
Pada awal 2024 lalu, pemerintah Amerika Serikat yang diwakili oleh United States Agency for International Development (USAID), Biro Pertumbuhan Inklusif, Kemitraan, dan Inovasi (IPI), Pusat Pembangunan Inklusif (ID), Tim LGBTQI+ secara resmi lewat situs websitenya menawarkan dana hibah dan peluang kemitraan untuk proyek-proyek yang berfokus pada berbagai isu global dengan total senilai $25 juta. Jumlah penghargaan akan bervariasi, dengan batas bawah minimal $500 ribu dan batas atas $10 juta. Hibah tersebut ditujukan untuk mendukung inisiatif-inisiatif yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan, pemberdayaan perempuan, pelestarian lingkungan, perawatan kesehatan , kesetaraan gender, dan tujuan-tujuan terkait lainnya.
Secara khusus peluang pendanaan itu digunakan untuk memajukan hak individu dan komunitas LGBTQI+. Cukup dengan mengajukan catatan konsep yang bertujuan untuk memajukan pembangunan inklusif komunitas dan individu LGBTQI+ melalui organisasi masyarakat sipil (CSO) regional/multi-negara dan/atau koalisi, terutama yang berbasis di negara-negara kehadiran USAID di Global Selatan dan Timur. Indonesia adalah salah satunya.
Penawaran pendanaan itu, tidak terbatas pada program kegiatan yang berfokus pada kemajuan holistik populasi LGBTQI+ (yaitu, mengamankan hak mereka untuk pekerjaan , pendidikan, mata pencaharian, dan akses ke layanan dasar); dan kemampuan mereka untuk menanggapi secara efektif dampak buruk dari para pelaku yang anti-hak asasi manusia.
Penghentian Bantuan
Sejak Donald Trump dilantik sebagai Presiden AS, kemitraan kesehatan Indonesia dengan USAID mebdadak dihentikan. Pemerintahan AS sedang mempertimbangkan untuk menggabungkan USAID, lembaga kemanusiaan utama Washington, ke dalam Departemen Luar Negeri dalam perombakan besar yang akan mengurangi jumlah tenaga kerjanya dan menyelaraskan pengeluarannya dengan kebijakan “America First” milik Trump.
Bagi Trump, pengeluaran kebijakan luar negeri AS dianggap tak sepadan dengan jumlah pemasukan pajak dan menghamburkan anggaran negara. Pada 2023, anggaran USAID sebesar US$72 miliar atau sekitar Rp1.134 triliun. Trump juga mengkritik USAID dengan menyebut para staf badan ini sebagai orang radikal. “USAID dijalankan oleh sekelompok orang gila radikal, dan kita akan menyingkirkan mereka,” ungkap Trump pada pekan lalu, dikutip NBC News.
Pemerintahan Trump juga menjabarkan contoh pemborosan dan penyalahgunaan USAID. Dari beberapa kasus yang dis butkan, mereka lebih mempermasalahkan dana yang dikeluarkan terkait aktivitas LGBT, sesuatu yang dibenci Trump.
Konsekuensi penutupan USAID, sejumlah program kesehatan, penanggulangan Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) dan advokasi Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender (LGBT) yang sudah dirancang USAID di Indonesia pada tahun 2025 terancam berhenti di tengah jalan. Kementrian Kesehatan RI merasa pembekuan bantuan luar negeri AS untuk Indonesia tersebut dapat membebani upaya pemerintah kita dalam memerangi HIV/ AIDS dan tuberkulosis, yang menggantikan COVID-19 dan menjadi penyebab utama kematian terkait penyakit menular secara global pada tahun-tahun sebelumnya.
Sebelumnya, Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat atau USAID itu telah berinvestasi US$800 juta di Indonesia sejak 2020, sebagaimana disampaikan oleh kedutaan besar AS di Jakarta pada November 2024 lalu.
Selama ini, proyek yang dibiayai USAID di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia lebih terfokus pada penanganan HIV dan tuberkulosis. Negara kita juga menerima obat dari Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria, yang mana Washington sebagai donor terbesarnya. Bersamaan dengan program penanggulangan HIV/AIDS, secara khusus USAID juga memberikan bantuan untuk program pemberdayaan dan advokasi pada komunitas LGBT di Tanah Air.
