Misteri Pakuning Jawa di Puncak Gunung Tidar

adilnews | 15 March 2025, 04:51 am | 70 views

MAGELANG, ADILNEWS.COM- Dua kali berturut-turut, pemerintahan Prabowo Subianto mengadakan acara retret di Gunung Tidar, Magelang, Jawa Tengah. Terakhir, Gunung Tidar menjadi lokasi kegiatan mendaki jalur menantang dalam rangkaian retret para kepala daerah pada 21–28 Februari 2025. Kegiatan ini diikuti oleh para kepala daerah terpilih dalam Pilkada Serentak tahun 2024. Sebelumnya para anggota kabinet Merah Putih juga mendaki Gunung Tidar pada hari terakhir retret yang digelar Presiden Prabowo di Akademi Militer (Akmil) Magelang pada 27 Oktober 2024.

Pemilihan Gunung Tidar atau Lembah Tidar sebagai lokasi pembekalan Kepala Daerah dan Kabinet Merah Putih tentu bukan tanpa alasan. Dalam suatu kesempatan, Prabowo mengatakan kalau Lembah Tidar merupakan bagian dari perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.

“Saya jelaskan kepada mereka (anggota kabinet) bahwa Lembah Tidar ini bagian dari suatu wilayah perjuangan panjang. Di sini perlawanan terhadap penjajah berlangsung ratusan tahun. Dari sejak Sultan Agung melintasi daerah ini untuk menyerang Batavia. Diponegoro melawan penjajah basisnya adalah di antara 5 Gunung, Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing dan Tidar,” jelas Presiden ke-8 ini saat sambutan sebelum gala dinner di Akmil Magelang pada 25 Oktober 2024.

Pusatnya Pulau Jawa
Dalam buku yang berjudul, “Memahami Islam Jawa” oleh M Bambang Pranowo dan artikel ilmiah “Profil Wisata Religi Gunung Tidar Sebagai Pakuning Tanah Jawa” oleh Cahyani Nurul Huda dkk disebutkan asal muasal nama Tidar sendiri banyak versi. “Tidar” memiliki makna mukti dan kadadar. “Mukti” memiliki makna bahagia, berpangkat, dan sukses dalam hidup; sedangkan “Kadadar” berarti dididik, ditempa, dan diuji.

Gunung Tidar berada di tengah Kota Magelang. Gunung setinggi 503 meter dari permukaan laut ini tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan militer karena di Lembah Tidar itulah Akademi Militer sebagai kawah candradimuka yang mencetak perwira pejuang Sapta Marga sejak berdirinya pada 11 November 1957.

Puncak Gunung Tidar kerap menjadi tempat upacara penghadapan taruna militer. Jadi, taruna militer yang baru diterima dan belum penjurusan ke angkatan tertentu akan dihadapkan ke Tugu Sa. Ketika selesai pendidikan, maka dihadapkan lagi ke Tugu Sa sebelum mendapatkan penempatan atau penugasan di berbagai daerah.

Selain memiliki arti penting dalam pendidikan perwira TNI, legenda Gunung Tidar juga sangat menarik untuk diketahui. Konon, legendanya berawal dari sebuah paku yang dipasang oleh dewa. Legenda ini menggambarkan bagaimana pulau Jawa diciptakan dan ditenangkan oleh kehidupan yang lebih tinggi.

Dahulu kala pulau Jawa belum berdiri dengan kokoh. Pulau ini terus bergerak seolah-olah terombang-ambing di lautan luas. Para dewa yang melihat keadaan ini merasa khawatir. Salah satu dewa memutuskan untuk turun ke dunia ke Tanah Jawa dan menancapkan sebuah paku ke dasar laut. Paku ini menjadi simbol yang mengikat Pulau Jawa agar tidak bergerak lagi. Ketika paku itu dipasang, ia menjelma menjadi Gunung Tidar yang kita kenal sekarang ini.

Tak heran jika Gunung Tidar sering disebut sebagai ‘pakuning tanah Jawa’ atau ‘paku tanah Jawa’. Nama ini mencerminkan peran penting gunung ini dalam stabilitas pulau. Keberadaan Gunung Tidar membuat Pulau Jawa menjadi tenang dan tidak terguncang. Masyarakat Jawa menganggap gunung ini sebagai tempat yang keramat dan suci, yang memiliki makna spiritual yang mendalam.

