Rugikan Rakyat, YLBHI dan CELIOS Gugat Kenaikan PPN 12%

adilnews | 30 November 2024, 12:08 pm | 341 views

JAKARTA, ADILNEWS.COM- Kebijakan pemerintah dalam menaikan PPN sebesar 12% dianggap merupakan serangan serius
terhadap konstitusi. Oleh karena itu Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama CELIOS mendesak pemerintah Probowo Subiyanto untuk membatalkan kenaikan PPN tersebut.

“Pemerintah dan DPR mesti merevisi perhitungan Tarif PPN 12% dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sebelum 1 Januari 2025,” demikian siaran pers yang diterima Redaksi ADILNEWS pada 29 November 2024.

Lebih lanjut, YLBHI dan Celios meminta pemerintah mengevaluasi terhadap anggaran jumbo kementerian dan lembaga, terutama kepolisian. Selain itu, mereka mendesak pemerintah untuk meningkatkan ruang partisipasi publik dalam pembahasan keuangan negara.
“Perlu diterapkan kebijakan Pajak yang Berkeadilan seperti : Pajak Kekayaan, Pajak Windfall, komoditas ekstraktif, pajak produksi batu bara, dan Pajak Karbon,” jelasnya.

Menutup kebocoran pajak sektor sawit hingga transaksi perusahaan digital lintas negara juga juga dianggap YLBHI dan CELIOS sebagai opsi perpajakan yang bisa dijalankan oleh pemerintah. “Perlu mereformasi sistem perpajakan seperti memperluas basis pajak dan meningkatkan efisiensi pemungutan,” tuturnya.

Tak ketinggalan, pemerintah dianggap perlu mendorong sektor informal menjadi formal, yang lebih berdampak pada perluasan basis pajak, seperti : insentif PPh UMKM 0,1-0,2%. Juga meninjau kembali pengeluaran negara triliun rupiah yang terbuang untuk proyek-proyek PSN yang mangkrak dan penyertaan modal negara untuk BUMN yang terbukti tidak menghasilkan nilai tambah dan daya saing.

Kebijakan Sesat
Kenaikan PPN 12% yang berlaku efektif 1 Januari 2025, bagi YLBHI dan CELIOS, merupakan kebijakan yang sesat. Dalih
mengerek pertumbuhan ekonomi serta mengatasi kemiskinan dianggap merupakan alasan yang manipulatif.

Hasil studi CELIOS mengungkap kebijakan tarif PPN 12% berisiko menurunkan PDB (Produk Domestik Bruto) hingga Rp65,3 triliun, mengurangi jumlah konsumsi rumah tangga sebesar Rp40,68 triliun. Artinya, PPN 12% akan mengancam ekonomi 2025. Kenaikan tarif PPN dari 11% ke 12% juga meningkatkan pengeluaran pekerja sebesar Rp357 ribu per bulan.

“Kenaikan PPN menjadi 12% menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar
Rp101.880 per bulan, memperburuk kondisi ekonomi mereka.
Hal itu menyebabkan kelompok rentan miskin mengalami tambahan beban pengeluaran Rp153.871 per bulan,
serta mengancam kemampuan mereka untuk bertahan,” jelasnya.

Kebijakan tersebut juga akan menyebabkan kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan. Sehingga memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah
rentan.

Dampak lainnya juga menimpa Gen Z. Menurutnya, kenaikan PPN 12% dapat memicu permasalahan sosial seperti tingkat perceraian karena alasan ekonomi, dan tekanan mental (mental health) bagi Gen. Z. “Per Tahun Gen Z harus membayar Rp1,75 juta lebih mahal karena selisih tarif PPN dibanding tahun sebelumnya. Gen Z dari segi umur paling dirugikan dengan adanya
kenaikan tarif PPN,” lanjutnya.

Untuk itu mereka menyarankan daripada menaikkan PPN, pemerintah masih memiliki alternatif penerimaan negara lainnya yang tidak membebani masyarakat miskin, seperti pajak kekayaan (wealth tax), pajak produksi batubara, pajak windfall komoditas, dan implementasi pajak karbon.

Potensi pendapatan dari menutup kebocoran pajak di sektor kelapa sawit sebesar Rp300 triliun dan kebocoran pajak digital (perusahaan over the top) juga dianggap jauh lebih signifikan dalam menaikkan rasio pajak.

Untuk memperlebar ruang fiskal, pemerintah sebenarnya juga masih bisa mengevaluasi kembali proyek mangkrak, penghentian proyek IKN yang membebani APBN, serta Pengurangan penyertaan modal pada BUMN yang tidak produktif, yang dapat menghemat anggaran puluhan triliun rupiah.

“Jika ditilik lebih mendalam skema APBN terdapat persoalan terhadap belanja kementerian atau lembaga terjadi di beberapa sektor yang dinilai boros dan tidak tepat sasaran. Misalnya Kepolisian sebagai institusi dengan anggaran jumbo, dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), 5 tahun terakhir selalu di atas Rp100 triliun per tahun, bahkan akan dinaikkan Pagunya di tahun 2025 menjadi Rp126 triliun,” katanya.

