
Proyek PLTU Parit Baru di Desa Jungkat, Kecamatan Siantan, Kabupaten Mempawah pengerjaan sejak Tahun 2010, yang pernah di kunjungi Presiden Joko Widodo pada Juni tahun 2016. (Foto : Ali Silabusnews.com)
JAKARTA, ADILNEWS.COM- Dana pinjaman dari Tiongkok mengalir deras ke Tanah Air selama dua dekade ini. Utang dari Tiongkok bernilai ratusan trilyun ini banyak dimanfaatkan untuk membiayai sejumlah proyek infrastruktur nasional yang dianggap strategis. Arus pendanaan dari Tiongkok semakin dikencang pada tahun 2013, saat presiden Xi Jinping menginisiasi program Belt and Road Initiative (proyek OBOR).
Dalam pengerjaan proyek yang didanai Tiongkok, biasanya menggunakan kontraktor asal negaranya sebagai pelaksana dan melibatkan banyak tenaga kerja dari Negeri Tirai Bambu itu. Masalahnya, banyak proyek yang dikerjakan mereka gagal di tengah jalan akibat pembengkakan biaya, korupsi dan kualitas produk/ mesin yang buruk sehingga mengakibatkan kerugian negara. Salah satu proyek mangkrak tersebut banyak terjadi di sektor energi listrik, yakni pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Saat itu pemerintah Indonesia sedang melakukan percepatan ketenagalistrikan dengan menambah pembangunan PLTU batu bara di 35 titik melalui proyek 10.000 MW Fast Track Program (FTP) Tahap I dan II, lanjut 35.000 MW. Pembiayaan proyek tersebut sebagian besar berasal dari perbankan Tiongkok yang sudah dimulai sebelum tahun 2013. Proyek PLTU tersebut tersebar paling banyak di luar Pulau Jawa, dan digadang-gadang sebagai upaya pemerintah memeratakan aliran listrik di Indonesia—dengan rasio elektrifikasi 96,60 persen.
Sejak itu, puluhan PLTU pun mulai dibangun. Kebanyakan proyek dirancang rampung sebelum periode 2014. Ada beberapa proyek yang berhasil diresmikan, seperti empat PLTU di Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun masih banyak proyek pembangkit listrik yang masih belum beres, bahkan cenderung mangkrak seperti yang terjadi pada PLTU I Kalimantan Barat yang berlokasi di kabupaten Mempawah.
Korupsi di Proyek PLTU I Kalbar
Sejak awal Maret 2025 lalu, Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri mulai menyelidiki dugaan korupsi di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang menyebabkan mangkraknya proyek PLTU 1 di Kalbar ini. Akibatnya negara diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp1,2 triliun. Dari hitungan BPK indikasi kerugian negara kurang lebih US$ 62,410 juta dan Rp 323 miliar. Penyidik Bareskrim juga mengendus adanya dugaan suap dalam proyek ini.
“Saat ini masih dalam tahap penyelidikan awal, sehingga belum dapat dikonfirmasi lebih lanjut,” ujar Wakil Kepala Kortastipidkor Polri, Brigadir Jenderal Arief Adiharsa, dikutip dari situs resmi Tipidkor Polri. Polisi telah memanggil dan memeriksa sejumlah pejabat PLN Pusat pada 3 Maret 2025 terkait kasus ini. Penyalahgunaan wewenang dalam proyek PLTU 1 Kalbar ditengarai menjadi penyebab utama kegagalan proyek yang sudah mangkrak sejak 2016.
Kasus PLTU 1 di Kalbar ini berawal dari proses tendernya yang bermasalah. Proyek berkapasitas 2×50 MW ini menggunakan anggaran PT PLN (Persero) yang berasal dari pembiayaan kredit komersial Bank BRI dan BCA (Export Credit Agency/ECA. Pada 2008 dilaksanakan lelang pembangunan PLTU yang dimenangkan oleh konsorsium KSO BRN, meskipun belakangan diketahui bahwa perusahaan tersebut tidak memenuhi persyaratan prakualifikasi dan evaluasi teknis. Di tengah perjalanan, OJSC Power Machines, perusahaan yang berpengalaman membangun pembangkit tenaga uap kemudian dilibatkan.
Pada 11 Juni 2009, kontrak senilai USD80 juta dan Rp 507 miliar—atau setara dengan Rp1,2 triliun berdasarkan kurs saat ini—ditandatangani antara RR sebagai Direktur Utama PT BRN dan FM selaku Direktur Utama PT PLN. Setelah memenangkan lelang, KSO BRN mengalihkan seluruh pekerjaan kepada dua perusahaan asal Tiongkok, PT. Praba Indopersada, dan Qingdao Jieneng Power Station Engineering (QJPSE). Namun, pembangunan yang dikerjakan pihak ketiga sejak 2010 itu tidak mencapai target yang ditetapkan. Akibatnya, sejak 2016 proyek PLTU ini dinyatakan mangkrak dan tidak dapat dimanfaatkan. Presiden Joko Widodo bahkan pernah mengunjungi proyek PLTU yang terbengkalai ini.
Keterlibatan banyaknya pekerja asal Tiongkok di PLTU ini juga sempat jadi perhatian dan dipersoalkan masyarakat setempat. Pihak kepolisian kemudian memeriksa sebanyak 78 pekerja Tiongkok dan ditahan di Polda Kalbar karena melanggar administrasi ketenagakerjaan. Akhirnya mereka dipulangkan dulu sambil diurus perijinannya.
