
Oleh: Fadjar Pratikto
Dalam beberapa pekan terakhir, jagat politik Tiongkok diguncang rumor besar: Xi Jinping, pemimpin tertinggi Partai Komunis Tiongkok (PKT), dikabarkan telah dipreteli seluruh kekuasaan riilnya. Isu ini tidak muncul dari sembarang kanal gosip, melainkan beredar di kalangan intelijen Barat, analis kebijakan global, hingga diaspora Tionghoa. Sejumlah tanda-tanda mencurigakan, ketidakhadiran Xi dalam agenda diplomatik, hingga manuver internal PKT dan militer, membuat banyak pihak menilai era Xi Jinping sedang berada di ujung tanduk.
Sorotan terbesar datang ketika Letnan Jenderal Purnawirawan Angkatan Darat AS, Michael T. Flynn, sosok yang pernah menjadi Penasihat Keamanan Nasional Presiden Donald Trump, secara gamblang menyatakan bahwa sedang berlangsung transisi kekuasaan di Tiongkok. Melalui unggahannya pada 27 Juni 2025, Flynn menulis bahwa para petinggi keamanan nasional PKT telah kehilangan kepercayaan terhadap Xi, dan bahwa proses suksesi sudah dijalankan di belakang layar.
Dibawah Kendali Militer
Pernyataan Flynn mengguncang diskusi publik karena ia bukan sembarang pensiunan militer, tetapi juga mantan Kepala Badan Intelijen Pertahanan (DIA) Amerika, yang memiliki jaringan luas di Asia Timur. Flynn menyebutkan nama-nama tokoh yang sedang mengambil alih kendali, yakni Zhang Xiaoxia, Ding Xuexiang, dan Chen Jining, bahkan ia melampirkan foto-foto yang memicu spekulasi besar. Salah satunya memperlihatkan Zhang Xiaoxia mengenakan seragam militer sambil membawa senjata, yang diartikan sebagai sinyal kuat bahwa militer memegang peran dominan dalam pergantian kekuasaan ini.
Zhang Xiaoxia, dikenal sebagai Wakil Ketua Pertama Komisi Militer Pusat, sebelumnya adalah pendukung Xi. Namun kini muncul kabar bahwa Zhang justru memimpin operasi pembersihan terhadap loyalis Xi di tubuh militer. Sementara Ding Xuexiang, politisi muda yang kariernya menanjak berkat Xi sejak masa Shanghai, diproyeksikan menjadi Sekretaris Jenderal PKT. Chen Jining, tokoh teknokrat yang kini menjabat Wali Kota Shanghai, juga muncul sebagai calon Perdana Menteri.
Secara formal, Xi Jinping memang masih tercatat sebagai Presiden RRT. Namun informasi yang beredar, termasuk bocoran dari media diaspora Tionghoa, menyebutkan bahwa sejak April lalu Xi hanya menjalankan peran seremonial. Kendali sesungguhnya sudah beralih ke kelompok baru ini. Bahkan sempat muncul kabar bahwa Xi mencoba melakukan perlawanan bersenjata, tetapi gagal direalisasikan karena sebagian besar pengawalnya telah beralih kesetiaan.
Beberapa fakta di lapangan mendukung dugaan ini. Museum Peringatan Xi Zhongxun, ayah Xi Jinping yang selama ini menjadi simbol darah revolusi keluarga Xi, mendadak dihapus namanya dan diubah menjadi Museum Revolusi Guanzhong. Ini adalah pukulan simbolik yang menunjukkan usaha PKT mencabut legitimasi historis Xi di hadapan publik. Tak hanya itu, jumlah pengawal pribadi Xi dikabarkan berkurang drastis sejak Mei, padahal seorang pemimpin Tiongkok lazimnya dijaga dengan sistem keamanan super ketat.
Selain itu, Xi sempat menghilang dari pemberitaan resmi antara akhir Mei hingga awal Juni. Ketika akhirnya muncul bertemu Presiden Belarus, Lukashenko, pertemuan tersebut digelar di lokasi non-resmi tanpa protokol diplomatik standar, bahkan tidak menghadirkan penerjemah dari Kementerian Luar Negeri. Pengamat menilai ini adalah tanda bahwa Xi sudah tidak lagi mengendalikan lingkaran protokol dan birokrasi pemerintahan.
Insiden lain yang turut menambah keraguan adalah saat CCTV memberitakan percakapan telepon Xi dengan Donald Trump. Dalam tayangan itu, gelar resmi “Presiden Tiongkok” atau “Sekretaris Jenderal PKT” tidak dicantumkan sama sekali — hanya nama “Xi Jinping”. Walaupun kemudian segera diralat, kejadian ini dipandang sebagai eksperimen untuk mengukur reaksi publik bila Xi benar-benar ditanggalkan.
Konflik Internal Partai
Sejumlah pengamat menilai bahwa di balik perubahan dramatis ini berdiri dua sosok penting: mantan Perdana Menteri Wen Jiabao, serta mantan Presiden Hu Jintao. Wen, meskipun sudah pensiun, masih berpengaruh di kalangan elite, dan disebut sebagai sponsor politik bagi Zhang Xiaoxia. Sementara Hu Jintao, yang pernah dipermalukan Xi di depan publik pada Kongres PKT 2022, kini diduga menjadi motor penggerak untuk merestorasi keseimbangan di tubuh partai dan menyingkirkan Xi.
