Sumbu Filosofi Yogyakarta, Revitalisasi Budaya Sebagai Peradaban Dunia

adilnews | 12 March 2025, 23:10 pm | 108 views

JOGJA, ADILNEWS.COM- Proyek revitalisasi Beteng Keraton Ngayogyakarta Hadingrat masih berjalan. Pembebasan tanah dan gedung di sekitar beteng sudah selesai, proses renovasi banteng sudah terlihat– mengembalikan struktur asli bangunan sesuai nilai historisnya.

Sesuai rencana, Beteng Keraton ini nantinya akan direvitalisasi secara menyeluruh pada seluruh bagian beteng yang terdiri dari dua lapis tembok pertahanan. Dua lapis itu yakni cepuri yang melingkupi bangunan Kedaton, dan baluwerti, yang melingkupi area keraton dan permukiman sekitarnya, termasuk tempat tinggal kerabat Sultan dan abdi dalem. Targetnya pada 2025 ini, keseluruhan sudah selesai.

Revitalisasi beteng adalah salah satu rekomendasi UNESCO dalam penetapan “Sumbu Filosofi Yogyakarta” sebagai warisan budaya dunia pada 18 September 2023. Sehingga revitalisasi beteng ini menjadi upaya pemenuhan Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam merealisasi rekomendasi UNESCO, yakni melanjutkan penerapan proses relokasi sukarela permukiman informal di dalam kawasan keraton dengan memastikan hak dan kebutuhan masyarakat tetap terlindungi.

Rekomendasi UNESCO
Sumbu Filosofi Yogyakarta merupakan konsep tata ruang yang dibuat oleh raja pertama Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono I, pada abad ke-18. Sumbu yang dimaksud ini merupakan poros imajiner atau garis lurus yang menghubungkan Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak.
Hal itu melambangkan perjalanan siklus hidup manusia (Sangkan Paraning Dumadi) yang membentang utara selatan dalam satu garis lurus. Kelestarian konsep tata ruang yang terbentuk atas bentangan garis imajiner dari Panggung Krapyak di Selatan, melewati Keraton Yogyakarta hingga Tugu Golong gilig di Utara itu, telah menjadi “wajah” Indonesia dimata dunia.

Seperti diketahui, Sumbu Filosofi Yogyakarta ditetapkan sebagai warisan budaya dunia dalam sidang ke-45 Komite Warisan Dunia (World Heritage Committe) UNESCO PBB, di Riyadh, Arab Saudi. Dengan konsekuensi, Pemda DIY perlu memenuhi rekomendasi dari UNESCO.

Setelah hampir dua tahun berjalan, kini Pemda DIY masih berusaha memenuhi rekomendasi UNESCO tersebut. Tentu sudah ada yang telah berjalan dan akan dilakukan. “Sebetulnya beberapa sudah dilaksanakan, tapi ada beberapa yang belum dilaksanakan karena masih nunggu instrumen-instrumen yang terkait dengan beberapa regulasi dan penyiapan SDM juga,” jelas Kepala UPT Balai Pengelola Sumbu Filosofi Yogyakarta, Dwi Agung Hernanto, seperti dikutip detikJogja, pada 8 Mei 2024.

Dari beberapa rekomendasi yang telah berproses, salah satunya yakni rekomendasi untuk menguraikan secara lebih terperinci penerapan pendekatan Historic Urban Landscape dalam mengelola tekanan pembangunan perkotaan Jogja. Terkait rekomendasi ini terkendala dengan belum adanya badan atau lembaga yang khusus menyelesaikan masalah ini.

Selain itu, rekomendasi lain yang masih berproses yakni melanjutkan pengembangan Rencana Manajemen Risiko Bencana atau Disaster Risk Management Plan (DRMP) untuk kawasan termasuk pelatihan pengurangan risiko dan tanggap bencana. Juga memastikan bahwa semua pembangunan perkotaan yang besar, pariwisata, dan proyek infrastruktur yang dapat berdampak pada kawasan dikomunikasikan kepada Pusat Warisan Dunia.

Di antara beberapa rekomendasi yang masih berproses tersebut, masih ada satu rekomendasi yang perlu waktu lebih lama dalam pemenuhannya. Yakni mempertimbangkan kemungkinan untuk memperluas batas dan zona penyangga di beberapa bagian kawasan di masa mendatang dengan mengajukan permintaan sedikit perubahan batas agar pengelolaan tekanan pembangunan perkotaan lebih efektif.

Menurut Sejarawan sekaligus budayawan Wahjudi Djaja, pelaksanaan rekomendasi UNESCO terkait Sumbu Filosofis sebetulnya menggunakan kerangka lanskap kota bersejarah. Selain mengedepankan pendekatan komprehensif, dialog lintas stakeholder juga senantiasa dilakukan terutama menyangkut pengembangan wilayah dan situs penyangga. “Pembangunan perkotaan memang harus dibatasi (seperti moratorium hotel), untuk memastikan kelangsungan dan keamanan warisan budaya,” jelas Wahjudi kepada The Epoch Times.

Sebagai rekomendator, UNESCO tentu akan terus memonitor pelaksanaan rekomendasi tersebut dan akan dibahas dalam sidang lima tahunan badan kebudayaan PBB ini. Rekomendasi ini juga termasuk dalam penilaian untuk mempertahankan status Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia.