Untuk itu, di puncak Gunung Tidar dibuat tanah lapang yang ditengahnya terdapat sebuah Tugu dengan simbol huruf Sa (dibaca seperti pada kata Solok) dalam tulisan Jawa pada tiga sisinya. Tugu inilah yang dipercaya sebagian orang sebagai Pakunya Tanah Jawa, pusatnya Tanah Jawa, yang membuat pulau ini tetap tenang dan aman.

“Tugu Sa itu adalah tugu sopo salah seleh. Tugu ini sebagai tetenger atau pertanda bahwasanya orang yang salah pasti akan diselehkan atau diturunkan atau dilengserkan,” jelas Kepala UPT Kebun Raya Gunung Tidar, Yhan Noercahyo Wibowo seperti dikutip Tempo.co.

Pemerhati budaya Jawa, Waskito Giri Sasongko, menganggap posisi mitologis dari Gunung Tidar itu merupakan fenomena baru dalam sejarah masyarakat Jawa. “Tidak terlalu jelas, sumber literatur tertua dituliskan di mana? Apakah ada di Babad Tanah Jawa sebagai produk khasanah Mataram Islam? Ataukah hanya legenda tanpa sumber teks susastra? ,” ujarnya kepada The Epoch Times.

Yang pasti, lanjut Waskito, jauh sebelum era Mataram Islam, pernah ada masa di mana Gunung Semeru pusat kosmis bagi masyarakat Jawa. Gunung Semeru, konon, merupakan Gunung Mahameru yang dipindahkan dari India ke Tanah Jawa. “Seperti halnya Gunung Tidar, mitos proses pemindahan Gunung Mahameru ini juga lekat dengan tokoh mitologis Semar,” tuturnya.
Dalam buku Denys Lombard, “Nusa Jawa Silang Budaya”, catatan pemindahan Gunung Mahameru disebutkan ke Gunung Penanggungan di Jawa Timur.

Terlepas dari itu, hingga kini Gunung Tidar tetap dianggap suci oleh masyarakat sekitar. Ada beberapa pantangan yang dijunjung tinggi, seperti larangan menanam palawija dan membuat sumur di sekitar gunung. Masyarakat percaya bahwa gunung ini adalah sumber air yang terhubung dengan samudera. Dengan begitu, Gunung Tidar tidak hanya menjadi bentang alam, tetapi juga simbol spiritual yang melambangkan perdamaian dan kepercayaan masyarakat Jawa.

Beragam Obyek Wisata
Gunung Tidar yang berdiri diareal seluas 70,1 hektar, selama ini dikenal dengan destinasi wisata religi, wisata alam, sekaligus area pendidikan militer. Kini, Gunung Tidar sudah dikembangkan menjadi sebuah Kebun Raya sejak 12 Januari 2021 yang terbagi dalam enam zona, yaitu zona penerima, pengelola, wisata budaya, koleksi tematik, taksonomi, dan konservasi.

Penataan Kebun Raya Gunung Tidar berlangsung secara bertahap, mulai 2014 dan rampung pada 2017. Dulu, jalur untuk naik sampai ke puncak hanya berupa jalan setapak, sekarang sudah bagus dengan ubin dan anak tangga yang tertata.

Selama ini, destinasi wisata Gunung Tidar buka sepanjang hari alias 24 jam. Sejauh ini jumlah pengunjung Gunung Tidar sekitar 800-an orang per hari. Adapun di akhir pekan bisa mencapai 2.000-3.000 orang per hari. Mereka membayar retribusi Rp 5.000 di pintu masuk Kebun Raya. Wisatawan domestik yang rutin datang umumnya rombongan pengajian, dari pondok pesantren, atau masyarakat di berbagai daerah di Jawa dan sekitarnya. Sedangkan wisatawan mancanegara yang datang, umumnya berasal dari Amerika, Eropa, Asia Timur, dan Timur Tengah.

