Laut China Selatan Memanas Kembali: Barat Kritik Beijing, ASEAN Didorong Bersatu

adilnews | 17 June 2025, 11:07 am | 318 views

Oleh: Fadjar Pratikto

Konflik di Laut China Selatan kembali menjadi sorotan global setelah Uni Eropa, melalui Kepala Kebijakan Luar Negerinya yang baru, Kaja Kallas, menyuarakan keprihatinan mendalam atas aktivitas militer dan klaim teritorial Tiongkok di kawasan itu. Kunjungan Kallas ke Manila, ibu kota Filipina pada awal Juni 2025 menjadi penanda meningkatnya perhatian dunia internasional terhadap ketegangan yang telah lama mengakar di jalur strategis itu.

Provokasi Kapal Tiongkok
Sebelumnya situasi di Laut China Selatan (LCS) sempat memanas. Pada 21 Mei 2025, kapal-kapal Tiongkok menembakkan meriam air ke kapal Manila yang sedang melakukan penelitian di perairan yang disengketakan itu. Biro Perikanan di Manila mengatakan insiden itu terjadi di dalam wilayah laut teritorial Filipina di lepas pulau Thitu, atau Pagasa. Mereka berada dekat salah satu dari tiga gundukan pasir yang disebut Sandy Cay.

“Gangguan agresif penjaga pantai Tiongkok terjadi saat dua kapal Filipina sedang melakukan penelitian ilmiah kelautan rutin di gundukan pasir putih tandus yang terletak di antara pulau Thitu yang diduduki Filipina dan pangkalan pulau yang dibangun PKT yang disebut Subi Reef,” ujar Departemen Pertanian dan Biro Perikanan dikutip The Independent pada 23 Mei 2025. Namun, tiba-tiba kapal PKT menembak meriam air dan menyerempet kapal-kapal tersebut.

Menanggapi insiden terbaru ini, Duta Besar AS untuk Manila, MaryKay Carlson, mengatakan bahwa tindakan agresif penjaga pantai PKT terhadap misi sipil yang sah di dekat Sandy Cay secara sembrono membahayakan nyawa dan mengancam stabilitas regional. “Kami mendukung sekutu Filipina kami dalam mendukung hukum internasional dan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka,” kata Carlson dalam sebuah posting di X.

Saat kunjungannya ke Manila, Kallas juga menegaskan dukungan penuh Uni Eropa terhadap prinsip kebebasan navigasi dan supremasi hukum laut internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Ia juga menyerukan agar semua pihak menghormati batas maritim yang sah dan menghindari tindakan provokatif di kawasan yang menjadi titik tumpu ekonomi global itu.

“Kami sangat prihatin atas tindakan sepihak yang mengganggu stabilitas kawasan dan berpotensi memicu konflik terbuka. Kami berdiri bersama mitra kami di Asia Tenggara dalam menjunjung hukum internasional,” ujar Kallas dalam konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri Filipina, Enrique Manalo, di Manila pada 4 Juni 2025.

Tak lama setelah itu, Kementerian Luar Negeri Tiongkok merespons keras. PKT meminta Uni Eropa tidak mencampuri urusan regional dan berhenti memprovokasi masalah di LCS. Beijing bersikukuh mempertahankan klaim historisnya atas sebagian besar wilayah LCS, yang disebutnya “nine-dash line”. Klaim tersebut mencakup tumpang tindih dengan ZEE sejumlah negara seperti Filipina, Vietnam, Brunai, Malaysia, dan Indonesia.

Perlunya Konsolidasi ASEAN
Kembali menghangatnya isu Laut China Selatan menempatkan ASEAN dalam posisi genting. Di satu sisi, beberapa anggotanya memiliki sengketa langsung dengan PKT. Di sisi lain, ASEAN masih terikat dalam upaya menjaga stabilitas regional dan menjalin hubungan ekonomi dengan raksasa ekonomi Asia tersebut.

Ada pengamat menilai momen ini justru menjadi peluang penting bagi ASEAN untuk menunjukkan posisi kolektif dan konsisten dalam menghadapi tekanan eksternal, khususnya dari Tiongkok yang terus memperkuat militerisasi di wilayah yang disengketakan. ASEAN tidak bisa lagi bersikap pasif.

