Putusan MK Penghapusan Presidentially Threshold Pintu Masuk Perbaikan Demokrasi dan Sistem Politik di Indonesia

adilnews | 4 January 2025, 23:46 pm | 159 views

JAKARTA, ADILNEWS.COM- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diketuk awal tahun 2025 ini, bagi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menunjukan harapan baru untuk perbaikan sistem demokrasi dan negara hukum. Sebab selama satu dekade terakhir, demokrasi dan negara hukum terus mengalami regresi dan pembusukan, putusan ini diharapkan mampu mengikis dominasi oligarki yang selama ini merusak sistem politik dan Pemilu Presiden serta membelenggu demokrasi hukum dan ekonomi.

Putusan MK ini memang tidak membongkar sepenuhnya problem politik yang tidak berpihak pada kewargaan dan demokrasi yang substantif. Meskipun demikian, bagi YLBHI, putusan penghapusan ambang batas pencalonan presiden ini, mestinya dapat menjadi pintu masuk untuk memperbaiki sistem kepartaian maupun politik indonesia menuju sistem demokrasi dan politik yang lebih partisipatif dan demokratis sesuai mandat konstitusi.

Sebagaimana diketahui, pada 2 Januari 2025. Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024. Putusan ini terkait uji materi Pasal yang mengatur presedential treshold di dalam Undang-undang Pemilu, yang mengatur dukungan jumlah kursi partai di DPR kepada Calon Presiden untuk dapat mencalonkan diri. Pengaturan tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK. Impilikasi hukumnya, setiap partai politik peserta pemilu berhak mengajukan kandidat Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilu.

Putusan ini merevisi Putusan MK sebelumnya, yang menolak pembatalan ambang batas pencalonan presiden yang menilai bahwa ambang batas pencalonan presiden adalah kewenangan Pembentuk undang-undang. Sebelumnya, terdapat 36 permohonan yang diajukan ke MKi selama Undang-Undang Pemilu disahkan, permohonan tersebut menghendaki penghapusan penerapan presedential treshold berdasarkan Pasal 222 Undang-undang Pemilu. Namun permohonan-permohonan tersebut tidak pernah dikabulkan oleh MK.

YLBHI menduga kuat putusan-putusan MK sebelumnya, tidak lepas dari cengkraman oligarki dan politik penguasa yang tidak tidak menghendaki demokratisasi berjalan dengan baik, sehingga tidak memberikan Independensi kepada hakim MK dalam memeriksa dan mengadili permohonan penghapusan praktik presedential treshold.

Saat ini menurut YLBHI, yang perlu diwaspadai adalah perubahan berbagai undang-undang terkait politik dan kepemiluan. Diingatkan bagaimana partai-partai politik di DPR secara serampangan menafsir Putusan MK seenaknya, seperti yang pernah terjadi pada Undang-Undang Pilkada yang lalu. Tidak hanya itu, selama satu dekade, DPR banyak mengesahkan Undang-Undang tanpa memperdulikan Partisipasi Bermakna, yang berdampak pada pengesahan Undang-Undang yang merugikan Rakyat, mengacaukan sistem negara hukum dan melanggar HAM.

Untuk itu, YLBHI bertekad untuk terus mengawal Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XXII/2024 terkait uji materi Pasal yang mengatur presedential treshold di dalam Undang-undang Pemilu.

Selain itu, pengurus YLBHI, Arief Maulana, SH, MH mendesak: pemerintah untuk menjaga independensi MK dan marwah hakim-hakim MK agar dapat menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman secara merdeka dengan melaksanakan seleksi mendapatkan yang terbaik, berintegritas, negarawan, dan mencegah intervensi dari kekuasaan;
DPR.

“Segera merevisi regulasi terkait sistem politik yang sejalan dengan nafas dalam putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024, ini untuk memperkuat perlindungan hak politik dan kedaulatan rakyat dalam demokrasi dan negara hukum Indonesia,” jelas Arief Maulana. (Ony/ Jakarta)

Berita Terkait