WASPADA Mikrodrama Tiongkok Digandrungi Emak-Emak Indonesia, Ternyata Disusupi Propaganda PKT

adilnews | 30 September 2025, 09:05 am | 25 views

JAKARTA, ADILNEWS.COM- Beberapa tahun terakhir, video pendek berseri asal Tiongkok yang dikenal sebagai mikrodrama tengah merajai layar ponsel masyarakat Indonesia. Dengan durasi hanya 1–3 menit per episode, alur cerita yang penuh kejutan, dan kisah yang mudah dicerna, format hiburan ini sukses memikat hati banyak penonton.

Di Indonesia, penggemar setianya justru banyak berasal dari kalangan ibu rumah tangga. “Aku suka mikrodrama dari Tiongkok karena ceritanya seru dan lucu, paling suka kisah kerajaan Tiongkok di masa silam,” ujar Natalia (53), warga asal Banten, ketika sedang menonton mikrodrama Tiongkok.

Fenomena itu disadari betul oleh industri media dalam negeri. Sejak setahun lalu, MNC Group menjalin kerja sama dengan Fujian PekanTV (Quanzhou), salah satu rumah produksi besar di Tiongkok. Head of Creative Production PT MNC OTT Network, Thaleb Wahjudi, menyebut kolaborasi ini sebagai peluang pertukaran budaya.

“Dengan adanya kolaborasi ini, diharapkan Indonesia bisa mengadakan co-production dan akan bertukar juga mengenai kebudayaan serta potensi kerja sama lainnya,” katanya. Program hasil kerja sama itu kemudian tayang di iNews TV dan platform OTT RCTI+.

Dari Hiburan ke Propaganda
Mikrodrama awalnya meledak di Tiongkok. Data iiMedia Research mencatat pasar mikrodrama daring di Negeri Tirai Bambu pada 2023 mencapai 5,25 miliar dolar AS (Rp87,3 triliun), melonjak dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Angkanya diproyeksikan menembus 14 miliar dolar AS pada 2027.

Tren ini pun merambah ke dunia. Menurut Soochow Securities, nilai industri global mikrodrama (di luar Tiongkok) diperkirakan mencapai 10 miliar dolar AS (Rp166,3 triliun) pada 2027. Aplikasi asal Tiongkok seperti ReelShort kini masuk jajaran aplikasi hiburan paling populer di Google Play dan App Store dengan puluhan juta unduhan.

Tak heran jika minat masyarakat Indonesia semakin meningkat, apalagi dengan gempuran konten di YouTube, TikTok, Facebook, hingga Instagram.

Namun, di balik keseruan drama pendek ini, pakar menilai ada agenda tersembunyi Partai Komunis Tiongkok (PKT). The Epoch Times melaporkan bahwa sejak 2022, rezim Tiongkok memperketat sensor mikrodrama sekaligus mengguyur subsidi bagi konten yang menampilkan citra positif PKT, budaya tradisional, dan narasi nasionalis.

Administrasi Radio dan Televisi Nasional (NRTA), yang berada di bawah kendali Departemen Propaganda PKT, mewajibkan semua mikrodrama tunduk pada “arah politik yang benar.” Hingga akhir 2023, lebih dari 170 juta episode mikrodrama dihapus dengan alasan vulgar atau “berbahaya” menurut standar partai.

“Entah mikrodrama atau format lain, semuanya bisa memungkinkan arus informasi bebas yang tidak ingin dilihat PKT,” kata Tang Jingyuan, pengamat politik berbasis di AS.

Selain menyaring konten di dalam negeri, PKT juga mendorong format ini untuk “go global.” Kompetisi Minisiri Internasional diluncurkan sejak 2024 dengan tujuan “menceritakan kisah Tiongkok dengan baik kepada dunia,” sebuah slogan yang kerap diulang Presiden Xi Jinping.

Strategi Soft Power Beijing
Bagi Beijing, mikrodrama kini menjadi bagian dari strategi soft power. Sheng Xue, penulis dan aktivis HAM Tiongkok di Toronto, menyebut rezim menggunakan format ini untuk menyebarkan narasi politik atau disinformasi ke luar negeri.

Contoh ekstrem adalah beredarnya cerita mikrodrama palsu tentang Presiden AS Donald Trump yang jatuh cinta pada petugas kebersihan Gedung Putih. Meski cerita itu fiktif, ia sempat viral dan menghasilkan pendapatan ratusan juta dolar AS, menunjukkan bagaimana format ini bisa digunakan untuk membentuk persepsi publik.

“PKT bisa menggunakan format ini untuk menciptakan isu palsu atau menyisipkan sindiran politik guna memengaruhi persepsi masyarakat luar negeri,” ujar Sheng.

Di Indonesia, tren mikrodrama masih dipandang sebagai hiburan ringan. Namun, dengan masuknya kerja sama antara MNC Group dan stasiun televisi Tiongkok, konten tersebut perlahan menjadi bagian dari arus utama.

Redo Doron, Head of Sales MNC Contents & Licensing, menyebut konten Tiongkok kini menjadi salah satu komponen utama OTT MNC. “Masyarakat Indonesia sangat menyenangi drama series dari China. Kolaborasi ini membantu mengenalkan kebudayaan mereka sekaligus memperkuat kerja sama kedua negara,” katanya.

Meski demikian, sejumlah pengamat mengingatkan agar masyarakat tetap kritis. Peneliti dari Taiwan Institute for National Defense and Security Research (INDSR), Kung Shan-Son, menyebut promosi budaya lewat mikrodrama bukan sekadar mempercantik citra, melainkan juga untuk membangkitkan sentimen nasionalis di Tiongkok yang berujung pada legitimasi kekuasaan PKT.

Bagi penonton Indonesia, mikrodrama Tiongkok memang hadir sebagai hiburan instan. Formatnya singkat, temanya bervariasi mulai dari kisah cinta hingga balas dendam, dan kerap menghadirkan nuansa fantasi kerajaan yang memikat.

Namun, di balik layar, pemerintah Tiongkok justru menjadikan format ini sebagai kendaraan ideologi. Mulai dari promosi “pariwisata merah,” warisan budaya takbenda, hingga narasi “komunitas dengan masa depan bersama,” mikrodrama kini menjadi medium propaganda global.

Dengan masuknya mikrodrama ke layar kaca dan aplikasi populer di Indonesia, publik kini dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah kita benar-benar sedang menikmati hiburan ringan, atau diam-diam sedang menjadi audiens dari narasi politik dari Beijing? (Sang Fajar)

Berita Terkait