BAOXIA LIU: Agen Bayangan dari Tiongkok yang Selundupkan Teknologi Senjata AS ke Iran

adilnews | 19 June 2025, 16:37 pm | 251 views

Amerika Serikat kembali diguncang oleh skandal besar penyelundupan teknologi militer. Seorang warga negara Tiongkok, Baoxia Liu menjadi sorotan dunia setelah penyelidikan FBI mengungkap perannya sebagai otak jaringan global penyelundupan teknologi persenjataan dari Amerika ke Iran.

Aksinya ini bukan hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga memperlihatkan potensi keterlibatan aktor negara dalam menciptakan jaringan bayangan untuk memperkuat kekuatan militer negara-negara “musuh” Barat. Perlawanan balik Iran terhadap Israel dalam perang modern daksm sepekan ini menunjukan canggihnya persenjataan militer Iran.

Jejak Gelap “Emily Liu”
Lahir di Weifang, Shandong, pada 10 September 1981, Baoxia Liu memiliki identitas lain sebagai Emily Liu. Ia dikenal fasih berbahasa Mandarin, Kanton, dan Farsi—kemampuan linguistik yang menjembatani operasinya antara Tiongkok, Iran, dan pasar global. Bukan hanya pelaku tunggal, Liu menjalankan operasinya bersama tiga rekan lainnya: Li Yongxin (Emma Lee), Yung Yiu Wa (Stephen Yung), dan Zhong Yanlai (Sydney Chung).

Mereka menjalankan operasi rahasia selama hampir dua dekade, membentuk dan mengoperasikan perusahaan cangkang di Tiongkok dan Hong Kong yang menyamarkan identitas serta tujuan pengiriman komponen militer yang dibeli secara legal dari produsen AS. Komponen itu mencakup perangkat penting untuk sistem drone militer, rudal balistik, dan peralatan komunikasi tempur.

Dorong Lompatan Teknologi Militer Iran
Melalui manipulasi dokumen ekspor dan pemalsuan identitas penerima, jaringan Liu mengekspor ribuan komponen elektronik kelas militer dari AS. Produk-produk itu awalnya seolah ditujukan untuk pasar komersial di Tiongkok, namun kenyataannya dialihkan ke perusahaan-perusahaan yang terafiliasi langsung dengan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC).

Di antaranya adalah Shiraz Electronics Industries, Rayan Roshd Afzar, dan entitas teknologi militer lainnya yang menjadi jantung dari pengembangan persenjataan Iran. Hal ini memungkinkan Iran untuk memperkuat lini produksi senjata-senjata canggih—yang pada akhirnya disuplai ke negara-negara seperti Rusia, Sudan, dan Yaman.

Menurut penyataan resmi Departemen Luar Negeri AS, Liu tidak hanya menyuplai, tapi secara aktif mengorkestrasi pengadaan, distribusi, dan pengamanan logistik agar teknologi sensitif AS bisa tiba di tangan militer Iran secara utuh dan tersembunyi.

Pakar pertahanan menilai, keberhasilan Iran dalam menciptakan drone kamikaze Shahed-136 yang digunakan dalam konflik Timur Tengah dan disuplai ke Rusia dalam perang Ukraina, tidak lepas dari transfer teknologi yang dilakukan jaringan Liu. Meski Iran berada di bawah sanksi berat internasional, mereka terbukti mampu melesat dalam pengembangan teknologi militer berkat suplai ilegal ini.

“Ini bukan hanya soal penyelundupan semikonduktor,” ujar seorang analis di Brookings Institution. “Ini adalah transfer kekuatan. Baoxia Liu dan jaringannya telah memainkan peran kunci dalam membangun kembali tulang punggung teknologi militer Iran, dan memperluas pengaruh senjata Iran ke medan perang global.”

Bayang-bayang PKT
Meski pemerintah Tiongkok membantah memiliki hubungan langsung dengan Liu, laporan intelijen Barat mencurigai bahwa operasi Liu tidak mungkin berjalan tanpa perlindungan atau pengawasan dari otoritas di Beijing.

Sebagai pemilik perusahaan dagang di daratan Tiongkok, Liu diyakini memiliki hubungan dengan pejabat keamanan negara, bahkan disebut-sebut memiliki afiliasi dengan Departemen Intelijen Militer PLA dan Biro Keamanan Negara (MSS)—dua lembaga kunci dalam operasi luar negeri Partai Komunis Tiongkok.

“Tidak masuk akal jika aktivitas sebesar ini tidak terdeteksi oleh aparat Tiongkok,” ujar mantan agen CIA kepada CBS News. “Apalagi, jaringan ekspor Liu beroperasi dari Hong Kong—wilayah yang kini berada sepenuhnya dalam kendali Beijing.”

Beberapa analis bahkan mengaitkan operasi Liu sebagai bagian dari strategi perang asimetris PKC: mendukung musuh-musuh AS melalui proxy negara ketiga (Iran), guna menekan dominasi Barat di kawasan Timur Tengah dan Eurasia.

Titik Temu Teknologi dan Geopolitik
Atas perannya dalam operasi penyelundupan ini, FBI telah menetapkan Baoxia Liu dalam daftar buron paling dicari (“Most Wanted”) dan menawarkan hadiah sebesar 15 juta dolar AS (sekitar Rp 245 miliar) bagi siapa pun yang bisa memberikan informasi untuk menangkapnya.

FBI mencurigai Liu kini bersembunyi di Iran atau wilayah China daratan, dan memperingatkan bahwa ia masih memiliki akses terhadap jaringan bisnis dan kemungkinan paspor palsu.

Pengamat internasional menyebut ini sebagai “sindrom Meng Wanzhou kedua”, mengacu pada petinggi Huawei yang ditangkap di Kanada karena pelanggaran sanksi serupa. Hanya saja, Liu tampaknya jauh lebih licin dan terlatih untuk menghindari penegakan hukum.

Kasus Baoxia Liu menunjukkan bagaimana jalur perdagangan global dapat disusupi oleh aktor negara untuk memperkuat sekutu ideologis mereka dan menantang tatanan geopolitik dunia. Dalam bayang-bayang dokumen ekspor dan perusahaan dagang, tersimpan proyek besar menyelundupkan kekuatan teknologi Barat ke tangan negara yang dimusuhi Barat.

Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, kasus ini menjadi alarm bagi komunitas intelijen global tentang perlunya memperkuat kontrol ekspor, memperketat transparansi perusahaan, dan menyadari bahwa perang di era modern tidak hanya terjadi di medan tempur, tapi juga di balik meja dagang dan server logistik lintas negara.

“Baoxia Liu bukan hanya penyelundup,” kata seorang pejabat tinggi Departemen Perdagangan AS, “Ia adalah pion dari permainan besar di mana teknologi adalah senjata, dan jalur perdagangan adalah medan perangnya.” (Fadjar/ Jakarta)

Berita Terkait