
Oleh: Fadjar Pratikto
JAKARTA, ADILNEWS.COM- Meski neraca perdagangan nasional Indonesia terus menunjukkan tren surplus selama 62 bulan berturut-turut, hubungan dagang dengan Tiongkok kembali menjadi perhatian. Menteri Perdagangan Budi Santoso dalam konferensi pers di Auditorium Kemendag, Jakarta (Senin, 4/8) menyatakan bahwa Indonesia mencatat defisit perdagangan dengan Tiongkok pada Juni 2025.
“Memang kita mengalami beberapa defisit dengan negara lain, termasuk dengan China,” ujar Budi. Ia menambahkan bahwa meskipun defisit terjadi, Tiongkok tetap menjadi tujuan ekspor utama Indonesia dengan nilai mencapai US$ 29,31 miliar, mengungguli Amerika Serikat (US$ 14,79 miliar), India, Jepang, dan Malaysia.
Ketergantungan Industri terhadap Tiongkok: Sinyal Risiko Jangka Panjang?
Tingginya volume impor dari Tiongkok membuat neraca dagang Indonesia-Tiongkok tetap negatif. Impor dari Negeri Tirai Bambu mayoritas berupa bahan baku dan penolong (71,38%), barang modal (19,84%), dan barang konsumsi (7,7%) Pertumbuhan impor barang modal pun tercatat melonjak signifikan, yakni sebesar 20,9%, menjadi salah satu penyumbang utama defisit.
“Artinya, bahan baku penolong dan bahan modal ini untuk proses industri. Sehingga dengan demikian, proses industri di dalam negeri berjalan dengan baik,” jelas Budi. Dengan kata lain, defisit dagang dengan Tiongkok bukan hanya mencerminkan ketimpangan ekonomi, tetapi juga mengindikasikan ketergantungan Indonesia terhadap rantai pasok industri asal Tiongkok.
Selain itu, defisit dagang yang terus terjadi dengan Tiongkok menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengamat ekonomi. Beberapa analis menilai ketergantungan terhadap impor bahan baku dan modal dari Tiongkok bisa menjadi titik lemah ekonomi nasional, terutama jika terjadi ketegangan geopolitik atau krisis pasokan dari pihak Tiongkok.
“Tiongkok memang menjadi mitra dagang yang penting, tapi ketergantungan struktural terhadap China di sektor industri hulu bisa menjadi risiko sistemik dalam jangka panjang,” kata seorang analis dari INDEF yang enggan disebutkan namanya. Menurutnya, Indonesia harus mulai melakukan diversifikasi sumber impor, serta memperkuat industri hulu nasional.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam beberapa tahun terakhir memang menunjukkan bahwa China mendominasi impor Indonesia di berbagai sektor strategis seperti mesin, komponen elektronik, bahan kimia, dan logam. Hal ini sejalan dengan ekspansi industri Tiongkok yang memanfaatkan jalur perdagangan Global Value Chain (GVC), di mana negara berkembang seperti Indonesia menjadi pasar bahan baku dan tujuan investasi manufaktur.
Surplus Global Ditopang Amerika dan ASEAN
Kendati Indonesia mencatat defisit dengan Tiongkok, secara keseluruhan neraca perdagangan Indonesia tetap mencatatkan surplus pada semester I-2025 sebesar US$ 19,48 miliar, meningkat dibanding periode yang sama tahun lalu (US$ 15,58 miliar). Surplus tersebut terdiri dari surplus perdagangan non-migas sebesar US$ 28,31 miliar dan defisit migas sebesar US$ 8,83 miliar.
Total ekspor Indonesia dalam enam bulan pertama 2025 mencapai US$ 135,41 miliar, naik 7,70% dibanding tahun sebelumnya. Lonjakan ini didorong oleh kenaikan ekspor non-migas sebesar 8,96% menjadi US$ 128,39 miliar, meskipun ekspor migas mengalami penurunan hingga 11,04%.
Amerika Serikat tercatat sebagai negara penyumbang surplus terbesar bagi Indonesia, dengan nilai US$ 9,92 miliar atau setara Rp 162,6 triliun. Budi menilai, tingginya surplus dengan AS mencerminkan daya saing produk Indonesia di pasar global, meskipun beberapa produk masih menghadapi potensi tarif resiprokal dari pihak Washington.
“Ini pertanda bahwa produk-produk Indonesia masih punya daya saing. Kita tentu akan berupaya agar meski ada tarif resiprokal, ekspor tetap terus meningkat,” jelasnya.
Surplus juga tercatat dengan India (US$ 6,64 miliar), Filipina (US$ 4,36 miliar), Malaysia (US$ 3,67 miliar), dan Vietnam (US$ 2,21 miliar). Sementara dari sisi kawasan, ASEAN menyumbang surplus sebesar US$ 9,6 miliar, dan Uni Eropa sebesar US$ 3,8 miliar.
Jaga Momentum Surplus, Kurangi Ketimpangan
Menghadapi tantangan ini, Mendag Budi menegaskan bahwa pemerintah akan terus menjaga momentum ekspor dan surplus perdagangan nasional, sambil mengkaji strategi pengurangan ketergantungan impor dari satu negara. Langkah konkret seperti hilirisasi industri, substitusi impor, serta peningkatan efisiensi logistik nasional tengah digalakkan.
“Target ekspor tahunan kita tahun ini adalah tumbuh 7,10%. Dan pada semester I ini sudah tumbuh 7,70%. Ini sinyal positif. Tapi kita tetap harus waspada agar ketimpangan tidak menimbulkan kerentanan ekonomi,” pungkas Budi.
Dalam waktu dekat, pemerintah juga akan memperluas perjanjian dagang dengan negara-negara mitra non-tradisional, termasuk Afrika dan Amerika Latin, guna membuka pasar baru dan memperkuat posisi tawar ekspor Indonesia di tengah ketidakpastian global.
Secara keseluruhan, neraca perdagangan Indonesia tahun 2025 menunjukkan performa yang solid, dengan surplus kumulatif yang terus tumbuh. Namun defisit perdagangan dengan Tiongkok menggarisbawahi tantangan yang lebih struktural—yakni ketergantungan industri dalam negeri terhadap pasokan luar negeri, terutama dari satu negara dominan.
Selama Indonesia belum sepenuhnya mampu memproduksi bahan baku dan modal industri secara mandiri, defisit dengan Tiongkok akan tetap menjadi fitur yang melekat dalam hubungan dagang bilateral. Maka dari itu, reformasi struktural di sektor industri dan strategi diplomasi ekonomi yang lebih seimbang menjadi kunci untuk menjaga kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional di masa depan.