Presiden dan DPR RI Dianggap Gagal Jalankan Mandat Konvensi Anti Penyiksaan

adilnews | 28 June 2024, 04:52 am | 108 views

JAKARTA- Sebanyak perwakilan 18 Kantor LBH YLBHI menilai negara melalui Pemerintahan Joko Widodo dan DPR RI tidak serius dan gagal menjalankan komitmennya untuk menghentikan praktik penyiksaan di indonesia paska meratifikasi konvensi anti penyiksaan 25 tahun yg lalu. Praktik penyiksaan di Indonesia terus berulang dan terjadi tanpa ada upaya serius untuk mencegah dan menghentikannya.

Demikian resolusi yang dihasilkan dari acara Mahkamah Rakyat yang digelar oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan LBH di Jakarta pada 26 Juni 2024. Acara itu digelar dalam rangka peringatan Hari Internasional PBB untuk Mendukung Korban Penyiksaan pada tanggal 26 Juni, yang menandai momen pada tahun 1987 ketika Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia, salah satu instrumen kunci dalam memerangi penyiksaan, mulai berlaku.

“Penyiksaan adalah kejahatan kemanusiaan dan merupakan pelanggaran HAM berat. Tidak seharusnya negara terus menerus melanggengkan praktek demikian”, demikian pernyataan sikap mereka.

Berkaca pada realitas, YLBHI-LBH mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera meratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Peghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Selain itu, mereka mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera merevisi KUHAP maupun UU Pengadilan Militer. secara khusus terkait mekanisme kontrol dan pengujian atas kewenangan upaya paksa aparat penegak hukum, reformasi peradilan militer yang imparsial dan adil, serta pemulihan bagi korban tindakan penyiksaan.

Ki

Pemerintah dan DPR RI harus segera menghentikan pembahasan RUU Polri dan RUU TNI yang mengancam demokrasi dan hak asasi manusia dan berpotensi membuka ruang praktik-praktik penyiksaan.

Tuntutan lainnya, mereka meminta Komnas HAM segera melakukan penyelidikan pro justitia terhadap berbagai kasus penyiksaan sebagai kejahatan kemanusiaan yang telah melembaga dan terus terjadi dalam proses peradilan khususnya di institusi kepolisian, TNI maupun institusi lainnya. “Pemerintah dan DPR RI harus segara melakukan evaluasi menyeluruh kepada Kepolisian RI dan TNI sebagai pelaku dominan penyiksaan,” tandasnya.

Seperti diketahui, Konvensi Antipenyiksaan yang diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Kondisi di lapangan, kasus penyiksaan terus terjadi dan berulang.

Di tahun 2022-23, YLBHI-LBH mencatat terdapat 46 kasus penyiksaan dengan jumlah korban sebanyak 294 orang. Sedangkan selama tahun 2020 – 2023, terdapat 24 korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di dalam tahanan yang ditangani oleh LBH-LBH Kantor. Pembunuhan di luar proses hukum tersebut semuanya terjadi dengan cara penyiksaan yang sebagian besar dilakukan oleh anggota kepolisian. Namun, mereka juga menyoroti bahwa penyiksaan di dalam tahanan juga dapat dilakukan oleh sesama tahanan (aktor lapangan) atas perintah aparat kepolisian.

Sebagai contoh, kasus kematian HS yang ditangani oleh LBH Medan pada tahun 2022 lalu. Anggota kepolisian secara sadar memerintahkan tahanan lain untuk melakukan penyiksaan pelecehan seksual terhadap korban. Korban awalnya diminta untuk membayar uang “kebersamaan” sebesar Rp 2 juta kepada petugas kepolisian, namun HS menolak. Korban sempat dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Medan, namun tidak terselamatkan.

Dari 24 kasus tersebut kami juga menemukan 2 diantaranya dibunuh dengan penggunaan senjata api. Dua kasus tersebut ditangani oleh LBH Lampung dan Surabaya. Di Lampung, Alm. M disiksa terlebih dahulu oleh aparat kepolisian sebelum akhirnya ditembak. Sedangkan kasus yang ditangani oleh LBH Surabaya, korban yang diduga mengalami gangguan jiwa ditembak hingga 14 kali oleh polisi. Pada tembakan ke-9 korban sudah tidak bergerak lagi, namun pihak kepolisian terus menembakinya sebanyak 14 kali. Dari 24 kasus meninggalnya tahanan, hanya 5 yang akhirnya ditindak lanjuti oleh pihak kepolisian. Tiga kasus mengambang, 1 sampai ke meja hijau dan 1 berakhir damai dengan uang kompensasi.

Belum tuntas dengan kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat keamanan negara, di bulan ini publik kembali dipertontonkan sifat haus darah personil kepolisian di Padang. LBH Padang mengadvokasi lima anak dan dua orang dewasa yang disiksa oleh petugas kepolisian Polda Sumatra Barat. Mereka mendapatkan penyiksaan berupa dicambuk, disetrum, dipukul dengan rotan, diseruduk motor, serta mendapatkan sulutan rokok di tubuh korban. LBH Padang juga mendapati kemungkinan meninggalnya Alif Maulana (13) disebabkan karena penyiksaan aparat Sabhara Polda Sumbar.

Di Papua, YLBHI-LBH mencatat terdapat 14 kasus penyiksaan dan 5 diantaranya menyebabkan kematian (extrajudicial killing) sepanjang tahun 2023. Semua kasus tersebut dilakukan oleh aparat TNI-Polisi dan tersebar di Puncak Papua, Merauke, Boven Digoel, Intan Jaya, Lanny Jaya, Jayapura, Sorong Selatan, dan Yahukimo. Banyak kasus penyiksaan yang dilakukan oleh TNI dimaksudkan untuk mengusir warga sipil dan untuk prajurit TNI menempati rumah-rumah mereka. Kasus di 2024, 3 warga sipil di Ilaga disiksa dan 1 berakhir meninggal. TNI menyatakan bahwa penangkapan berujung kematian tersebut adalah sebuah ‘keberhasilan’.
Kami melihat bahwa kegagalan negara menghapuskan praktek penyiksaan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, budaya kekerasan yang melembaga di institusi TNI-Polri. Kedua, belum diratifikasinya Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (OPCAT) oleh Pemerintah Indonesia. Protokol opsional ini penting untuk diratifikasi untuk membuka jalan lembaga-lembaga independen baik nasional maupun internasional untuk menetapkan sistem kunjungan rutin ke tempat-tempat di mana orang-orang dirampas hak-hak kebebasan, untuk mencegah penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Ketiga, negara justru nampak aktif mensponsori penyiksaan terhadap warga sipil dengan tidak segera melakukan revisi KUHAP, tidak merevisi UU Peradilan Militer di satu sisi. Di sisi lain justru menambah kewenangan eksesif kepolisian melalui RUU Polri serta merevisi UU TNI untuk memberikan ruang lebih banyak militer melakukan operasi-operasi selain perang. (Ony/ JKT)

Berita Terkait