Meski tekanan diplomatik menguat, negara-negara ASEAN menghadapi dilema besar mengingat besarnya ketergantungan ekonomi terhadap Tiongkok. China merupakan mitra dagang terbesar bagi banyak negara di kawasan, termasuk Indonesia, Vietnam, dan Malaysia. Namun, hal ini tidak boleh dijadikan alasan untuk melemahkan posisi tawar politik dan hukum di Laut China Selatan. Justru dengan adanya ketergantungan itu, ASEAN perlu lebih kompak agar tidak bisa ditekan secara individu. Diplomasi kolektif akan jauh lebih efektif.

Pertemuan tingkat tinggi ASEAN yang dijadwalkan bulan depan di Laos akan menjadi momen penting untuk mengonsolidasikan sikap bersama. Banyak pengamat berharap agar konflik Laut China Selatan dimasukkan sebagai agenda prioritas, dan bukan sekadar pembahasan pinggiran seperti dalam pertemuan sebelumnya.

Filipina sendiri, di bawah pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos Jr., telah meningkatkan kerja sama pertahanan dengan Amerika Serikat dan Jepang, serta menyerukan solidaritas kawasan. Langkah ini menunjukkan urgensi untuk membangun aliansi strategis di tengah tekanan yang makin besar dari Beijing.

“Kalau ASEAN diam saja, kita akan kehilangan kontrol atas masa depan maritim kita sendiri,” kata Senator Francis Tolentino dari Filipina dalam pidatonya di Senat, Jumat (6/6/2025).

Menyikapi eskalasi ini, banyak pihak menilai bahwa pendekatan yang harus ditempuh bukanlah konfrontasi langsung, melainkan kombinasi antara ketegasan diplomatik, penguatan aliansi regional, dan peningkatan kapasitas maritim.

Negara-negara Asia Tenggara yang tergabung di ASEAN juga mesti bekerjasama dalam menghadapi sikap agresif Tiongkok di LCS. Sebab sikap berdiam diri justru akan memperkuat kecenderungan PKT melakukan aksi agresif dan bullying terhadap negara-negara yang memiliki ketumpangtindihan wilayah dengan Tiongkok.

‘Karena membentuk kerjasama coast guard diantara negara-negara di Asia Tenggara itu dalam hal responsif, mungkin akan lebih cepat dari pada kita mengandalkan negara-negara yang jauh aksesnya dari wilayah kita seperti Jepang atau Amerika Serikat,” tandas pakar hubungan internasional Universitas Paramadina Dr. Mohammad Riza Widyarsa pada 25 Juli 2024.

Indonesia dan Peran Kunci Regional
Sebagai negara dengan kawasan perairan yang luas dan letak strategis, Indonesia dipandang memiliki peran kunci dalam membentuk respons regional atas dinamika LCS. Presiden Prabowo Subianto pun sebelumnya telah menegaskan bahwa Indonesia tidak akan membiarkan kedaulatannya diganggu, termasuk di zona laut utara Natuna yang sempat menjadi titik ketegangan dengan kapal penjaga pantai Tiongkok.

Dalam beberapa kesempatan, Indonesia juga aktif mendorong penyusunan Code of Conduct (CoC) yang mengikat secara hukum antara ASEAN dan Tiongkok, namun hingga kini belum mencapai kesepakatan konkret.

Keterlibatan Indonesia sangat dibutuhkan untuk mendorong penyatuan posisi ASEAN. Jakarta dapat memainkan peran sebagai jembatan diplomasi yang tidak hanya menjaga stabilitas, tetapi juga memperjuangkan hak-hak negara-negara Asia Tenggara atas wilayah maritim mereka sesuai dengan UNCLOS.

Selain itu, Indonesia, sebagai negara terbesar di ASEAN, dapat memimpin inisiatif maritim bersama yang meliputi patroli keamanan, penguatan hukum laut, dan eksplorasi sumber daya bersama di wilayah non-sengketa.

Langkah-langkah ini dapat diperkuat melalui kolaborasi dengan mitra eksternal seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan India—selama tidak menimbulkan ketergantungan baru atau mengundang perang dingin baru.

Bagaimanapun LCS bukan sekadar medan konflik geopolitik. Ia adalah jalur perdagangan internasional yang menyumbang triliunan dolar AS setiap tahunnya, menjadi sumber ikan dan energi yang vital, serta simbol kedaulatan negara-negara Asia Tenggara. Dalam situasi seperti sekarang, hanya solidaritas dan ketegasan bersama yang dapat menghindarkan kawasan dari dominasi sepihak dan ancaman konflik berkepanjangan.

Berita Terkait