Bagi ASEAN dan Indonesia, China Dipersepsikan Sebagai Ancaman Nyata di Laut China Selatan

adilnews | 23 June 2024, 15:49 pm | 97 views

JAKARTA – Konflik di Laut China Selatan ternyata menjadi kekuatiran bagi sebagian besar rakyat Indonesia dan ASEAN. Mereka bahkan melihat sikap agresif China di perairan itu sebagai ancaman nyata.

Demikian hasil hasil jajak persepsi publik yang dilakukan oleh Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) bersama Litbang Kompas yang dipresentasikan oleh Edna Caroline, S.T, M.Sc dalam seminar bertajuk ‘Ancaman China di Laut China Selatan: Antara Persepsi dan Realita’ yang diselenggarakan oleh Pusat Studi G20 Universitas Pelita Harapan (UPH) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta pada 21 Juni 2024.

Dalam survey tersebut, sebanyak 78,9 responden berpandangan bahwa kehadiran China di Laut China Selatan membawa ancaman bagi negara-negara ASEAN, sedangkan 73,1 persen responden menganggap China menghadirkan ancaman bagi Indonesia.

“Yang menarik, generasi Y dan Z termasuk di antara responden yang memiliki persepsi ancaman dari China itu. Dan, sebagian terbesar (39,1 persen) responden beranggapan bahwa Indonesia dapat memperkuat kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan melalui menjalin kemitraan dengan negara-negara ASEAN, sedangkan 16,7 persen menganggap Amerika Serikat (AS) sebagai mitra yang tepat,” jelas Edna Caroline yang juga co-founder ISDS.

Edna juga melaporkan bahwa para responden survey memahami kedaulatan bukan semata-mata dalam konteks teritorial, tetapi juga dalam konteks lain, seperti kedaulatan ekonomi, politik, dan ideologi.

Senada dengan itu, Ketua FSI sekaligus dosen Magister Ilmu Komunikasi UPH Johanes Herlijanto, Ph.D. mengatakan pemahaman responden itu memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia sangat sensitif dan menentang setiap upaya pihak luar mempengaruhi kemandirian negara dan pemerintah Indonesia melalui cara apapun. Bahkan menurut Johanes ada latar-belakang historis atas persepsi China sebagai ancaman yang dapat ditelurusi hingga ke pertengahan abad yang lalu.

“Persepsi China sebagai ancaman sangat dominan di era pemerintahan Orde Baru, dan terus bertahan hingga rezim tersebut berakhir,” tuturnya.

Menurut Johanes, salah satu penyebabnya adalah kecurigaan bahwa China telah melakukan intervensi dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan memberikan bantuan pada Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan kudeta yang gagal pada tahun 1965.

“Sekitar satu dasawarsa setelah runtuhnya rezim Orde Baru, tepatnya di zaman pemerintahan Presiden Yudhoyono, persepsi terhadap China di kalangan publik di Indonesia, khususnya kelas menengah, bergeser menjadi positif,” jelas Johanes. Namun, berdasarkan keterangannya, persepsi negatif kembali mendominasi publik sejak tahun 2015.

“Penyebabnya antara lain adalah berkembangnya media baru yang membuka arus informasi terkait tingkah laku China di dunia internasional, makin intensifnya hubungan ekonomi Indonesia China yang diwarnai dengan berbagai isu termasuk isu pekerja migran dan kekhawatiran terhadap ketergantungan Indonesia terhadap China, dan sikap China yang makin agresif dan asertif di Laut China Selatan, termasuk di ZEE Indonesia dekat Kepulauan Natuna,” tandas Johanes.

Dalam pandangan Johanes, hadirnya pandangan kritis dan persepsi negatif terhadap China, termasuk persepsi China sebagai ancaman di Laut China Selatan, perlu direspons secara bijak oleh pemerintah Indonesia. “Pemerintah Indonesia perlu mempertahankan kehati-hatian dalam menjalankan kerja sama ekonomi dengan China, sambil tetap menjaga (atau bahkan meningkatkan) sikap tegas, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan kedaulatan dan kemandirian Indonesia,” pungkasnya.

Sikap Ambigu
Sementara itu, Laksamana Muda TNI (Purn) Dr Surya Wiranto yang juga salah satu narasumber dalam seminar itu menilai pemerintah Indonesia selama ini cenderung bersikap ambigu dalam mensikapi agresivitas China di Laut China Selatan. Selama ini seolah-olah tak ada permasalahan antara Indonesia dan China di Laut China Selatan. Namun pada praktiknya, menurut Surya, China telah melakukan klaim terhadap wilayah ZEE Indonesia, dengan menarik garis putus-putus sebagai tanda kepemilikan China atas sebagian ZEE Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna, sebuah perairan yang sejak 2017 dinamakan sebagai Laut Natuna Utara.

“Perlu diketahui bahwa klaim China tersebut bukan hanya terkait hak menangkap ikan yang menurut mereka telah mereka lakukan di sana dalam sejarah, tetapi juga klaim terhadap landas kontinen Indonesia, yang menentukan hak Indonesia melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di bawah laut,” tegas Surya.

Meskipun klaim tersebut tidak berdasar dan dinilai ilegal menurut Surya, Konvensi PBB Terhadap Hukum Laut (UNCLOS), China tetap melakukan berbagai aktivitas untuk menegakan klaimnya tersebut.

“Milisi maritim China, dengan dikawal oleh kapal-kapal penjaga pantai China, sambil diawasi oleh angkatan laut mereka, berulangkali memasuki ZEE Indonesia,” tutur dosen Program Studi Keamanan Maritim Universitas Pertahanan RI ini. Secara de facto, menurut Surya, China menghadirkan ancaman di Laut China Selatan, meski secara de jure, Indonesia tidak memiliki tumpang tindih klaim dengan China.

Hal yang sama diingatkan oleh Direktur Eksekutif Pusat Studi G20 UPH, Amelia J.R. Liwe, Ph.D. Ia berharap Indonesia memiliki sikap yang tegas dalam menghadapi ancaman China di Laut China Selatan, demi mempertahankan prinsip-prinsip Indonesia. “Memang Indonesia menjalankan politik luar negeri bebas aktif, tetapi bebas dan aktif tidak berarti tidak punya prinsip,” ujar ketua program studi Magister Ilmu Hubungan Internasional UPH itu.
Dengan memegang prinsip, ia yakin Indonesia lebih bisa memainkan peran yang besar di kancah regional dan internasional. (Sang Fadjar)

Berita Terkait