
Oleh: Fadjar Pratikto
Di balik reruntuhan yang sunyi di tepian Sungai Batanghari, Jambi, berdiri sebuah kompleks candi yang membisu menyimpan kejayaan masa lalu: Candi Muara Jambi. Tak banyak yang tahu, situs ini adalah salah satu kompleks percandian Buddha terluas di Asia Tenggara, bahkan pernah diduga menjadi pusat pendidikan agama Buddha yang luar biasa, jauh sebelum para peziarah spiritual dari Asia menapakkan kaki di Nalanda, India.
Menyusuri kisahnya, kita akan menelusuri kembali masa keemasan Kerajaan Sriwijaya—negara maritim yang bukan hanya pusat perdagangan, melainkan juga mercusuar kebijaksanaan spiritual Buddha di Timur.
Kejayaan Sriwijaya dan Penyebaran Buddha
Kerajaan Sriwijaya, yang berdiri sekitar abad ke-7 M dan mencapai puncaknya pada abad ke-9 M, merupakan kekuatan besar maritim yang menguasai jalur perdagangan utama dari Selat Malaka hingga Laut Cina Selatan.
Puncak kejayaan Kerajaan Sriwijaya dimulai pada abad ke-8 hingga ke-9. Di bawah kepemimpinan Raja Balaputradewa (850 M), Sriwijaya memiliki wilayah kekuasaan hingga Malaysia, Singapura, dan Thailand Selatan. Namun, selain unggul dalam bidang ekonomi dan militer, Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat pembelajaran agama Buddha Mahayana yang dihormati di seluruh dunia Timur.
Catatan paling terkenal datang dari I-Tsing (Yijing), seorang biksu dari Tiongkok yang melakukan perjalanan ke India pada abad ke-7 M. Dalam catatannya, ia menyebutkan bahwa dirinya singgah di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar tata bahasa Sanskerta dan memperdalam ajaran Buddha sebelum melanjutkan ke Nalanda di India.
Dalam pengakuannya, I-Tsing menyebut Sriwijaya memiliki lebih dari seribu biksu yang belajar dan menyalin kitab suci. Ini menandakan bahwa kerajaan ini bukan sekadar perhentian pelayaran, tetapi sebuah universitas agung tempat para pencari kebenaran spiritual menimba ilmu.
Dalam tulisannya, I-Tsing menulis: “Dalam perjalanan ke India, akan bijak untuk belajar di Sriwijaya dahulu selama satu atau dua tahun sebelum melanjutkan ke Nalanda, sebab di sana terdapat guru-guru yang sangat mumpuni.”
Keterangan ini menjadi bukti tak terbantahkan tentang keunggulan pendidikan Buddha di Sriwijaya. Dunia mengenal Nalanda sebagai pusat belajar Buddha terbesar dan tertua, namun Sriwijaya adalah tempat di mana peziarah mempersiapkan diri, baik secara intelektual maupun spiritual.
Jantung Spiritualitas Itu Bernama Muara Jambi
Selama ini, banyak yang mengira pusat kerajaan Sriwijaya terletak di Palembang. Namun, sejumlah arkeolog dan sejarawan mulai melirik Muara Jambi sebagai kemungkinan kuat pusat intelektual, atau bahkan administratif Sriwijaya pada masa-masa tertentu. Kompleks percandian Muara Jambi, yang luasnya mencapai lebih dari 12 km², menyimpan sisa-sisa bangunan bata merah, kanal-kanal kuno, dan ribuan artefak yang belum seluruhnya dieksplorasi.
Situs ini diperkirakan dibangun dari abad ke-7 hingga ke-13 Masehi, dan menariknya, ia bertahan bahkan saat pengaruh Sriwijaya mulai memudar. Candi-candi seperti Gumpung, Tinggi, Astano, dan Kedaton menunjukkan karakteristik arsitektur Buddha Mahayana yang kental, dengan pengaruh India dan Tibet.