Gerakan Global
Sejak Barack Obama berkuasa, pemerintah AS terus terlibat secara sistematis dengan pemerintah di seluruh dunia untuk memajukan hak-hak kaum LGBTI. Presiden Obama juga telah mengeluarkan memorandum yang mengarahkan semua lembaga Federal yang terlibat di luar negeri untuk memastikan bahwa diplomasi AS dan bantuan luar negeri mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia dari kaum LGBT. Departemen Luar Negeri AS terus mengembangkan Dana Kesetaraan Global, sebuah kemitraan publik-swasta multisektoral untuk memajukan hak asasi manusia kaum LGBTI di seluruh dunia.
Sejak diluncurkan pada Desember 2011, dana tersebut telah dialokasikan lebih dari $30 juta kepada organisasi masyarakat sipil di 80 negara di seluruh dunia termasuk Indonesia. USAID, badan pemerintah AS yang bertanggung jawab utama dalam penyaluran bantuan dan asistensi internasional, meluncurkan Kemitraan Pembangunan Global LGBTI dan “Being LGBTI in Asia,” serta mendanai berbagai program hak asasi manusia untuk kaum LGBT.
Pada 2014, USAID merilis Visi Aksi LGBTI, sebuah dokumen yang mengomunikasikan posisi USAID mengenai isu-isu LGBTI kepada para pemangku kepentingan internal dan eksternal. Setahun kemudian Departemen Luar Negeri AS menunjuk Utusan Khusus pertama untuk Hak Asasi Manusia bagi Kaum LGBTI guna memimpin dan mengoordinasikan upaya diplomatik AS untuk memajukan hak-hak LGBTI di seluruh dunia. Departemen Luar Negeri AS juga merevisi Manual Urusan Luar Negeri untuk mengizinkan pasangan sesama jenis memperoleh paspor dengan nama yang diakui oleh negara mereka melalui perkawinan atau ikatan sipil mereka.
Tak heran sejak tahun 2014, USAID telah mendukung pembiayaan dalam program advokasi LGBT di Asia termasuk Indonesia melalui berbagai program, seperti Kemitraan Pembangunan Global LGBTI dan “Being LGBTI in Asia”.
Program USAID itu meliputi peningkatan kapasitas organisasi LGBT dalam berpartisipasi dalam dialog politik dan pemberdayaan masyarakat; membantu pemerintah, pengadilan, parlemen, dan lembaga HAM Nasional mengembangkan kebijakan dan hukum yang melindungi Sexual Orientation and Gender Indentity (SOGI). Ketiga, mengurangi stigma, diskriminasi, dan pelanggaran terhadap pelaku LGBT; serta mendanai berbagai program hak asasi manusia LGBTI.
Upaya tersebut didukung oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pada Oktober 2015, Sekjen PBB Ban Ki Moon memastikan akan menggencarkan perjuangan persamaan hak-hak LGBT. Dengan dukungan yang begitu besar, saat ini LGBT bukan lagi sekedar perilaku individu melainkan sudah menjadi gerakan global yang terorganisir di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Penyebaran dan kampanye kegiatan komunitas LGBT di Indonesia banyak dipengaruhi oleh serangan budaya modern dan disokong dana oleh lembaga-lembaga dana asing. Hal itu bisa kita lihat dilaporan “Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia), yang merupakan hasil dialog dan dokumentasi Komunitas LGBT Nasional Indonesia di Bali pada 13-14 Juni 2013, sebagai bagian dari prakarsa “Being LGBT in Asia” yang didukung oleh UNDP dan USAID. Kegiatan ini diikuti oleh 71 orang dari 49 lembaga pro LGBT di Indonesia.
Sebelumnya UNDP dan USAID meluncurkan prakarsa “Being LGBT in Asia” pada 10 Desember 2012. Diantara negara yang menjadi fokus program ini adalah China, Indonesia, Philipina dan Thailand. Sedangkan berdasarkan dokumen UNDP, program “Being LGBT in Asia” fase 2 dijalankan dari Desember 2014 hingga September 2017 dengan anggaran US$ 8 juta
Dalam laporan tersebut terungkap bahwa sebagian besar organisasi LGBT di Indonesia mendapat pendanaan dari lembaga donor internasional seperti USAID. Pendanaan juga diperoleh dari AusAID, UNAIDS, dan UNFPA. Ada sejumlah negara Eropa yang pernah mendanai program jangka pendek, terutama dalam kaitan dengan HAM LGBT. Pendanaan paling luas dan sistematis disediakan oleh Hivos, sebuah organisasi Belanda, kadang-kadang bersumber dari pemerintah negeri Belanda. Kemudian Ford Foundation bergabung dengan Hivos dalam menyediakan sumber pendanaan bagi organisasi-organisasi LGBT.