Perlu Diwariskan Generasi Muda
Menurut KMT. Yudha Wijaya, Carik Kawedanan Hageng Punakawan Parwabudaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, seiring dengan pengakuan UNESCO terhadap Sumbu Filosofi, masyarakat perlu membangun kesadaran bahwa Yogyakarta merupakan titik atau pusat peradaban dunia. “Itu tidak sulit dilacak. Kira-kira 20 Km ke arah Solo ada Candi Prambanan sebagai pusat ibadah umat Hindu, kemudian di sebelah utara kira-kira 40 Km dari sini ada Candi Borobudur sebagai monumen Budha terbesar di dunia,” jelasnya saat mengisi talkshow Anugerah Karya Filosofi 2024 di Gedhong Pracimosono, Kompleks Kepatihan Yogyakarta pada akhir 2024 lalu.

Dengan menumbuhkan kesadaran akan hal itu, Yudha melanjutkan, anak-anak muda Indonesia dapat berbangga dengan identitasnya. “Kita selama ini selalu berorientasi ke luar. Kita kayak memiliki krisis kepercayaan diri. Padahal masyarakat global sangat mengagumi apa yang kita miliki,” tandasnya.

Yudha pun membagikan pengalamannya ketika menjadi mahasiswa yang mengikuti program pertukaran ke luar negeri. Kala itu, kenangnya, mahasiswa luar negeri kagum dengan keragaman budaya di Indonesia. Berkaca dari pengalaman itu, ia pun mengimbau agar masyarakat Indonesia mulai mendalami sejarah dan budaya, agar memiliki pemahaman tentang hal-hal yang bisa dibanggakan dari tanah air.

Salah satu upaya menumbuhkan pemahaman tentang hal-hal yang bisa dibanggakan dari tanah air itu coba dihadirkan Pemerintah DIY lewat Kompetisi Anugerah Karya Filosofis 2024 yang digelar lewat kerja dengan HUMAS INDONESIA. Menurut Yudha, kompetisi yang menyoroti Sumbu Filosofi melalui karya foto dan video, agar lebih dikenal oleh masyarakat luas khususnya generasi muda itu, perlu mendapat apresiasi.

Pemerintah DIY dan Keraton Yogyakarta menginginkan Sumbu Filosofis tidak hanya dipandang sebagai warisan sejarah, tetapi juga inspirasi bagi pengembangan kreativitas. “Sumbu Filosofi bukan hanya tata ruang fisiknya, tidak kalah penting adalah tata nilai, ideologi, dan cara pandang masyarakat di sekitarnya. Hal-hal ini relevan untuk dibicarakan saat ini,” ujar Yudha.

Meningkatkan Kualitas Tourisme
Dengan ditetapkannya Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia akan semakin membuka peluang terciptanya quality tourism di DIY, juga menambah kunjungan wisatawan mancanegara. Pemerintah bersama para pelaku usaha pariwisata juga masyarakat, harus mampu menangkap Sumbu Filosofi sebagai satu daya tarik luar biasa, untuk bersama-sama membawa pariwisata Jogja menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Setiap sudut di Jogja bisa menjadi destinasi wisata, tinggal bagaimana para stakeholder pariwisata membuat narasi dari berbagai sudut pandang yang ada, bisa dari sejarah, budaya, ataupun arsitektur dan tata kota. Dengan narasi yang diciptakan itu akan mendukung terciptanya pariwisata berkualitas. Fokusnya tidak lagi bagaimana bisa mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya, melainkan bagaimana membuat wisatawan terkesan dan menghabiskan waktu lebih lama di Kota Yogya.

Sementara itu Kepala Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta Wahyu Hendratmoko menyampaikan, sektor pariwisata menjadi agen of growth untuk pergerakan perekonomian Kota Yogya, yang semula berfokus pada quantity tourism kali ini bergerak pada quality tourism agar dapat menciptakan pariwisata berkelanjutan.

“Pariwisata berkelanjutan juga berkaitan dengan responsibility tourism destination, sehingga kita bertanggung jawab untuk memastikan agar semua pihak memberikan pelayanan terbaik kepada wisatawan, agar tercipta impresi yang baik selama mereka berada di Kota Yogya,” katanya.

Kualitas pariwisata Yogyakarta juga akan semakin meningkat jika Jalan Malioboro yang selama ini merupakan destinasi utama dijadikan sebagai area full pedestrian sebagaimana menjadi bagian penting dari rekomendasi UNESCO yakni mewujudkan kawasan yang rendah emisi. Sebenarnya program full pedestrianisasi di Malioboro sudah mulai diujicoba meskipun masih mulai jam 6 sore sampai 9 malam, dan rencananya akan direalisasikan pada tahun ini atau 2026 mendatang.

Penataan pedestrian Malioboro, menurut Wahjudi Djaja, memang merupakan bagian utama Sumbu Filosofi Jogja, dari panggung Krapyak sampai Tugu. “Penataan memang tak gampang mengingat lokasi relokasi teras malioboro belum memadai,” ujar dosen di STIE Pariwisata API Yogyakarta ini.

Jadi PR Pemda DIY untuk merealisasi rekomendasi UNESCO masih cukup banyak untuk dikerjakan. Tapi itulah salah satu cara yang mesti dilakukan untuk mengembalikan tradisi dan mewujudkan diri sebagai peradaban dunia.******

Berita Terkait