Terbongkarnya Tambang Emas Ilegal WNA Tiongkok di Papua: Pola Lama, Ancaman Baru

adilnews | 30 September 2025, 08:58 am | 6 views

PAPUA, ADILNEWS.COM- Kasus tambang emas ilegal kembali menyeret warga negara asing asal Tiongkok di tanah Papua. Pada 16 September 2025, aparat gabungan mengamankan seorang pria berinisial HB di Kabupaten Keerom, Papua, yang diduga kuat melakukan aktivitas penambangan emas ilegal di kawasan hutan perbatasan.

Penangkapan ini menambah daftar panjang praktik eksploitasi emas Indonesia oleh jaringan asing, setelah sebelumnya enam warga negara (WN) Tiongkok ditangkap di Waropen pada 2021 dalam kasus serupa.

Meski berbeda waktu dan lokasi, benang merahnya terlihat jelas: keterlibatan WNA Tiongkok dalam jaringan penambangan emas tanpa izin (PETI) di Papua yang merugikan negara, merusak lingkungan, dan menyingkap adanya dukungan mafia lokal.

Jejak Tambang Ilegal di Papua
Informasi yang dihimpun menyebut HB ditangkap aparat setelah warga melaporkan adanya aktivitas mencurigakan di sekitar kawasan hutan yang dikenal sebagai lokasi rawan PETI. Saat digerebek, HB ditemukan bersama sejumlah pekerja lokal, alat penyedot pasir emas, serta bahan kimia berbahaya untuk pemurnian emas.

Meski barang bukti belum diumumkan secara resmi, aparat memastikan HB akan diproses hukum sesuai aturan tindak pidana pertambangan dan imigrasi. Kasubdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Papua, Kompol Agus F. Pombos, mengatakan pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka karena berperan sebagai investor dalam tambang ilegal itu.

“HB ditangkap di Kampung Kalipur, Distrik Senggi dan saat ini berada di tahanan Polda Papua guna pengembangan penyelidikan,” katanya seperti dilansir ANTARA, 16 September 2025.

Penangkapan HB mengingatkan publik bahwa Papua kini bukan hanya target perusahaan besar legal, tetapi juga incaran jaringan tambang ilegal internasional.

Kabar penangkapan HB seakan membuka kembali ingatan publik pada kasus serupa empat tahun lalu, ketika itu TNI mengamankan enam WNA Tiingkok di Kabupaten Waropen, Papua. Saat itu, masyarakat melaporkan adanya aktivitas mencurigakan di sungai yang diduga dijadikan lokasi tambang emas liar.

Ketika aparat turun ke lokasi, temuan mereka mengejutkan: enam WN China itu tidak memiliki paspor atau dokumen imigrasi sah, namun sudah melakukan penambangan emas ilegal dengan alat penyedot pasir dan peralatan rakitan. Kasus itu sempat ramai dibicarakan, tetapi publik jarang mendengar kelanjutan proses hukumnya.

Kedua kasus—HB di Keerom dan enam WN Tiongkok di Waropen—menegaskan pola yang sama: masuknya pekerja asing secara ilegal, aktivitas tambang emas liar di wilayah terpencil, serta lemahnya pengawasan negara.

Jauh sebelum itu, pada 2018, Kantor Imigrasi Kelas II Tembagapura, Timika mengamankan 13 dari ratusan WNA Tiongkok yang disinyalir bekerja di sejumlah perusahaan tambang emas rakyat di Kabupaten Nabire tanpa melapor secara resmi kepada imigrasi.
“Bukan puluhan orang saja, bisa sampai ratusan orang. Ini sudah berlangsung lama tanpa ada pengawasan,” tandas Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Tembagapura, Timika Jesaja Samuel Enock seperti dikutip iNews.co.id pada 11 Juni 2018.

Papua Bisa Jadi Kalimantan Kedua
Papua kini menjadi target baru bagi jaringan tambang ilegal internasional, termasuk yang dikendalikan WNA Tiongkok. Hal ini tak lepas dari dua faktor utama:

1. Cadangan emas besar – Papua dikenal memiliki salah satu deposit emas terbesar di dunia, baik di tambang resmi maupun di wilayah hutan yang belum tersentuh eksploitasi modern.