Di Indonesia, pergerakan LGBT merupakan salah satu dari lima yang terbesar dan tertua di Asia Tenggara. Beberapa asosiasi LGBT di Indonesia seperti: Gaya Nusantara, Arus Pelangi, Ardhanary Institute dan GWL INA. Tahun 2016, di Indonesia ada 2 jaringan nasional pendukung LGBT, dan ada 119 kelompok LGBT di 28 propinsi (dari 34 propinsi) di Indonesia dengan jutaan pengikut.
Beresiko Tinggi
LGBT adalah akronim dari istilah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender. Akronim ‘LGB’ mengacu pada orientasi seksual tertentu. Sementara itu, akronim ‘T’ mengacu pada identitas gender seorang individu.
Belakangan ada tambahan huruf I dalam akronim LGBT yakni Intersex sehingga akronim LGBT menjadi LGBTQIA+. Itu adalah singkatan dari lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, interseks, aseksual, dan/atau aromantik.
Kini, Indonesia menjadi negara kelima terbesar di dunia dalam menyumbang penyebaran LGBT. Demikian hasil survei CIA dilansir sixpackmagazinedotnet. Populasi LGBT di Indonesia ke-5 terbesar di dunia, setelah China, India, Eropa, dan Amerika. Sejumlah lembaga survei independen dalam dan luar negeri menyebut, Indonesia memiliki populasi 3% LGBT. Dengan kata lain, dari 250 juta penduduk Indonesia, sekitar 7,5 jutanya adalah LGBT. Berarti dari 100 orang yang berkumpul di suatu tempat, 3 di antaranya memungkinkan mereka adalah LGBT.
Perilaku komunitas LGBT yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat kita sebagai penyimpangan sexual, dan dukungan funding agency bagi aktivitas mereka, menimbulkan kekuatiran akan resiko dari keberadaan mereka. Sehingga wajar saja jika ada kecemasan bentuk perilaku penyimpangan sexual mereka bisa menular atau mempengaruhi orang lain untuk mengikuti gaya hidup mereka. Apalagi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menghapus LGBT dari daftar penyakit mental atau dianggap perilaku normal. Bahkan sebagai wujud pengakuan terhadap eksistensi kaum LGBT, kini telah ditetapkan hari Gay Sedunia dan bahkan ada 14 negara yang saat ini membolehkan pernikahan sejenis.
Resikonya bagi kesehatan tentu menjadi lebih besar. Saat ini HIV/AIDS menjadi salah satu masalah kesehatan utama di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Seiring dengan pesatnya komunitas LGBT, penularan HIV di kalangan komunitas ini juga meningkat secara signifikan. Jumlah penderita HIV di Indonesia pada 2024 (Januari- September) tercatat 47.896 kasus baru. Dua tahun sebelumnya, ada 52.000 kasus HIV di Indonesia, dimana Homoseksual dianggap paling berisiko.
Pada akhir 2024, Dinas Kesehatan Jawa Barat mencatat adanya peningkatan jumlah kasus HIV di wilayahnya. Sejak Januari hingga akhir tahun, ada 9.625 kasus baru HIV, yang sebagian besar ditemukan pada kelompok LGBT. Empat tahun sebelumnya, Jawa Timur menjadi salah satu provinsi di Indonesia dengan prevalensi infeksi HIV yang tertinggi. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun 2020, Surabaya menjadi kota dengan kasus infeksi HIV-1 tertinggi di kalangan komunitas LGBT, yaitu sebanyak 3.936 kasus infeksi di antara laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL/gay).
