegal tersebut.

Anthony Nainggolan menegaskan, pihaknya siap bekerjasama dengan Kementerian ESDM, Kepolisian, dan lembaga terkait lain dalam upaya pemulihan kerugian negara, baik melalui penyitaan aset maupun pemulihan lingkungan yang terdampak.

Buruknya Tata Kelola Tambang
Selain denda Rp30 miliar, Kejaksaan menyebut masih ada potensi pemulihan kerugian negara yang jauh lebih besar. Hal ini terkait dengan nilai emas yang berhasil ditambang Yu Hao beserta kelompoknya, yang totalnya mencapai 774 kilogram emas murni.

Pihak Kejaksaan memastikan akan terus mengejar aset, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang diduga terkait hasil tambang ilegal. “Kasus ini sudah menjadi perhatian publik luas, dan kami tidak ingin berhenti hanya di penjara. Pemulihan aset dan kerugian negara adalah bagian penting,” kata seorang pejabat di Kejaksaan Tinggi Kalbar yang enggan disebut namanya.

Vonis kasasi Mahkamah Agung terhadap Yu Hao menuai respons positif dari publik. Banyak pihak menilai ini sebagai penegasan bahwa tidak ada warga asing sekalipun yang kebal hukum di Indonesia.

Namun demikian, ada pula yang mengingatkan agar pemerintah tidak berhenti hanya pada kasus Yu Hao. Pengawasan dan reformasi tata kelola tambang harus terus diperbaiki agar kejadian serupa tidak berulang.

Kasus Yu Hao telah menegaskan persoalan tata kelola pertambangan di Indonesia, khususnya di wilayah Kalimantan Barat. Menurut catatan sejumlah lembaga advokasi lingkungan, praktik penambangan ilegal seringkali mendapat perlindungan oknum tertentu, bahkan diduga dibacking aparat.

Ahmad Syukri, Ketua Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo (Link-AR Borneo), mengatakan kasus Yu Hao hanyalah satu contoh gunung es dari penambangan ilegal yang melibatkan pemodal asing di Indonesia.

“Mahkamah Agung sudah benar ketika mengoreksi putusan bebas Pengadilan Tinggi, karena jika dibiarkan maka tambang ilegal akan terus merusak lingkungan dan merugikan negara,” kata Syukri seperti dikutip media lokal.

Syukri juga meminta pemerintah pusat segera melakukan evaluasi total terhadap izin-izin tambang yang masih bermasalah, termasuk menindaklanjuti rekomendasi moratorium perizinan pertambangan baru di Kalimantan Barat dan wilayah lain yang rawan konflik.

Dengan kembali dijebloskannya Yu Hao ke penjara dan dijatuhkannya denda Rp30 miliar, publik berharap penegakan hukum di sektor strategis seperti pertambangan tidak lagi tebang pilih.

Kasus ini juga diharapkan menjadi efek jera bagi investor asing yang berupaya menambang tanpa izin di Indonesia. Seiring moratorium izin tambang baru yang terus didorong oleh banyak pihak, pemerintah diminta melakukan perbaikan tata kelola agar konflik tambang tidak menimbulkan kerugian negara yang semakin besar di masa depan. ( Fadjar/ Jkt)

Berita Terkait