2. Pengawasan lemah – Luas wilayah, kondisi geografis sulit, serta keterbatasan aparat membuat banyak titik rawan PETI di Papua sulit diawasi secara berkelanjutan.

Kalau kasus tersebut dibiarkan, Papua bisa menjadi Kalimantan kedua, di mana tambang emas ilegal marak dan bahkan dikendalikan oleh jaringan asing dengan sokongan mafia lokal.”

Meski fokus kasus terbaru ada di Papua, pola keterlibatan investor Tiongkok dalam tambang emas ilegal juga sudah lama terlihat di Kalimantan Barat. Nama-nama seperti Yu Hao, yang divonis 3,5 tahun penjara karena terbukti menambang emas ilegal seberat 774 kilogram di Ketapang, menjadi contoh betapa besar skala kejahatan ini.

Selain Yu Hao, publik sempat mendengar istilah “golden manager”, sebutan untuk WNA Tiongkok yang mengatur jaringan PETI di Kalimantan dengan buruh lokal. Kasus-kasus itu memperlihatkan pola serupa: modal dan teknologi dari asing, perlindungan dari mafia lokal, sementara kerugian negara mencapai triliunan rupiah setiap tahun.

Kini, dengan penangkapan HB di Keerom dan kasus Waropen sebelumnya, pola itu mulai terlihat merambah Papua.

Ancaman Kedaulatan Ekonomi dan Keamanan
Selain kerugian finansial, dampak lingkungan dari tambang ilegal sangat besar. Di Papua, sungai-sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat terancam rusak akibat merkuri dan sianida yang digunakan untuk memurnikan emas.

Kerusakan lingkungan juga berarti hilangnya mata pencaharian masyarakat lokal, yang bergantung pada hasil hutan dan sungai. Lebih ironis lagi, sebagian warga justru direkrut menjadi buruh tambang dengan upah murah, tanpa perlindungan keselamatan kerja.

“Yang untung hanya investor gelap dan mafia. Rakyat Papua yang seharusnya jadi tuan di tanah sendiri malah jadi buruh tambang di negerinya,” ujar Yosep, seorang aktivis lingkungan di Papua.

Baik kasus HB maupun kasus Waropen sebelumnya menunjukkan lemahnya penegakan hukum di lapangan. Publik khawatir kasus HB akan berakhir sama seperti kasus serupa di Waropen—menghilang dari pemberitaan tanpa kejelasan.

Kritik juga mengarah pada vonis ringan yang dijatuhkan kepada Yu Hao di Kalimantan Barat. Dengan kerugian negara dan kerusakan lingkungan yang besar, vonis 3,5 tahun dianggap tidak sebanding. Jika pola vonis ringan ini berlanjut, sulit mengharapkan adanya efek jera.

Keterlibatan WNA Tiongkok dalam tambang emas ilegal bukan sekadar pelanggaran pidana, melainkan ancaman terhadap kedaulatan ekonomi dan keamanan negara.

Dari sisi ekonomi, emas bernilai miliaran rupiah yang seharusnya masuk kas negara justru bocor ke luar negeri. Dari sisi keamanan, infiltrasi pekerja asing tanpa dokumen sah menandakan adanya celah serius dalam pengawasan perbatasan dan imigrasi.

Selama ini, Papua adalah frontier resource Indonesia. Jika pengawasan longgar, bukan hanya emas yang hilang, tapi juga kontrol negara atas wilayah strategis ini bisa terancam,

Kasus di Papua, hingga jejak panjang tambang ilegal di Kalimantan memperlihatkan pola kejahatan lintas negara yang sistemik. Pemerintah Indonesia harus belajar dari pengalaman Kalimantan: jika tidak ada tindakan tegas dan transparan, Papua bisa menjadi ladang baru bagi penjarahan emas oleh jaringan asing.

Negara dituntut tidak hanya menghukum pelaku lapangan, tetapi juga membongkar mafia lokal dan jaringan internasional di baliknya. Tanpa itu, emas Papua hanya akan menjadi kutukan baru—menguntungkan oligarki dan asing, namun meninggalkan kerusakan permanen bagi masyarakat dan generasi mendatang. (Fadjar)

Berita Terkait