Presiden Klaim Kemiskinan Turun, Pengamat Bilang Tak Patut Dibanggakan

adilnews | 16 August 2024, 06:55 am | 57 views

Presiden Klaim Kemiskinan Turun, Pengamat Bilang bukan Sesuatu yang Patut DibanggakanJAKARTA- Presiden RI Joko Widodo menunjukan lima prestasi yang diraihnya selama 10 tahun berkuasa saat menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam rangka HUT RI ke-79 di Sidang Tahunan MPR RI 2024, Jakarta, Jumat (16/8). Salah satunya, angka kemiskinan ekstrem mampu diturunkan dari sebelumnya 6,1 persen menjadi 0,8 persen di 2

Keempat, Jokowi menegaskan sanggup menurunkan angka stunting di Indonesia. Ia mencatat sebelumnya angka stunting 37,2 persen, lalu hanya 21,5 persen berdasarkan data 2023. Benarkah Klaim Penurunan
JAKARTA- Presiden RI Joko Widodo menunjukan lima prestasi yang diraihnya selama 10 tahun berkuasa saat menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam rangka HUT RI ke-79 di Sidang Tahunan MPR RI 2024, Jakarta, Jumat (16/8). Salah satunya, angka kemiskinan ekstrem mampu diturunkan dari sebelumnya 6,1 persen menjadi 0,8 persen di 2024.

Selain kemiskinan yang diklaim turun, Jokowi juga memamerkan tingkat pengangguran yang mampu ditekan dari sebelumnya 5,7 persen menjadi 4,8 persen di 2024. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil di atas 5 persen, juga dklaim sebagai keberhasilannya. Jokowi menyebut disaat perekonomian negara lain banyak yang tak tumbuh, wilayah Indonesia Timur, seperti Papua dan Maluku justru mampu tumbuh di atas 6 persen dan Maluku Utara mampu tumbuh di atas 20 persen.

Keempat, Jokowi menegaskan inflasi di Indonesia terus terkendali. Ia mengklaim inflasi tetap bisa dijaga dikisaran 2-3 persen. Jokowi membandingkan dengan kondisi negara lain, bahkan ada negara yang inflasinya mencapai lebih dari 200 persen. Kelima, Jokowi menegaskan sanggup menurunkan angka stunting di Indonesia. Ia mencatat sebelumnya angka stunting 37,2 persen, lalu hanya 21,5 persen berdasarkan data 2023.

Benarkah Klaim Penurunan Kemiskinan

Lima bulan yang lalu, pemerintah Jokowi menunjukan di tengah stagnasi ekonomi global, berbagai kebijakan strategis pemerintah berhasil menopang resiliensi ekonomi nasional. Per Maret 2024, tingkat kemiskinan melanjutkan tren menurun menjadi 9,03 persen dari 9,36 persen pada Maret 2023.

“Penduduk miskin pada Maret 2024 turun 0,68 juta orang dari Maret 2023 sehingga jumlah penduduk miskin menjadi sebesar 25,22 juta orang. Angka kemiskinan ini merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir,” ujar Kepala Badan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu pada 5 Juli 2024.

Secara spasial, tingkat kemiskinan juga ditunjukan menurun baik di perkotaan maupun di perdesaan. Tingkat kemiskinan di perkotaan turun ke level 7,09 persen dari 7,29 persen pada Maret 2023. Sementara itu, persentase penduduk miskin di perdesaan mengalami penurunan menjadi sebesar 11,79 persen dari 12,22 persen pada Maret 2023. Penurunan kemiskinan juga terjadi di seluruh wilayah Indonesia, dengan penurunan tertinggi terjadi di Bali dan Nusa Tenggara.

“Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia (rasio gini) juga menurun dan berada di bawah level prapandemi menjadi sebesar 0,379 pada Maret 2024 (Maret 2023: 0,388). Level tersebut merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir. Penurunan ketimpangan terjadi baik di perkotaan maupun perdesaan,” jelasnya.Penurunan angka kemiskinan pada Maret 2024 ditopang oleh solidnya aktivitas ekonomi domestik dan berbagai program bantuan sosial pemerintah, khususnya dalam merespons kenaikan inflasi pangan pada awal 2024.

