JAKARTA- Drama peretasan Pusat Data Nasional Sementara 2 (PDNs) di Surabaya sudah berakhir. Sindikat kriminal Brain Chiper telah memberikan kunci enkripsi untuk membuka gembok pada sistem pusat data itu pada 3 Juli 2024. Meski demikian, bukan berarti sudah aman sepenuhnya, potensi ancaman lain akibat dikuasainya sistem PDNS tetap ada. Sebab serangan ransomware meninggalkan jejak pintu belakang yang setiap saat bisa diakses kembali oleh peretas.
Seperti yang ramai diberitakan, PDNs yang dikelola oleh Kementrian Komunikasi & Informasi (Kominfo) diretas sejak 20 Juni 2024, tapi pemerintah baru mengakuinya pada 24 Juni lalu. Badan Syber dan Sandi Negara (BSSN) menyebut virus yang menyerang PDNs merupakan data Ransomware LockBit 3.0. Ransomware merupakan istilah jenis malware yang menyerang sistem data.
Masalahnya peretasan data nasional ini mengacaukan segalanya. Apalagi selama ini PDN mengelola 73 data kementerian lembaga serta ratusan milik pemerintah daerah. Tak heran jika Kominfo dan BSSN yang bertanggung jawab atas pengelolaan PDNs ini dinilai gagal menjaga objek vital dan strategis tersebut.
Salah Dari Awal
Serangan siber yang meluluhlantakkan database di PDNs 2 disebut oleh Pakar IT, Ridho Rahmadi sebagai akibat dari ketergantungan Indonesia pada perusahaan asing khususnya dari China dalam membangun infrastruktur digital. “Karena, infrastruktur digital di Indonesia tidak sepenuhnya dibangun oleh orang Indonesia,” tandas Ridho, dikutip dari podcast Integritas milik eks penyidik KPK, Novel Baswedan, pada 25 Juni 2024.
Dicontohkan, Palapa Ring yang memiliki 35.000 kilometer jaringan internet. Ada bagian dari Palapa Ring yang menghubungkan Indonesia bagian timur mulai Kalimantan, Sulawesi hingga Maluku Utara. “Panjangnya 1.600 kilometer. Ini simpul penting karena menghubungkan dengan negara sekitar. Yang membangun adalah China,” kata Ridho.
Selain itu, lanjut Ridho, ada Fiber Star yang menghubungkan 95 kota. Termasuk 3.000 kilometer yang menghubungkan Jakarta-Surabaya. “Yang membangun China juga. Lewat Huawei dan segala macam,” kata menantu Amien Rais itu.
Perusahaan tehnologi China masuk ke Indonesia melalui program Digital Silk Road (DSR), proyek infrastruktur digital yang dibiayai lewat utang. Di mana, DSR merupakan bagian dari Belt and Road Initiative (BRI), sebelumnya bernama One Belt One Rod (OBOR). Indonesia sendiri gabung dengan BRI pada 2015. Saat ini, anggota BRI sudah mencapai lebih dari 160 negara.
Tidak hanya itu, China menggarap 41 proyek digital di Indonesia. Mulai dari pusat data, telekomunikasi, smart city dan banyak lagi lainnya. Sebanyak 73 aplikasi di Indonesia juga buatan China.
Bisa dibayangkan, lanjut Ridho, jika China mematikan jaringan internet 1.600 km di Palapa Ring dan Fiber Star selama 12 jam. Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia akan sangat terganggu
“WhatApps (WA) mati, belanja online mati, belajar online mati, ekonomi mati. Kemungkinan chaos, kita tumbang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tinggal menunggu waktu. Kalau dibandingkan dengan peretasan PDN saat ini, tidak ada apa-apanyalah,” ungkap Ketua Umum Partai Ummat ini.
Tehnologi China Dicurigai
Kekuatiran Ridho memang cukup beralasan. Apalagi selama ini China punya rekam jejak buruk karena suka nyolong data. Sejumlah negara juga ramai-ramai menolak perangkat tehnologi dari China seperti Huawei dan ZTE, juga aplikasi media sosial TikTok karena dinilai membahayakan keamanan negara.
Sebaliknya, Indonesia menggelar karpet merah bagi investasi China dalam rangka mengembangkan ekosistem digitalnya. Kerja sama Huawei dengan Indonesia adalah bagian dari strategi China yang lebih luas untuk memperluas pengaruh ekonomi dan politiknya di dunia melalui inisiatif One Belt and One Road — program global infrastruktur, teknologi, dan investasi yang diluncurkan oleh Presiden China Xi Jinping sejak 10 tahun lalu.
Program itu mencakup pengembangan sistem digital, yang dianggap oleh pemerintah Indonesia sebagai kunci kemajuan masa depan. Ekonomi internet Indonesia diproyeksikan mencapai US$124 miliar (Rp1,9 triliun) pada 2025, menurut laporan 2020 oleh Google, Temasek, dan Bain & Company.