Bagi yang datang hendak menikmati wisata tersebut dapat menapaki 1.002 anak tangga untuk sampai ke puncak Gunung Tidar dan kembali ke bawah. Tak perlu khawatir jika harus meniti anak tangga di malam hari karena tersedia penerangan di sepanjang jalan. Sebanyak 57 petugas juga selalu berjaga dengan pembagian tiga waktu kerja sehari, yakni pukul 07.00-15.00, pukul 15.00-23.00, dan pukul 23.00-07.00. Mereka terdiri atas petugas keamanan, petugas kesehatan, pemandu wisata, petugas tiket, petugas administrasi, dan petugas penata lokasi.

Jangan takut kecapean dalam menaiki tangga ke puncak gunung. Di beberapa titik, terdapat area beristirahat agar pengunjung dapat melepas lelah serta menikmati suasana teduh dan udara segar di sepanjang jalur pendakian. Di sana, wisatawan juga dapat berfoto dengan latar pepohonan yang rindang. Tersedia pula fasilitas umum, seperti toilet dan tempat duduk.

Di luar puncak Tidar, ada sejumlah spot lainnya yang menarik antara lain: Makom Syekh Subakir, Makom Kiai Sepanjang, dan Makom Mbah Semar atau Mbah Ismoyojati atau Kiai Tunggul Jati. Ketiga makom ini biasa disambangi peziarah untuk wisata religi.

Makom Syekh Subakir adalah makom pertama yang ditemui peziarah sebelum sampai di puncak Gunung Tidar. Makom ini berada di dekat tempat istirahat. Di area lingkaran dengan bagian luar berbentuk susunan batu bata, para peziarah duduk mengelilingi makom dan membaca doa di sana.

Setelah makom Syekh Subakir, terdapat makom Kiai Sepanjang. Kiai Sepanjang bukanlah nama orang, melainkan nama tombak sepanjang 7 meter milik Syekh Subakir. Makom Kiai Sepanjang berbentuk rumah joglo dengan atap rendah dan pelataran yang luas.

Sedangkan Makom Mbah Semar terletak di puncak. Makom ini berbentuk seperti tumpeng berwarna kuning dengan sebilah keris tertancap di bagian puncaknya. Terdapat sebuah pohon jati di bagian samping.

Selain tiga makom tersebut, di Gunung Tidar juga terdapat makam Tionghoa. Salah satu yang menarik perhatian wisatawan adalah makam bos cerutu se-Asia. Namanya Kho Kwat Ie. Dia pemilik pabrik cerutu bernama Ko Kwat Ie & Zonen Sigarenfabrieken yang memproduksi cerutu merek Panama-Ster, Deli-Havana, Missigit-Deli, dan Carnaval.

Pada masa kejayaannya di tahun 1920-an, Kho Kwat Ie mengekspor cerutu-cerutu itu sampai ke Eropa. Masyarakat menyebut makam Kho Kwat Ie sebagai Makam Bong Pitu karena ukurannya paling besar dan di sekitarnya adalah makam sanak famili.

Ada juga Monumen Tanah Air Satu Bangsa terletak di puncak. Monumen persatuan ini dibangun saat memperingati Hari Olahraga Nasional pada 2017. Di monumen itu terdapat simbol pemersatu bangsa berupa kendi berisi tanah dan air yang diambil dari seluruh nusantara. Air dan tanah itu selanjutnya dicampur untuk disatukan dengan menggelar ritual adat berupa kesenian wayang.

Tak kalah menarik, ada Gardu Pandang Taman Elang Jawa yang terletak di sisi timur. Ini menjadi salah satu tempat favorit untuk menyaksikan matahari terbit karena wisatawan dapat melihat matahari muncul di celah antara Gunug Merapi dan Gunung Merbabu dalam posisi sejajar mata.

Gardu Pandang di puncak menjadi destinasi wisata instagramable yang hits buat anak-anak muda sekarang. Jika beruntung, bisa menyaksikan elang Jawa terbang mengitari puncak Gunung Tidar dari jarak dekat. Karena elang Jawa adalah burung endemik dan salah satu mangsanya adalah monyet ekor panjang yang banyak dijumpai di lokasi gunung Tidar.

Banyak wisatawan mancanegara yang datang pada pagi buta kemudian sampai di puncak demi menikmati matahari terbit. Setelah itu, biasanya mereka lanjut berkunjung ke Candi Borobudur dan berbagai destinasi wisata di kawasan Magelang seperti Puncak Telemoyo dan Nepal Van Java di Kaliangkrik. (Fadjar/ Jogja)

Berita Terkait