Antisipasi Potensi Gempa Megathrust dan Tantangannya

adilnews | 24 August 2024, 07:09 am | 51 views

JAKARTA, ADILNEWS.COM- Sejak pemerintah melalui BMKG mengingatkan akan potensi gempa megathrust di Tanah Air, ada kekuatiran sebagian besar masyarakat kita akan terjadinya bencana alam itu. Apalagi kita pernah mengalami bencana gempa dan tsunami di Aceh pada 2004 dan di Yogyakarta pada tahun 2006 silam yang memporak-porandakan dua wilayah tersebut. Lantas apa yang mesti kita persiapkan untuk menghadapi potensi gempa besar itu jika benar-benar terjadi?

Dalam Diskusi Pojok Bulaksumur di selasar tengah Gedung Pusat UGM, Yogyakarta pada 22 Agustus 2024, pakar gempa sekaligus dosen Teknik Geologi UGM, Ir. Gayatri Indah Marliyani, S.T., M.Sc., Ph.D. mengatakan ancaman gempa megathrust dan tsunami memang selalu ada namun masyarakat tidak perlu khawatir secara berlebihan. “Kita tidak bisa menghindari potensi bencana sehingga usaha untuk menyiapkan diri perlu dilakukan dengan segera. Paham posisi masing-masing terhadap kemungkinan bencana. Jangan menunggu bencana terjadi baru reaktif, tetapi siapkan diri selalu,” ujar Gayatri berpesan

Terkait kemungkinan lokasi yang menjadi pusat gempa besar itu, lanjut Gayatri, biasanya berada di sekitar batas zona subduksi yang ada di antara dua lempeng, yakni lempeng benua dan lempeng samudra. Lempeng yang tidak dapat bergerak menimbun energi yang kian besar sehingga dilepaskan menjadi gempa yang besar pula hingga berpotensi menjadi tsunami. Gayatri menyebutkan gempa megathrust yang paling besar pernah terjadi di zona subduksi di Valdivia, Chile Selatan, sebesar 9,5 magnitudo.

Di Indonesia, zona subduksi yang aktif meliputi area selatan Pulau Jawa, memanjang dari barat Sumatra ke Selat Sunda, area timur Pulau Jawa, dan selatan Pulau Lombok. “Potensi megathrust di daerah ini besar karena nilai historisnya, yakni gempa Aceh tahun 2004 dan gempa Pangandaran tahun 2006. Untuk mengetahui di daerah sana ada kemungkinan gempa lagi atau tidak, perlu diukur dari instrumentasi data geologi,” tandas Gayatri.

Sementara itu, peneliti dari Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM, Galih Aries Swastanto, M.Sc, meminta pemerintah perlu memperhatikan penanggulangan bencana megathrust ini seperti yang tertuangan dalam Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana yang menyatakan bahwa penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang pemerintah. Aries juga menekankan, penting bagi pemerintah untuk melakukan penanganan baik sebelum, saat kejadian bencana, dan sesudah bencana. Oleh karena itu, edukasi ke masyarakat mengenai pengetahuan kebencanaan dan cara-cara penanggulangannya juga perlu digalakkan.

Menurut Aries, layanan kebencanaan adalah layanan dasar yang harus diutamakan di samping sektor-sektor lain. “Ada dan tidak ada anggaran, harus tetap diutamakan dan diusahakan,” jelas Aries. Sejauh ini, kata Aries, sistem peringatan dini di Indonesia sudah berjalan dengan baik yang mampu mengintegrasikan segala macam bencana sehingga dapat terdeteksi. Ia pun berpesan agar masyarakat dapat lebih siap dan lebih tenang dalam menghadapi ancaman resiko bencana yang bisa datang sewaktu-waktu.

Untuk itu, kedua narasumber tersebut menyarakan agar pemerintah dan seluruh stakeholder melakukan penyampaian pengetahuan mengenai kebencanaan secara konsisten dan berkala agar masyarakat tetap waspada, tetapi juga tidak perlu takut yang berlebihan.

Gempa Megathrust adalah keniscayaan. Dilansir dari buku “Geologi Gempa Bumi Indonesia” (2024) karya Ade Anggraini dkk., secara geologi dan tektonik, Indonesia memiliki 13 segmentasi sumber gempa Megathrust dan lebih dari 295 segmentasi sumber gempa sesar aktif. Indonesia juga terletak di kawasan Ring of Fire, yaitu pertemuan tiga lempeng tektonik dunia seperti Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Kondisi ini menyebabkan Indonesia sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi.

Gempa Megathrust sendiri merupakan gempa bumi yang berasal dari zona subduksi, sebuah wilayah di mana salah satu lempeng tektonik bumi terdorong ke bawah lempeng tektonik lainnya. Karena dua lempeng terus bergerak maju dan saling bergesekan, hal ini dapat memicu gempa yang sangat dahsyat di bawah laut dan berpotensi menyebabkan tsunami.

Belum lama ini, Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, Daryono mengatakan potensi terjadinya gempa Megathrust bisa dilihat dari adanya seismic gap di zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut.

“Kekhawatiran ilmuwan Jepang terhadap Megathrust Nankai sama persis dirasakan oleh ilmuwan Indonesia, khususnya terhadap Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Siberut. Rilis gempa di dua segmen ini boleh dikata tinggal menunggu waktu karena sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar,” jelas Daryono pada 19 Agustus 2024.

Dengan potensi ancaman yang begitu besar, penting bagi masyarakat Indonesia untuk lebih waspada dan mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terjadinya gempa Megathrust. (Sukma)

Berita Terkait