Berdasarkan artikel di Bener news pada 29 September 2023, disebutkan pemerintah kita bahkan merangkul Huawei sejak tahun 2000 dalam pengembangan infrastruktur digital dan perlindungan keamanan data. Perusahaan ini juga memiliki kesepakatan tentang kerja sama keamanan data dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Namun dominasi Huawei telah menimbulkan kekhawatiran beberapa ahli di Indonesia, di tengah tuduhan dari AS dan negara-negara Barat lainnya bahwa perusahaan tehnologi China terlibat dalam aktivitas mata-mata dan sabotase.
Menurut Ardi Sutedja, ketua Forum Keamanan Siber Indonesia, Huawei sangat melekat dalam infrastruktur telekomunikasi nasional, dari jaringan inti hingga perangkat pengguna akhir. “Sangat sulit bagi kita untuk beralih ke perusahaan lain karena dari hulu ke hilir, infrastruktur 3G dan 4G kita sudah dikelola oleh Huawei,” ujarnya seperti dikutip Radio Free Asia.
Ardi juga memperingatkan potensi bahaya jika Indonesia bergantung pada satu perusahaan asing, terutama untuk keamanan siber. Ardie mencatat bahwa masyarakat “menikmati gelombang teknologi baru tanpa menyadari bahwa teknologi juga bisa menjajah mereka.”
Para ahli mendefinisikan penjajahan atau kolonialisme digital sebagai keadaan di mana perusahaan-perusahaan teknologi berskala besar menyaring, menganalisis, dan menguasai data pengguna untuk keuntungan dan pengaruh pasar dengan manfaat yang tidak seberapa bagi konsumen atau sumber data.
Lemahnya hukum perlindungan data serta kepemilikan infrastruktur oleh perusahaan-perusahaan teknologi asing memungkinkan eksploitasi data sebagai sumber daya bagi keuntungan dan berbagai macam penggunaan termasuk analitik prediktif, kata para ahli.
Alfons Tanujaya, ahli keamanan siber lainnya, mengatakan Indonesia perlu berhati-hati jangan membiarkan pihak luar mengendalikan jaringannya – “tidak hanya China tetapi juga Amerika Serikat.”
“Kalau kita bicara tentang penyadapan, tanpa 5G pun kita sudah bisa disadap. Semua perangkat keras kita dari China, kita pakai modem, kamera CCTV, dan segala macam dari China,” tutur Alfons.
Pada 2020, Robert O’Brien, yang saat itu penasihat keamanan nasional AS, mengatakan bahwa Amerika memiliki bukti bahwa Huawei dapat “mengakses informasi sensitif dan pribadi” di sistem yang dioperasikan di seluruh dunia. Hal itu dimungkinkan sebab Huawei dipengaruhi oleh pemerintah China dan harus mematuhi arahan Partai Komunis China.
Tahun lalu, peneliti di Carnegie Endowment for International Peace, sebuah lembaga riset di Washington, mengatakan bahwa Huawei “telah menempatkan diri sebagai penyedia keamanan siber pilihan Indonesia” melalui program-program pelatihan keamanan siber dan lainnya yang luas untuk kelompok mulai dari pejabat pemerintah senior hingga siswa di pedesaan.
Beberapa perusahaan teknologi Barat, seperti Ericsson, Nokia, dan Google, juga bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan lembaga pendidikannya, tetapi tidak ada yang sejauh Huawei, menurut para ahli.
Sementara itu, Huawei telah mendominasi infrastruktur telekomunikasi Indonesia dengan menawarkan harga rendah, kredit dari bank-bank China, dan pelatihan untuk orang lokal.
Berbeda dengan di Indonesia, di berbagai negara perusahaan ini menghadapi tantangan hukum atas dugaan pencurian rahasia dagang, pelanggaran sanksi AS terhadap Iran, dan pelanggaran paten. Perusahaan ini menghadapi pembatasan atau larangan atas peralatan atau layanannya di AS, Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Inggris Raya.
Langkah-langkah ini telah menghambat ekspansi global dan pangsa pasar Huawei, terutama di sektor 5G. Huawei juga menghadapi gangguan rantai pasokan akibat sanksi AS yang mencegahnya mengakses komponen dan teknologi kunci dari pemasok Amerika.
Situasi tersebut telah mempengaruhi kemampuannya untuk memproduksi dan menjual produknya, seperti ponsel pintar dan peralatan jaringan.
Meski demikian, Huawei telah berusaha mengembangkan alternatifnya sendiri, seperti sistem operasi HarmonyOS dan chip HiSilicon. Perusahaan ini juga telah mencari pasar dan mitra baru di wilayah lain, seperti di Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah. Sebagian Asia, termasuk Indonesia pun dengan terbuka menerimanya tehnologi komunikasi China ini. (Sang Fajar)