
Oleh: Fadjar Pratikto
Indonesia menghadapi risiko serius sanksi perdagangan dari Amerika Serikat (AS) jika terbukti menjadi lokasi transshipment atau pelabelan ulang produk panel surya asal China. Dugaan bahwa panel surya bermerek “Made in Indonesia” yang masuk ke pasar AS sebenarnya adalah produk manufaktur Tiongkok bisa membawa konsekuensi berat—terutama dalam bentuk tarif anti-dumping yang ekstrem.
Pada pertengahan Juli 2025, Aliansi Manufaktur dan Perdagangan Solar Amerika mengajukan petisi resmi kepada Komisi Perdagangan Internasional AS (USITC), meminta investigasi terhadap ekspor panel surya dari Indonesia, India, dan Laos. Mereka menuduh produsen asal Tiongkok sengaja memindahkan produksinya ke negara-negara ini untuk menghindari tarif tinggi yang dikenakan AS sejak 2024.
Dampak Potensial: Tarif Tinggi dan Hilangnya Kepercayaan
Kalau tuduhan tersebut terbukti benar, Indonesia tidak hanya akan kehilangan akses pasar yang bernilai ratusan juta dolar AS, tetapi juga bisa dikenai tarif balasan hingga ribuan persen, seperti yang telah dialami oleh Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja pada April lalu.
“Jika produk Tiongkok masuk lewat pintu belakang Indonesia, ini bukan hanya pelanggaran dagang—ini bisa mencederai kredibilitas sistem perdagangan Indonesia secara keseluruhan,” ujar Niclas D. Weimar, CTO Sinovoltaics, perusahaan audit rantai pasok energi surya yang berbasis di Eropa.
Apabila Komisi Perdagangan AS menyimpulkan bahwa Indonesia digunakan sebagai kedok untuk menghindari tarif perdagangan, maka bea masuk anti-dumping dan countervailing duty bisa diterapkan. Besarannya dapat meniru kebijakan tarif sebelumnya terhadap Vietnam dan Malaysia, yakni hingga 3.521%.
Dampaknya tidak hanya akan menghantam perusahaan milik Tiongkok yang beroperasi di Batam, tetapi juga bisa menyeret produsen lokal Indonesia yang benar-benar memproduksi panel surya secara independen.
“Kalau ini terus dibiarkan, bukan mustahil AS akan menganggap seluruh ekspor dari Indonesia sebagai produk Tiongkok. Ini bisa merugikan pabrikan lokal yang sah,” ujar I Made Sandika Dwiantara, Ketua Apamsi.
Kementerian Perdagangan RI telah mengonfirmasi bahwa petisi penyelidikan sudah masuk dan sedang dievaluasi oleh Departemen Perdagangan AS (USDOC). Jika tahap investigasi dimulai, maka Indonesia harus segera mempersiapkan data, argumen, dan bukti yang bisa menunjukkan bahwa produksi panel surya dalam negeri bukanlah hasil transshipment.
Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag, Reza Pahlevi, menekankan bahwa proses ini harus dihadapi dengan transparansi dan koordinasi antar pemangku kepentingan. Namun ia juga mengakui bahwa pangsa pasar Indonesia di AS relatif kecil dibandingkan negara lain, sehingga risiko ‘penularan sanksi kolektif’ sangat mungkin terjadi.
Jejak Tiongkok di Balik ‘Ekspor Indonesia’
Investigasi awal Bloomberg menunjukkan bahwa setidaknya enam dari sepuluh eksportir panel surya terbesar Indonesia ke AS dimiliki oleh pengusaha Tiongkok, berbasis di kawasan industri Batam. Perusahaan-perusahaan seperti PT Rec Solar Energy Indonesia, PT Blue Sky Solar Indonesia, hingga PT Msun Solar Indonesia disebut hanya melakukan perakitan akhir di Indonesia, sementara bahan baku hingga kendali bisnisnya masih sepenuhnya di tangan entitas Tiongkok.
Salah satu kasus mencolok adalah PT Rec, eksportir terbesar panel surya Indonesia ke AS. Meski berbasis di Batam, 91% bahan baku yang digunakan perusahaan ini berasal dari pabrik milik orang yang sama di Huzhou, Tiongkok, Selain itu, direktur perusahaan induknya, NE Solar, memiliki alamat yang berjarak hanya 4 kilometer dari kantor Huzhou Zhongdian Solar, menunjukkan keterkaitan langsung.
Asosiasi industri panel surya Indonesia meminta pemerintah tidak tinggal diam. Selain upaya diplomatik, pengusaha dalam negeri mendorong adanya audit independen terhadap rantai pasok perusahaan-perusahaan yang mengekspor ke AS.
“Kalau benar ada pelabelan ulang produk Tiongkok sebagai buatan Indonesia, maka ini jelas strategi dagang ilegal yang bisa menyeret kita semua dalam sanksi,” ujar Made. “Industri kita sedang tumbuh, jangan sampai ikut tenggelam karena ulah perusahaan yang hanya menjadikan Indonesia sebagai stempel dagang.”
Atas kasus tersebut, kawasan industri Batam kini menjadi sorotan tajam. Dulu dikenal sebagai kawasan pariwisata dan investasi, kini Batam disebut-sebut sebagai “markas baru” industri surya Tiongkok di Asia Tenggara. BP Batam membantah telah menerima notifikasi resmi mengenai penyelidikan dari AS, namun tetap mengaku siap mendukung perdagangan yang transparan.
Namun, bila tudingan terbukti, Batam bisa berubah dari pusat ekspor strategis menjadi titik lemah dalam sistem perdagangan Indonesia.
Tarif AS bukan lagi sekadar masalah dagang bilateral. Ia bisa menjadi ujian integritas bagi sistem ekspor Indonesia. Bila produk Tiongkok terbukti menyelinap lewat pelabelan “Made in Indonesia”, maka Indonesia bukan hanya akan kehilangan akses pasar AS, tetapi juga kepercayaan internasional. Pemerintah perlu bersikap tegas dan memastikan hanya produk sah dan mandiri yang berhak menyandang label buatan Indonesia.