Rokok Ilegal Asal Tiongkok Banjiri Indonesia, Negara Rugi Ratusan Miliar Rupiah

adilnews | 16 October 2025, 00:37 am | 24 views

SURABAYA, ADILNEWS.COM- Peredaran rokok ilegal asal Tiongkok sepanjang tahun 2025 semakin mengkhawatirkan. Produk-produk tanpa pita cukai seperti Double Happiness dan Smith Bold kini dijual bebas di berbagai daerah, terutama di kawasan pertambangan yang banyak mempekerjakan tenaga kerja asal Tiongkok seperti Morowali, Sulawesi Tengah, serta Parepare dan Pinrang di Sulawesi Selatan.

Fenomena ini tidak hanya menekan industri rokok nasional, tetapi juga menyebabkan kebocoran penerimaan negara yang ditaksir mencapai lebih dari Rp200 miliar sepanjang tahun ini.

Pertambangan Nikel, Titik Rawan Masuknya Rokok Ilegal

Di wilayah Sulawesi Selatan, rokok Double Happiness berbungkus warna emas dengan tulisan Mandarin tanpa pita cukai resmi kini mudah ditemukan di warung-warung Kabupaten Pinrang dan Kota Parepare. Harganya hanya sekitar Rp20 ribu per bungkus, jauh lebih murah dibandingkan rokok legal seperti Marlboro yang mencapai Rp53 ribu.

“Rasanya juga mirip, jadi banyak yang pilih yang murah,” ujar Iksan, warga Pinrang, 8 Oktober 2025.

Seorang penjual di kawasan yang sama mengaku menjajakan rokok tanpa cukai karena tingginya permintaan dan minimnya pengawasan. “Banyak yang cari, jadi dijual saja. Tidak pernah juga ada yang melarang,” kata Jum, penjual di Pinrang.

Kepala Bea Cukai Makassar, Ade Irawan, mengatakan pihaknya berulang kali menggagalkan pengiriman rokok ilegal. Dalam operasi terakhir, tim menyita 89.600 batang rokok tanpa pita cukai senilai Rp133 juta, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp86,6 juta.

Secara keseluruhan, sepanjang 2025 Bea Cukai Sulawesi Bagian Selatan (Sulbagsel) telah menyita lebih dari 30 juta batang rokok ilegal dengan nilai pasar sekitar Rp45,04 miliar, dan menyelamatkan potensi kerugian negara sebesar Rp30,22 miliar.

Kawasan industri nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, menjadi titik masuk utama rokok ilegal asal Tiongkok. Dalam Operasi Gurita 2025, Bea Cukai Morowali bekerja sama dengan Kanwil Sulawesi Bagian Utara (Sulbagtara) membongkar jaringan penyelundupan yang memanfaatkan jasa ekspedisi untuk mengirim rokok ilegal ke kawasan Bahodopi—wilayah dengan ribuan tenaga kerja asal Tiongkok.

Kepala Kanwil Bea Cukai Sulbagtara, Erwin Situmorang, menjelaskan pihaknya menyita 179 slop rokok asal Tiongkok dan 16,4 liter minuman keras impor tanpa pita cukai resmi.

“Operasi Gurita 2025 ini membuktikan bahwa sinergi dan kecepatan bertindak menjadi kunci menghadapi kejahatan terorganisir, khususnya terkait Barang Kena Cukai ilegal,” ujarnya.

Dari hasil penyidikan, pelaku memilih jalur administratif dan membayar denda Rp150,7 juta, atau tiga kali lipat nilai cukai yang seharusnya dibayar.

Industri Nasional Terjepit dan Perlunya Pengetatan Pengawasan

Berdasarkan data DJBC, total potensi kerugian negara akibat peredaran rokok ilegal di Indonesia pada 2025 menembus Rp200 miliar lebih, dengan konsentrasi terbesar di wilayah Sulawesi dan Kalimantan Timur—dua kawasan yang menjadi pusat aktivitas tenaga kerja asing di sektor tambang dan industri nikel.

Kerugian ini belum termasuk dampak tidak langsung berupa penurunan daya saing industri rokok nasional dan berkurangnya pendapatan pajak daerah dari sektor tembakau.

Sebab kebijakan cukai tinggi yang tidak diimbangi dengan pengawasan dan edukasi justru menciptakan “pasar gelap rokok murah. Pemerintah kehilangan dua kali: kehilangan penerimaan cukai dan kehilangan kendali terhadap pasar.

Industri rokok di Jawa Timur—yang selama ini menjadi penyumbang besar penerimaan negara—turut tertekan akibat masuknya rokok ilegal murah dari luar negeri.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengakui tarif cukai rokok di Indonesia saat ini terlalu tinggi—rata-rata mencapai 57 persen. “Wah, tinggi amat. Firaun lu! Banyak banget ini,” ujarnya dengan nada heran dalam media briefing di Jakarta, 19 September 2025.

Menurutnya, kebijakan menaikkan cukai yang dimaksudkan untuk menekan jumlah perokok justru menciptakan efek samping: lonjakan peredaran rokok ilegal.

Sejauh ini, pemerintah belum memberikan sinyal akan menurunkan cukai atau memperbaiki sistem distribusi agar industri dalam negeri tidak kalah bersaing dengan rokok ilegal yang membanjiri pasar.

“Industri ini sudah menyumbang triliunan rupiah ke negara, jadi sudah sewajarnya kita lindungi,” katanya.

Namun kalangan industri menilai langkah pemerintah masih reaktif. Asosiasi Pengusaha Rokok Indonesia (APRI) menegaskan bahwa penegakan hukum harus disertai pembenahan kebijakan cukai agar tidak kontraproduktif.

“Kalau cukai dibiarkan setinggi ini, pasar akan terus dibanjiri rokok murah ilegal dari luar negeri. Akhirnya yang mati justru industri dalam negeri,” ujar salah satu perwakilan APRI di Surabaya.

Di luar itu, Humas Kanwil DJBC Sulbagsel, Cahya Nugraha, mengatakan pihaknya terus menggencarkan sosialisasi mengenai bahaya dan sanksi hukum terhadap peredaran rokok ilegal.

“Kami sudah turun ke perguruan tinggi, sekolah, pasar, hingga media sosial. Tapi masih banyak masyarakat yang tidak tahu perbedaan rokok ilegal,” katanya.

Menurut Cahya, ciri rokok ilegal biasanya tidak memiliki pita cukai, memakai pita palsu, bekas, atau tidak sesuai dengan merek aslinya. “Banyak yang pakai pita cukai beda dari jenis sebenarnya,” ujarnya.

Dengan meningkatnya kerugian negara dan ancaman bagi industri rokok nasional, pemerintah dituntut untuk segera memperkuat pengawasan lintas wilayah dan meninjau ulang kebijakan cukai yang terlalu tinggi.

Sebab di balik murahnya harga rokok impor Tiongkok tanpa cukai, tersimpan bahaya besar bagi kedaulatan ekonomi nasional—dan potensi hilangnya ratusan miliar rupiah penerimaan negara setiap tahun. (Jafar/Surabaya)

Berita Terkait