PLTU Kalbar 1 menjadi salah satu dari 5 pembangkit yang mengakibatkan pemborosan pengeluaran PLN sebesar Rp609,54 miliar dan US$78,69 juta untuk membangun PLTU tersebut dan tidak memberikan manfaat sesuai dengan rencana. PLTU ini sempat mangkrak dan kembali dilanjutkan diganti nama menjadi PLTU Parit Baru kapasitas 2 x 50 dan ditargetkan beroperasi pada 2017. Namun proyek lanjutan ini juga bermasalah karena pembebasan lahan, dikerjakan oleh EPC China Gezhouba Group Co. Ltd – PT Praba. Dan, kembali proyek tak berlanjut.
Kasus ini menjadi perhatian publik mengingat besarnya nilai proyek dan dampaknya terhadap sektor energi di Kalimantan Barat. Proyek yang seharusnya meningkatkan pasokan listrik ini terhenti sejak 2016 akibat lelang yang tidak transparan dan pelaksanaan yang tanpa pengawasan yang memadai, yang akhirnya menyebabkan proyek terbengkalai. Penyelidikan terus dilakukan guna mengungkap pihak-pihak yang bertanggung jawab serta memastikan langkah hukum lebih lanjut.
Banyak Kegagalan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan permasalahan signifikan dalam pemeriksaan atas pengelolaan rantai suplai, percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW. Temuan tersebut merupakan bagian dari hasil pemeriksaan BPK yang dimuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2016.
Dari pemeriksaan atas proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW periode 2006-2015, BPK menyimpulkan bahwa PLN belum mampu merencanakan secara tepat dan belum mampu menjamin kesesuaian dengan ketentuan dan kebutuhan teknis yang ditetapkan. Permasalahan yang perlu mendapat perhatian antara lain pada pembangunan PLTU Tanjung Balai Karimun, PLTU Ambon, PLTU 2 NTB Lombok, dan PLTU Kalbar 2 terhenti (mangkrak) serta PLTU Kalbar 1 berpotensi mangkrak. Hal ini mengakibatkan pengeluaran PLN sebesar Rp609,54 miliar dan US$78,69 juta untuk membangun PLTU tersebut tidak memberikan manfaat. PLN juga belum mengenakan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pembangunan PLTU sebesar Rp704,87 miliar dan US$102,26 juta.
Pembangunan PLTU di beberapa wilayah Indonesia yang dibangun sejak 2006 memang menyisakan banyak masalah. Dari total 10 ribu MW yang dklaim telah selesai terbangun dan beroperasi pada 2011-2013, nyatanya tidak semua beroperasi optimal. Ahmad Daryoko, pendiri serikat pekerja PT PLN yang juga mantan Project Director pada Proyek PLTU 2X350 MW di Tuban pernah melaporkan indikasi kegagalan berbagai proyek yang dikerjakan kontraktor asal Tiongkok kepada pimpinan Komisi VI dan VII DPR tujuh tahun lalu.
Pada periode 2011-2013 pembangkit yang berasal dari proyek PLTU 10 ribu MW tahap I tersebut rata-rata sudah selesai dan sudah beroperasi komersial (Commercial Operating Date/COD). Namun setelah itu, ada group kontraktor nasional ternama didampingi Lawyer dan BUMN merilis informasi bahwa proyek tersebut banyak mengalami kegagalan. Rata-rata AF-nya hanya 40% atau 6.000 MW rusak berat alias “mangkrak”, mulai 2013. “Jika diperbaiki menurut mereka perlu dana Rp70 triliun-Rp80 triliun,” kata Daryoko pada 20 Maret 2018.
Salah satu solusi yang disodorkan kontraktor pengelola saat itu adalah dengan konsep Kerja Sama Usaha (KSU) sebagai ganti konsep lama bernama “Leased Back” yang ditolak serikat pekerja dua anak usaha PLN, yakni PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB). Kedua konsep tersebut adalah jalan keluar cara penyelesaian kerusakan PLTU 6 ribu MW PLN. Serikat pekerja PLN sempat melakukan kajian terhadap berbagai konsep yang diambil untuk menyelesaikan masalah pembangkit mangkrak, berdasarkan kajian tersebut konsep KSU ternyata tidak berbeda dengan Leased Back.
“Kami melihat bahwa kejadian mangkraknya PLTU 6.000 MW di Jawa-Bali ini bukan semata mata kejadian teknis, tetapi sudah merupakan penipuan sekaligus pelecehan kontraktor Tiongkok kepada bangsa Indonesia,” tegas Daryoko. Bahkan ia menantang jika diperlukan membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional agar para kontraktor Tiongkok bertanggung jawab atas kejadian tersebut serta menindak tegas siapapun yang terlibat.
Diakui oleh Jarman, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, dari hasil monitoring Program PLTU Batubara 10.000 MW Tahap I terjadi persoalan keterlambatan karena antara lain, kelambatan konstruksi akibat kemampuan dasar kontraktor rendah, barang yang didatangkan lebih awal untuk menarik pembayaran sehingga seringkali mengalami kerusakan saat dilakukan pengujian serta kualitas barang dan kualitas penyimpanan barang yang kurang baik.
“Untuk pelaksanaan proyek-proyek yang akan datang, PLN disarankan Jarman untuk melakukan perbaikan term of payment untuk mengantisipasi barang yang lebih awal serta mengenakan denda terhadap kontraktor yang tidak mentaati aturan sesuai kesepakatan yang secara detail dituangkan,” jelas Jarman pada 23 Juli 2012. Tapi, Daryoko mengingatkan dimasa yang akan datang, pemerintah mesti menolak keras produk Tiongkok untuk proyek PLN.******