Konflik internal PKT sendiri juga meruncing. Saat ini terdapat dua kubu besar. Pertama, kelompok Wen Jiabao dan Zhang Xiaoxia yang ingin mengusut seluruh kebijakan Xi, termasuk tuduhan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Kedua, kelompok Hu Jintao yang lebih memilih kompromi, membiarkan Xi “pensiun terhormat” seperti pola yang dialami Hua Guofeng di era Deng Xiaoping. Tujuannya adalah meredam gejolak di akar rumput pendukung Xi dan mencegah bentrokan terbuka.
Nama Wang Yang, tokoh moderat dan mantan Wakil Perdana Menteri, juga mulai diperbincangkan sebagai calon alternatif. Ia dianggap figur netral, tak punya faksi militer kuat, dan punya pengalaman menjembatani kepentingan elite partai dengan publik. Wang dipercaya dapat menenangkan suasana sekaligus membuka kemungkinan perbaikan hubungan dengan dunia luar.
Faktor ekonomi menjadi bahan bakar utama bagi upaya menumbangkan Xi. Kebijakan “zero-COVID” yang ekstrem di era 2020–2022 menimbulkan luka mendalam bagi rakyat dan kalangan bisnis. Sektor properti ambruk, tercatat lebih dari 50 juta unit rumah kosong terbengkalai, utang nasional membengkak melampaui 50 triliun dolar AS, dan pengangguran pemuda melonjak ke rekor tertinggi. Investor asing hengkang, sementara masyarakat kelas menengah kehilangan kepercayaan.
Beberapa sumber bahkan mengungkapkan telah terjadi kerusuhan lokal, pembakaran pabrik, hingga protes anti-pemerintah di provinsi-provinsi industri Tiongkok. Meski tak pernah diberitakan media resmi, fenomena ini diyakini menjadi alarm keras bagi para tetua partai bahwa bila Xi tidak disingkirkan, kehancuran rezim tinggal menunggu waktu.
Faktor Tekanan Geopolitik
Persoalan geopolitik juga menambah tekanan. Hubungan Tiongkok dengan Amerika Serikat memburuk, konflik Laut Cina Selatan tak kunjung selesai, sementara tekanan ekonomi dari Eropa dan sekutu demokrasi lain semakin keras. Dalam situasi serba rapuh, banyak pihak di dalam PKT menilai pergantian pemimpin adalah opsi realistis untuk menyelamatkan kelangsungan sistem.
Bagaimana dampak globalnya? Stapleton Roy, mantan diplomat senior AS yang lama mempelajari Tiongkok, menyebutkan bahwa momentum pergantian rezim ini bisa dimanfaatkan oleh negara-negara demokrasi untuk menekan otoritarianisme di kawasan. Bila Tiongkok melunak, stabilitas di Asia Timur akan terbantu, bahkan Korea Utara, Iran, dan Rusia bisa terdampak secara strategis.
Roy juga menambahkan bahwa Sidang Pleno PKT bulan Agustus mendatang akan menjadi panggung penentu. Bila Xi tidak hadir, atau hanya muncul sekilas tanpa kekuasaan, maka publik internasional boleh menyimpulkan bahwa transisi telah benar-benar berjalan.
Meski demikian, tidak sedikit pengamat yang memperingatkan potensi instabilitas. Pergantian kekuasaan di negara otoriter jarang mulus. Dengan reputasi Xi yang sangat sentralistik, pemotongan pengaruhnya berisiko memicu reaksi balasan, baik dari loyalis di provinsi maupun di pasukan keamanan lokal.
Namun melihat besarnya tekanan ekonomi, kebencian rakyat terhadap lockdown, serta sinyal pembelotan di tubuh militer, peluang Xi mempertahankan kekuasaan secara penuh terlihat makin kecil.
Kini, pertanyaannya hanya soal waktu: seberapa cepat Xi benar-benar terdepak, dan seberapa dalam pembersihan terhadap loyalisnya? Di titik ini, publik Tiongkok dan komunitas global hanya bisa menunggu. PKT dikenal sangat tertutup soal konflik internalnya, namun pecahnya celah di media, munculnya pembocoran data diaspora, serta pernyataan tokoh-tokoh intelijen senior AS adalah sinyal bahwa proses suksesi sudah tak terbendung.
Seorang analis diaspora Tiongkok menulis, “Partai Komunis saat ini ibarat gedung tua yang di luar tampak gagah, tetapi pondasinya sudah lapuk. Xi Jinping, yang dulu ingin menjadi pilar penopang, justru mempercepat keretakan itu.”
Apapun hasilnya, satu hal pasti: era Xi Jinping tidak lagi setangguh dulu. Dan bagi rakyat Tiongkok, mungkin inilah kesempatan langka untuk menata kembali arah negara mereka menuju masa depan yang lebih terbuka, adil, dan stabil. (Diolah dari berita The Epoch Times)