Data Kementerian Kesehatan memperkirakan ada 503.261 orang yang hidup dengan HIV di Indonesia hingga akhir tahun 2024 . Dari jumlah itu, diperkirakan hanya 351.378 orang yang mengetahui status mereka. Ini berarti masih ada sekitar 30,18% orang yang hidup dengan HIV tetapi tidak mengetahuinya. Dan, hanya 217.482 orang yang sudah menjalani pengobatan. Itu menunjukkan bahwa ada lebih dari setengah orang yang hidup dengan HIV belum mendapatkan pengobatan yang dibutuhkan.
Orang dengan HIV/AIDS tentu saja memerlukan pelayanan kesehatan yang khusus. Obat ARV harus diminum orang yang hidup dengan HIV setiap harinya untuk menekan perkembangan virus. Data WHO per akhir 2023 menyatakan 39,9 juta orang dengan HIV di dunia membutuhkan obat. Sejauh ini, WHO mengandalkan program Rencana Darurat Presiden AS untuk Penanggulangan AIDS (PEPFAR) di 50 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Data tahun 2020 memperlihatkan proporsi dana dari PEPFAR-USAID untuk program HIV di Indonesia mencapai 4,8%. Jumlah ini menjadikan PEPFAR-USAID, yang merupakan bentuk bantuan bilateral AS, sebagai donor asing kedua terbesar setelah Global Fund.
Berdasarkan data terakhir pada 2020 memperlihatkan sebanyak 40,8% dari program-program HIV di Indonesia berasal dari Global Fund yang berfokus pada pengentasan AIDS, tuberkulosis, dan malaria di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. AS adalah donor terbesar untuk Global Fund yang mencakup sekitar sepertiga dari total pendanaan. Untuk periode 2023-2025, AS telah berkomitmen dinasi hingga US$ 6 miliar untuk organisasi itu.
Meski Indonesia tidak termasuk ke dalam daftar negara yang bergantung kepada bantuan AS untuk persediaan obat ARV. Menurut direktur eksekutif dari LSM Indonesia AIDS Coalition (IAC), Aditya Wardhana, komponen-komponen program HIV di Indonesia, terkecuali persediaan obat HIV, mayoritas donor asing termasuk dari USAID.
Dengan demikian, lanjut Aditya, nuansa kebijakan Trump tetap akan mempengaruhi penanggulangan HIV di Indonesia, misalnya kebijakan soal gender. “Dalam pidato inagurasi Trump, dia secara eksplisit mengatakan kebijakan AS hanya mengakui dua gender: laki-laki dan perempuan. Di Indonesia, program penanggulangan HIV berhubungan erat dengan teman-teman transgender. Prevalensi HIV di Indonesia di transgender cukup tinggi,” ujar Aditya seperti dikutip BBC News pada 31 Januari 2025.
Faktanya, program penanggulangan HIV selama ini tetap bergantung kepada LSM-LSM yang didanai oleh funding agency, sekalipun persediaan obat-obatnya ditanggung APBN. Itu termasuk LSM-LSM yang mendapat pendanaan PEPFAR-USAID dan melakukan pendampingan kepada penyintas HIV. Penyuluhan yang dilakukan LSM-LSM menjadi salah satu aspek penting dalam penanganan HIV di Indonesia.
Sementara itu, dosen Pengkajian Amerika Universitas Gadjah Mada (UGM) Achmad Munjid mengatakan pembekuan dana USAID akan merugikan banyak pihak, termasuk citra AS dalam pergaulan global. Sebab menurutnya, di tengah banyak kebijakan luar negeri AS yang agresif dan menimbulkan banyak masalah,, selama ini program yg didanai USAID adalah wajah manusiawi sosok AS di panggung internasional. Jika USAID dihapus secara permanen yang tinggal wajah keras dan serakah AS yang tampil.
“Di Indonesia khususnya yang paling dirugikan adalah masyarakat kelas bawah yang terkait langsung dengan manfaat program-program yang didanai USAID seperti program kesehatan, pemberdayaan ekonomi, penanggulangan HIV dan pemenuhan hak LGBT. Lebih-lebih dalam situasi akibat efisiensi gila-gilaan rejim Prabowo yang dampaknya sudah mulai kelihatan, banyak masyarakat bawah yang kini ibarat sudah jatuh masih harus tertimpa tangga pula. Tahun 2025 ini akan jadi masa sulit bagi banyak orang,” tandas pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UGM ini kepada The Epoch Times. (Fadjar Pratikto/ Jogja)