JOGJA- Sorgum memiliki potensi besar untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Sebagai sumber pangan, sorgum diharapkan dapat berkontribusi untuk menghadapi tantangan perubahan iklim. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman mendalam tentang berbagai produk yang dapat dikembangkan dari sorgum, serta dampaknya terhadap diversifikasi pangan. Pengembangan sorgum pada wilayah spesifik yang sesuai dari segi agroekologi dan budaya juga penting untuk keberlanjutan suatu komoditas.
Untuk itu, petani di lereng Merapi tepatnya Kapanewon Cangkringan Sleman yang diinisiasi oleh Forum Adat dan Tradisi Budaya Cangkringan membudidayakan sorgum di sawah demplot (milik Sukapdi), Padukuhan Glagahwero, Kelurahan Wukirsari Cangkringan sejak tiga bulan lalu. Kini hasilnya sudah terlihat, tanaman Sorgum di deplotnya bisa tumbuh subur dan sudah berbunga.
Sebelumnya, Ketua Forum Adat dan Tradisi Budaya Kapanewon Cangkringan, Sukapdi menuturkan, inisiatif budidaya sorgum didasari keinginan warga untuk melestarikan (nguri-uri) budaya Jawa yang telah dicontohkan para leluhur, salah satunya menanaman dan mengkonsumsi sorgum sebagai pangan lokal. Oleh karena itulah dalam proses penanaman tersebut disertai dengan nuansa budaya Jawa, salah satunya keterlibatan bregada.
Menurut Sukapdi, dibandingkan padi/beras, sorgum memiliki lebih banyak keunggulan, antara lain, lebih sehat, kandungan energinya lebih tinggi, tinggi serat, tinggi protein, sekali tanam bisa empat kali panen dan bisa ditanam di tanah marjinal yang kurang air. Bahkan sorgum telah berhasil dibudidayakan di lahan pasir seperti di gumuk pasir Parangtritis.
Selain Forum Adat dan Tradisi Budaya Cangkringan, budidaya sorgum di Cangkringan Sleman itu diinisiasi juga oleh berbagai pihak seperti Badan pangan Nasional, Sorgum Sejahtera Foundation (SSF), Lions Club Yogyakarta Puspita Mataram hingga dinas terkait di lingkungan Pemkab Sleman.
Menurut Ketua Sorgum Sejahtera Foundaton Moh Rifai, sorgum sangat cocok ditanam di kawasan lereng Merapi karena sebagian besar tanahnya subur. Ia sepakat sorgum sebagai pangan lokal harus terus dilestarikan karena dari sisi gizi tidak kalah dengan jenis pangan lainnya. Di sisi lain, budidaya sorgum sangat mudah dilakukan.
“Kami yakin panennya akan lebih banyak, di Parangtritis saja dengan lahan kering bisa panen, apalagi di sini dengan tanah subur, air juga cukup,” tandas Moh Rifai.
Deputi Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Pangan Nasional Dr. Andriko Noto Susanto berharap jumlah budidaya sorgum di kawasan lereng Merapi bisa terus meningkat. Bapanas sepenuhnya mendukung program inisiatif masyarakat tersebut. Penanaman sorgum menjadi salah satu ide yang tepat sebagai pangan lokal pengganti beras.
Selain itu budidaya dapat meminimalkan ketergantungan impor gandum. Saat ini Indonesia tercatat sebagai negara pengonsumsi beras terbesar di dunia dengan jumlah 93 kilogram per kapita per tahun. Angka tersebut sebenarnya mulai turun dibandingkan tahun sebelumnya. Akan tetapi penurunan itu diikuti dengan naiknya konsumsi terigu di angka 17 kilogram pe kapita per tahun. Adapun terigu sebagian besar merupakan impor. (Sang Fajar)