Namun, lanjutnya, besarnya alokasi anggaran ternyata tumpul dalam memberantas korupsi sebagai upaya
menutup kebocoran pendapatan negara. Di sisi lain wajah kepolisian justru menampilkan penegakan hukum yang represif dan punitif terhadap warga yang kritis di tengah iklim demokrasi. Akhirnya praktik kriminalisasi atau penegakan hukum yang dipaksakan menjadi rumus ampuh yang berkontribusi terhadap menyempitnya ruang-ruang demokrasi.

Mengkhianati Konstitusi
Di tengah amburadulnya pemerintah mengelola keuangan negara sekaligus memberlakukan penghapusan tunggakan pajak konglomerat melalui kebijakan tax amnesty (pengampunan pajak)
yang sudah diberlakukan beberapa waktu lalu, saat ini DPR bersama pemerintah sedang merancang Undang-undang Tax alWmnesty Jilid III. Repetisi kebijakan yang dinilai gagal ini diaktivasi menjelang bergulirnya kenaikan PPN 12%.

“Persoalan ini menimbulkan ketidakadilan sistematis yang membuka orang miskin baru sekaligus dampak domino terhadap aktivitas ekonomi
masyarakat dan memicu problem sosial. Situasi ini dalam konteks ketatanegaraan, sendi negara
yang dibangun dalam konstitusi justru kehilangan kepastiannya dan melumpuhkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Sejalan dengan hal itu kebijakan
pemerintah menaikan PPN 12% yang diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Himpunan Peraturan Perpajakan (UU HPP) merupakan serangan terhadap konstitusi,” tandasnya.

Dalam tinjauan empiris di lapangan yang dilakukan oleh Celios, kenaikan PPN 12% juga berdampak terhadap masyarakat karena beli barang di pasar atau di mana pun akan terkena PPN. Sehingga akan menaikkan biaya
produksi dan biaya konsumsi, dan ini akan melemahkan daya beli. Imbas dari daya beli lemah, akan berujung pada penjualan yang tidak optimal lantaran permintaan melambat. Misal, sebuah
toko mempekerjakan lima orang, namun karena utilisasinya tidak maksimal maka akan dikurangi faktor produksi termasuk penggunaan tenaga kerja. Entah para pekerja dikurangi jam kerjanya,atau jumlah tenaga kerja dipangkas.

Bahkan di tahun depan 2025, ancaman PHK diprediksi akan terus meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menyebutkan ada 7,47 juta orang yang menganggur pada Agustus 2024. Jumlah itu meningkat jika dibandingkan dengan Februari 2024
yang mencapai 7,20 juta pengangguran.

Dalam konteks perburuhan yang saat ini menuntut kenaikan kesejahteraan melalui upah layak terdistraksi beban keuangannya imbas kenaikan PPN 12% baik dari segi pengeluaran rumah tangga maupun beban upah atas potongan pajak PPN 12%. Situasi itu diperparah dengan ancaman badai PHK bagi kalangan buruh akibat lambatnya pertumbuhan ekonomi.

Kondisi faktual ini jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “Tiap Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan”;

Kenaikan PPN 12% dengan basis pengelolaan keuangan negara di tengah menjamurnya korupsi dan penyelundupan, sementara anggaran jumbo diantaranya Kepolisian redup dalam agenda pemberantasan korupsi juga menunjukan perlawanannya terhadap amanat Pasal 34 ayat 4 yang berbunyi “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Dalam kalkulasi ekonomi Celios, kemungkinan kelompok orang miskin limpahan dari kelompok kelas menengah yang turun kelas akan bertambah. Sementara beban keuangan pemerintah yang terbatas dalam memperhatikan kelompok orang miskin semakin besar.

“Terlebih ancaman PHK dan penyelesaian masalah pengangguran yang jalan di tempat semakin menambah penderitaan
publik, di sisi lain gejolak pengangguran dan PHK akan menambah guncangan ekonomi nasional yang berbahaya bukan hanya masyarakat biasa tapi juga berdampak terhadap dunia usaha khususnya pelaku ritel, industri pengolahan dan jasa logistik,” katanya.

Menurut Wahyudi Askar, Direktur Fiscal Justice CELIOS, dalam simulasi yang dilakukan lembaganya, kenaikan PPN 12% akan menyebabkan naiknya pengeluaran kelompok miskin Rp101.880 per bulan, kenaikan pengeluaran kelompok rentan miskin Rp153.871 per bulan, meningkatkan pengeluaran kelas menengah Rp354.293 per bulan, menjadi ancaman bagi perekonomian dengan menurunkan PDB hingga Rp65,3 triliun, dan penurunan konsumsi rumah tangga mencapai Rp40,68 triliun sehingga menekan pertumbuhan ekonomi.

“Di titik ini kenaikan PNN 12% bukan malah meningkatkan pendapatan negara namun justru menimbulkan problem sosial. Dalam persoalan tersebut masalah kenaikan PPN 12% menjadi masalah konstitusi yang mengancam kehidupan publik di berbagai sektor, pendidikan, ekonomi, ketenagakerjaan, lingkungan, penegakan hukum termasuk persoalan mendasar yakni iklim demokrasi yang semakin menyempit. Sementara pemerintah memiliki mandat konstitusi untuk mensejahterakan seluruh warga negaranya,” jelas Wahyudi Askar. (Ony/Jakarta)

Berita Terkait