“Penurunan tingkat kemiskinan ini memberikan harapan di tengah stagnasi perekonomian global. Pemerintah akan terus berkomitmen menjaga stabilitas inflasi sehingga dapat mendorong peningkatan daya beli masyarakat, yang selanjutnya dapat mengakselerasi penurunan tingkat kemiskinan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat.” tutur Febrio.

Benarkah klaim tersebut? Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menilai program pengentasan kemiskinan di era Jokowi bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Dia menyebut penanggulangan kemiskinan yang selama ini bergantung pada kebijakan bantuan sosial (bansos), bukan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas secara luas dan pemberdayaan ekonomi rakyat.

“Penurunan angka kemiskinan di era Presiden Jokowi bukan sebuah prestasi yang dapat dibanggakan karena diraih atas kebijakan bansos yang sangat masif,” jelas Yusuf Wibisono seperti dikutip Media Indonesia pada  2 Juli 2024.

Seperti diketahui, jelang Pilpres 2024, selain pemberian bansos reguler seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Nontunai (BPNT), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, pemerintah juga menggulirkan berbagai bansos ad-hoc tambahan yang nyaris tiada henti sejak awal 2023. Mulai dari bansos beras antara April-Desember 2023 yang kemudian diperpanjang hingga Juni 2024. Kemudian, bansos BLT El-Nino pada November hingga Desember 2023 dikucurkan dan diperpanjang hingga kuartal I-2024.

Pada awal 2024, BLT mitigasi risiko pangan untuk Januari-Maret 2024 juga diberikan. Menurut Yusuf, derasnya bansos tersebut dapat meningkatkan daya beli dan pengeluaran warga miskin dalam jangka pendek. “Tidak heran bila pada Maret 2024 angka kemiskinan turun,” tukas Yusuf.

Berdasarkan pengamatan Yusuf, anggaran bansos meningkat tajam jelang Pilpres 2024, padahal dianggap tidak ada kegentingan ekonomi yang luar biasa. Anggaran belanja bansos disebut menunjukkan pola siklus anggaran politis atau political budget cycle, dana bansos terus dipertahankan meski pandemi telah berakhir.

Direktur Ideas itu mencatat anggaran belanja bansos pada 2023 diproyeksikan Rp146,5 triliun dan pada 2024 naik menjadi Rp152,3 triliun, jauh meningkat dari anggaran bansos sebelum pandemi yang hanya Rp112,5 triliun di 2019. “Upaya ini tidak mencerminkan kinerja penanggulangan kemiskinan, lebih mencerminkan hasrat politik untuk meraih dukungan elektoral secara instan. Politisasi bansos terlihat menguat signifikan di era Jokowi,” tandas Yusuf.

Bagi Yusuf, motivasi elektoral untuk politisasi bansos telah mendistorsi substansi dan arah besar kebijakan penanggulangan kemiskinan di era Presiden Jokowi menjadi terfokus pada bansos. Padahal, penanggulangan kemiskinan seharusnya berfokus pada pemberdayaan ekonomi rakyat (UMKM) dan penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas secara luas, bukan memperbesar pemberian bansos.

Karena itu, Yusuf menyarankan pemerintah mesti fokus melakukan pemberdayaan ekonomi rakyat. Seperti di sektor pertanian yang masih menjadi tumpuan 28,4 juta rumah tangga pedesaan di seluruh Indonesia. Namun, dalam 10 tahun terakhir, jumlah petani gurem justru bertambah dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023.

Di sisi lain, lanjut Yusuf, penciptaan lapangan kerja formal yang berkualitas semakin terbatas. Dalam dekade terakhir, industri padat karya nasional dianggap semakin melemah daya saingnya, bahkan telah terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal seiring tutupnya pabrik-pabrik tekstil hingga alas kaki. (Risma)

Berita Terkait