Beberapa temuan penting di Muara Jambi, seperti arca Bodhisattva, stupa miniatur, serta prasasti-prasasti kuno, menunjukkan bahwa tempat ini bukan hanya ruang peribadatan, tetapi juga pusat pendidikan dan penyalinan naskah suci. Hal ini sejalan dengan deskripsi I-Tsing tentang keberadaan “perpustakaan dan ruang belajar” di Sriwijaya.
Peneliti dari Ecole Française d’Extrême-Orient (EFEO) dan arkeolog lokal telah menemukan bukti sistem drainase dan kanal canggih, menunjukkan tata kota yang sangat maju. Bahkan ditemukan struktur yang diduga sebagai tempat tinggal para biksu dan pusat pelatihan spiritual. Ini menguatkan dugaan bahwa Muara Jambi adalah semacam universitas terbuka ala abad pertengahan—mungkin setara dengan Nalanda dalam ukuran yang berbeda.
Pendidikan Buddha dan Diplomasi Internasional
Sriwijaya juga diketahui memiliki jaringan diplomatik yang kuat dengan kerajaan-kerajaan Buddha lain di Asia. Catatan dari prasasti Ligor (Thailand) dan prasasti Nalanda (India) menyebutkan bahwa raja Sriwijaya mendanai pembangunan vihara di Nalanda dan mengirimkan utusan secara berkala. Bahkan, salah satu raja Sriwijaya, Balaputradewa, diabadikan dalam prasasti Nalanda sebagai “dermawan besar dari Suvarnadvipa” (Pulau Emas, sebutan India untuk Sumatera).
Pendidikan di Sriwijaya tidak hanya terbatas pada pelajaran agama. Kemungkinan besar para siswa juga mempelajari logika, tata bahasa, kedokteran, astronomi, dan filsafat, sebagaimana kurikulum yang juga dijalankan di Nalanda. Dengan demikian, Sriwijaya memainkan peran besar dalam mempersiapkan generasi pemikir Buddha yang nantinya menyebarkan Dharma hingga Tibet, Tiongkok, dan Asia Tenggara.
Sayangnya, kejayaan Sriwijaya dan Muara Jambi perlahan memudar. Invasi dari Kerajaan Chola (India Selatan) pada abad ke-11 mengguncang Sriwijaya. Disusul kemudian dengan pergeseran jalur perdagangan dan bangkitnya kerajaan-kerajaan baru di Jawa dan Malaka. Namun, situs Muara Jambi tampaknya tetap digunakan sebagai tempat spiritual hingga abad ke-13, masa peralihan dari Sriwijaya ke pengaruh Kerajaan Melayu-Dharmasraya dan Majapahit.
Kini, Muara Jambi memang tak seramai Borobudur atau Angkor Wat, tetapi nilai spiritual dan sejarahnya tak kalah penting. Di sinilah jejak peradaban maritim Nusantara bersanding erat dengan kebijaksanaan Dharma. Pemerintah Indonesia telah menetapkannya sebagai kawasan cagar budaya nasional dan sedang mengajukan situs ini sebagai warisan dunia UNESCO.
Memahami sejarah kejayaan Sriwijaya dan hubungannya dengan Candi Muara Jambi bukan hanya soal masa lalu, tapi juga tentang menanam kembali benih spiritualitas dan intelektualitas Nusantara. Di tengah derasnya arus modernisasi, kisah Sriwijaya menjadi pengingat bahwa Indonesia pernah menjadi jantung peradaban Asia Tenggara—bukan hanya melalui rempah-rempah, tetapi juga lewat ilmu, filsafat, dan ajaran luhur yang menghubungkan manusia dengan kebijaksanaan semesta.
Kini, saat dunia mulai mencari kembali makna spiritual di tengah krisis materialisme, kisah Sriwijaya dan Muara Jambi mungkin bisa menjadi mercusuar baru. Sebuah ajakan sunyi dari masa lalu untuk menghidupkan kembali warisan intelektual dan kebijaksanaan Nusantara di masa depan.***
