Kudeta Senyap di Zhongnanhai: Xi Jinping Mundur, Zhang Youxia Kuasai Beijing

adilnews | 14 June 2025, 13:09 pm | 2124 views

Oleh: Fadjar Pratikto

BEIJING, ADILNEWS.COM— Gejolak besar tengah mengguncang jantung kekuasaan Republik Rakyat Tiongkok. Isu mundurnya Presiden Xi Jinping disertai manuver militer berskala besar oleh Jenderal Zhang Youxia memunculkan spekulasi bahwa telah terjadi kudeta diam-diam di ibu kota, tepatnya di kompleks kekuasaan Zhongnanhai.

Pada malam 6 Juni 2025, ribuan pasukan bersenjata lengkap dikerahkan di wilayah strategis ibu kota. Dari jalan Chang’an hingga kawasan elite pemerintahan Partai Komunis Tiongkok (PKT), patroli militer bersenjata terlihat menjaga ketat berbagai pos komando. Sumber yang dikutip The Epoch Times menyebut ini sebagai mobilisasi militer paling besar sejak protes Tiananmen 1989.

Yang paling mengejutkan, Jenderal Zhang Youxia—tokoh militer senior PKT dan orang kepercayaan keluarga Mao Zedong—dilaporkan memimpin langsung patroli tersebut. Dengan berseragam tempur lengkap dan dikawal kendaraan lapis baja, kemunculan Zhang dianggap sebagai deklarasi tidak langsung bahwa kepemimpinan Xi Jinping telah berakhir.

Serangan Jantung dan Surat Wasiat

Xi Jinping, pemimpin paling dominan sejak era Mao, dilaporkan mengalami serangan jantung berat pada akhir Mei 2025. Setelah itu, kemunculannya sangat terbatas dan hanya ditampilkan lewat video pendek yang diedit secara hati-hati.

Informasi dari kalangan internal partai menyebut Xi telah menyiapkan surat wasiat politik. Dalam surat tersebut, ia meminta agar partai dan militer melindungi keluarganya setelah transisi kekuasaan. Ini memperkuat spekulasi bahwa bukan hanya karier politik Xi yang telah berakhir, melainkan juga kondisi kesehatannya yang kian memburuk.

Dalam waktu bersamaan, beberapa tokoh yang sebelumnya dekat dengan Xi, seperti Jenderal He Weidong, menghilang dari panggung publik. Sementara itu, Xu Qiliang—eks Wakil Ketua Komisi Militer Pusat—telah meninggal dunia. Kekosongan ini memberi ruang penuh bagi Zhang Youxia untuk mengonsolidasikan kekuasaan.

Triumvirat Zhang, Wang, dan Hu

Seiring meredupnya Xi, rumor yang beredar di kalangan elite menyebut adanya rencana pemerintahan baru yang dibentuk secara darurat:

Zhang Youxia sebagai Ketua Komisi Militer Pusat (pengendali utama kekuatan militer dan keamanan),

Wang Yang, mantan Ketua Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok, disebut akan menduduki posisi Sekretaris Jenderal PKT,

Hu Chunhua, tokoh muda yang sebelumnya diunggulkan sebagai Perdana Menteri di masa lalu, kini dikabarkan akan menggantikan Li Qiang di posisi tersebut.

Namun secara de facto, hanya Zhang yang memiliki kekuatan nyata saat ini. Wang dan Hu, meski dianggap reformis, belum memiliki struktur kekuatan yang seimbang terhadap aparat militer.

Tiga Langkah Awal

Tiga hari setelah patroli militer besar-besaran di Beijing, tiga peristiwa penting terjadi yang menandai “pembersihan” terhadap warisan Xi Jinping:

1. Penangkapan Gao Yichen, mantan Wakil Menteri Keamanan Nasional, yang dikenal sebagai loyalis garis keras Xi.

2. Kembalinya agenda reformasi ekonomi bergaya Li Keqiang, dengan fokus pada pembukaan pasar dan pengurangan kontrol negara atas sektor teknologi.

3. Dicabutnya larangan ekspor mineral rare earth ke Amerika Serikat, langkah yang sangat bertolak belakang dengan kebijakan Xi yang konfrontatif.

Editorial di media milik negara Xinhua pada 6 Juni menyindir pemimpin “yang hanya bisa bicara dari naskah dan tak berani bersentuhan dengan rakyat”—sindiran tajam yang hampir pasti ditujukan ke Xi.

Meski Zhang kini memegang kendali atas kekuatan militer dan intelijen, kekuasaan politiknya belum sepenuhnya diterima oleh kalangan birokrasi sipil. Beberapa provinsi penting seperti Guangdong, Shanghai, dan Sichuan dikabarkan mulai mempertanyakan legitimasi pusat.

Analis di Taiwan dan Hong Kong menyebut Tiongkok tengah memasuki fase “pemerintahan pusat lemah” atau fragmentasi kekuasaan, di mana elite lokal berpotensi mengambil alih kendali wilayah masing-masing jika konflik di pusat berkepanjangan.

Reformasi atau Disintegrasi?

Xi Jinping selama lebih dari satu dekade memusatkan kekuasaan secara ekstrem. Ia menghapus batas masa jabatan presiden, memperluas pengawasan digital, dan melumpuhkan oposisi dalam dan luar partai. Di bawahnya, Tiongkok menjadi semakin otoriter dan tertutup.

Namun, krisis ekonomi, tekanan internasional, pandemi yang tidak tertangani, dan kegagalan diplomasi Belt and Road Initiative membuat dukungan terhadap Xi terkikis tajam dalam dua tahun terakhir. Bahkan kalangan “princeling” (anak cucu elite partai) mulai terang-terangan mengkritik Xi secara privat.

Dengan naiknya Zhang Youxia, arah kebijakan Tiongkok masih belum jelas. Apakah ia akan mengembalikan keseimbangan kekuasaan dan membuka ruang reformasi? Ataukah justru memperkuat cengkeraman militer dalam pemerintahan dan menutup peluang demokratisasi?

Ketidakpastian ini menimbulkan kegelisahan global. Pasar saham Tiongkok sempat jatuh 7% dalam satu hari. Sementara itu, investor asing mulai menarik modal secara bertahap karena kekhawatiran akan instabilitas politik jangka panjang.

Pemerintah AS, melalui Departemen Luar Negeri, menyatakan sedang “mengamati dengan sangat cermat” perkembangan di Beijing. Beberapa pejabat Uni Eropa menyebut situasi saat ini sebagai “momen krusial yang menentukan nasib masa depan Tiongkok.”

Jika rumor mundurnya Xi Jinping benar, maka musim semi politik mungkin telah dimulai di Tiongkok—meski belum jelas apakah itu akan membawa harapan baru atau kekacauan baru. Sejarah mengajarkan bahwa setiap transisi kekuasaan besar di Tiongkok selalu diiringi gejolak, konflik internal, dan pergolakan ideologi.

Namun satu hal jelas: era Xi Jinping yang memusatkan kekuasaan di satu tangan telah berakhir. Dunia kini menanti arah baru dari “Negeri Tirai Bambu” di bawah bayang-bayang militer.

Berita Terkait