Trump Kenakan Tarif 19% untuk Indonesia, Tapi Beri Akses Bebas Produk AS: Kesepakatan atau Ketimpangan?

adilnews | 17 July 2025, 02:37 am | 548 views

JAKARTA, ADILNEWS- Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump kembali mengguncang arena perdagangan global dengan kebijakan tarif terbarunya. Pada Selasa (15/07/2025) waktu setempat, Trump mengumumkan pemberlakuan tarif impor sebesar 19% terhadap berbagai produk asal Indonesia. Yang mengejutkan, Trump menyebut keputusan ini sebagai bagian dari “kesepakatan besar” yang hanya dibuat dengan Indonesia, sambil tetap memuji negara Asia Tenggara itu sebagai mitra dagang yang cerdas.

“Mereka (Indonesia) akan membayar 19% dan kami (AS) tidak akan membayar apa pun,” kata Trump dalam pidatonya, seperti dikutip dari Reuters, Rabu (16/07). “Kami akan memiliki akses penuh ke Indonesia, dan kami memiliki beberapa kesepakatan yang akan diumumkan.”

Tarif Sepihak, Akses Penuh untuk Produk AS
Melalui kesepakatan tersebut, Trump mengklaim bahwa produk-produk asal AS akan masuk ke pasar Indonesia dengan bea masuk nol persen, sementara Indonesia wajib membayar tarif 19% saat mengekspor ke AS. Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, mempertegas posisi ini dengan mengatakan, “Tidak ada tarif di sana. Mereka membayar tarif di sini, mengubah asimetri ke arah kita. Ini akan membebaskan petani, peternak, nelayan, dan industri kita.”

Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar di dalam negeri. Bukan hanya soal tarif yang tinggi dan sepihak, tetapi juga soal akses penuh tanpa pembatasan yang diberikan Indonesia kepada produk-produk AS di berbagai sektor strategis, termasuk energi, pertanian, dan aviasi.

Tak hanya soal tarif, kesepakatan ini juga mewajibkan Indonesia untuk melakukan pembelian dalam jumlah besar terhadap produk-produk AS. Trump menyebut, Indonesia akan:
•Membeli produk energi dari AS senilai US$15 miliar (sekitar Rp244 triliun),
•Membeli produk pertanian AS senilai US$4,5 miliar (sekitar Rp73 triliun),
•Membeli 50 unit pesawat Boeing, khususnya Boeing 777.

Trump bahkan menyebut Indonesia sebagai negara yang “terkenal memiliki tembaga berkualitas tinggi, yang akan kita gunakan”, mengisyaratkan kerja sama lanjutan di sektor pertambangan dan bahan baku strategis.

Kesepakatan yang “Hebat” — Tapi untuk Siapa?
Dalam unggahan di akun media sosial pribadinya, Truth Social, Trump menyebut perjanjian dengan Indonesia sebagai “kesepakatan hebat untuk semua orang”, bahkan menyebut dirinya berhubungan langsung dengan “Presiden mereka yang sangat dihormati”, meski tidak menyebut nama Prabowo Subianto secara langsung.

Namun di dalam negeri, kesepakatan ini justru memunculkan kekhawatiran tentang ketimpangan dan potensi kerugian ekonomi jangka panjang. Dengan tarif yang tinggi ke pasar AS dan akses bebas untuk barang dari AS,

posisi tawar Indonesia dinilai sangat lemah. Ada yang menganggap itu relasi dagang yang timpang dan tidak setara. RI dikenakan tarif tinggi, tapi mereka masuk tanpa hambatan. Plus, kita harus belanja besar-besaran dari mereka.

Sebelum tarif 19% ini diumumkan, pada 7 Juli 2025 lalu Trump telah mengumumkan tarif sebesar 32% terhadap produk Indonesia, bersama 13 negara lain. Tarif tersebut akan berlaku efektif mulai 1 Agustus 2025. Namun, pasca lawatan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto ke Washington DC untuk negosiasi, angka tarif diturunkan menjadi 19% — angka yang kini disebut sebagai “hasil kesepakatan”.

Belum ada pernyataan resmi dari pemerintah Indonesia terkait pengumuman terbaru Trump ini. Namun sumber internal menyebut bahwa Presiden Prabowo masih mengkaji respons yang tepat. Pemerintah dihadapkan pada dilema antara menjaga hubungan strategis dengan AS atau melindungi kedaulatan dan kepentingan ekonomi nasional.

Dampak ke Industri Nasional
Sektor manufaktur, tekstil, furnitur, agrikultur, dan elektronik menjadi pihak yang paling dirugikan dari kebijakan ini. Produk-produk unggulan Indonesia kini harus bersaing di pasar AS dengan tambahan beban tarif 19%, sementara produk AS dapat menjual dengan harga kompetitif di dalam negeri.

“Kita sedang menghadapi tsunami impor dari AS, sementara ekspor kita ditekan. Ini bukan kerja sama, ini tekanan,” ujar pengusaha anggota Apindo yang namanya tak mau disebut.

Para pengamat menyarankan agar Indonesia segera membawa masalah ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bila kebijakan ini dinilai melanggar prinsip perdagangan adil dan berimbang, Jika itu memang kesepakatan, transparansinya harus dijelaskan. Kalau itu sepihak, RI punya hak menggugat.

Kesepakatan tarif 19% dan akses bebas untuk produk AS memunculkan pertanyaan besar: apakah Indonesia sedang “menjual murah” pasarnya dalam negosiasi strategis? Atau ini bagian dari strategi diplomasi ekonomi yang lebih besar?

Yang jelas, pemerintah Indonesia dituntut bersikap tegas, terbuka, dan bertanggung jawab terhadap publik. Tanpa penjelasan resmi dan peta jalan kebijakan yang adil, publik akan terus bertanya: siapa yang diuntungkan dari kesepakatan ini? (Prambudi/Jakarta)

Berita Terkait