Para Influencer Dimanfaatkan Untuk Bangun Narasi Positif Tentang Beijing, Tanpa Disadari Menjadi “Agen Propaganda”

adilnews | 15 July 2025, 03:22 am | 409 views

JAkKARTA, ADILNEWS- Upaya membangun narasi positif tentang Tiongkok melalui media sosial kian gencar dilakukan dengan melibatkan influencer dari Indonesia. Nama terbaru yang menjadi perhatian adalah Hengky Kurniawan, artis sinetron sekaligus mantan Bupati Bandung Barat, yang sejak 1 hingga 7 Juli 2025 melakukan siaran langsung (live streaming) dari kota Shanghai melalui akun TikTok @hengkikur21 setiap pagi pukul 08.00 waktu setempat.

Hengky memanfaatkan popularitasnya di kalangan generasi muda untuk menampilkan berbagai keunggulan Shanghai, mulai dari kemajuan infrastrukturnya, keteraturan transportasi publik, hingga keramahan warga lokal. Dalam siarannya, Hengky berulang kali mengungkapkan rasa bahagia bisa mendapatkan kesempatan melakukan live dari salah satu kota paling maju di Tiongkok. “Senang sekali bisa menyapa teman-teman langsung dari Shanghai. Terima kasih atas dukungannya,” tulisnya di unggahan sebelum berangkat.

Konten Hengky memperlihatkan citra positif.yang sejalan dengan tren global saat ini, di mana influencer berperan sebagai ujung tombak diplomasi lunak (soft power). Bagi penonton Indonesia, live Hengky menjadi potret nyata bagaimana figur publik dalam negeri mulai menjadi bagian dari komunikasi narasi Tiongkok, lewat pendekatan yang terasa lebih natural, santai, dan personal.

Program Resmi Tukar Influencer
Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok dan Mongolia, Djauhari Oratmangun, sebelumnya sudah menegaskan pentingnya kolaborasi influencer lintas negara sebagai strategi promosi wisata dan budaya kedua negara. “Kami mengirim influencer China ke Indonesia untuk menunjukkan pariwisata Indonesia, jadi bisa juga digagas agar content creator Indonesia bekerja sama dengan yang ada di Tiongkok saling tukar konten,” ujar Djauhari seperti dikutip Antara.

Menurutnya, tukar-menukar konten antara kreator Indonesia dan Tiongkok tidak hanya berdampak pada promosi pariwisata, tetapi juga mempererat hubungan masyarakat kedua negara. Dengan strategi ini, narasi positif mengenai Tiongkok dapat dibangun melalui kanal digital yang lebih dipercaya masyarakat ketimbang komunikasi resmi pemerintah.

Hengky menjadi salah satu contoh kreator Indonesia yang mempraktikkan pola tukar konten ini. Meski tidak secara terbuka menyebut adanya program pemerintah, aktivitasnya di Shanghai secara tidak langsung memperkuat diplomasi budaya Indonesia–Tiongkok di ranah media sosial.

Fenomena memanfaatkan influencer lokal sebenarnya sudah lama menjadi bagian strategi komunikasi Tiongkok. Berbagai laporan lembaga independen, termasuk Future CHOICE dan Freedom House, menyebutkan bahwa Beijing aktif mengundang influencer global lewat program bertajuk China-Global Youth Influencer Exchange Program. Para influencer ini diajak berkunjung ke kota-kota futuristik seperti Shenzhen atau Shanghai, kemudian memproduksi konten bernuansa positif untuk ditayangkan di negara asalnya.

Nama-nama besar internasional seperti Darren Watkins Jr. alias IShowSpeed, hingga influencer Rusia Vladislav Kokolevskiy, pernah menjadi bagian dari strategi ini. Namun, belakangan, Indonesia muncul sebagai target penting. Basis pengguna media sosial yang masif membuat para influencer Indonesia menjadi figur strategis untuk memperkenalkan citra Tiongkok yang modern, maju, dan damai.

Menurut Tenggara Strategics, seperti dikutip laporan Freedom House 2022, agen investasi Indonesia yang membantu menyelenggarakan tur influencer media sosial pada September 2019, setiap unggahan mereka dibayar sebesar US$ 500. Salah satu peserta tur—mantan Miss Indonesia, Alya Nurshabrina—mengunggah foto masjid di luar Beijing yang kini unggahan tersebut telah dihapus, dan memberi tahu 86.000 pengikutnya di Instagram dengan menuliskan caption bahwa “Tiongkok menyambut setiap agama.”

Dari Indonesia, selain Hengky, beberapa nama lain seperti alumni Tiongkok Novi Basuki dan Fathan Sembiring, juga Guru Gembul — influencer edukasi populer — juga sering menyampaikan narasi positif tentang Beijing, kemajuan teknologi dan bisnis Tiongkok. Bahkan Helmy Yahya, tokoh media sekaligus mantan presenter ternama, melalui kanal YouTube-nya rutin membahas kesuksesan Tiongkok dalam memberantas kemiskinan, terakhir menghadirkan Kepala Badan Penanggulangan Kemiskinan Budiman Sudjatmiko dalam talkshow-nya yang memuji habis kebijakan Partai Komunis Tiongkok (PKT).

Bagi Helmy mungkin kepentingannya lebih ke bisnis terutama terkait dengan studi banding dan pembelajaran dari perusahaan-perusahaan teknologi dan inovasi terkemuka di sana. Ia sering membawa rombongan perjalanan bisnis ke Tiongkok untuk berbagi pengalaman dan wawasan dengan pengusaha dan profesional Indonesia.

Strategi yang Dianggap Efektif
Pakar komunikasi politik menilai pola ini efektif karena influencer dianggap lebih netral dan autentik oleh publik dibanding corong resmi. Konten yang dikemas dengan gaya vlog perjalanan, review kuliner, atau sekadar live streaming dianggap relatable, sehingga pesannya jauh lebih mudah diterima audiens. “Influencer bisa menembus ruang privat penonton di ponsel mereka, dan pesan narasi positif menjadi lebih halus dan persuasive,” jelas analis media sosial Future CHOICE.

Hal inilah yang diamati pula dari siaran langsung Hengky Kurniawan di Shanghai. Dengan citra artis yang santun, berpengalaman di pemerintahan daerah, dan memiliki reputasi bersih, Hengky punya daya tarik besar di kalangan generasi muda Indonesia. Respons netizen pun cukup ramai, sebagian besar mengapresiasi konten tentang teknologi dan kemajuan Tiongkok, meski ada juga yang mempertanyakan tiadanya isu kebebasan atau hak asasi manusia.

Menurut Dubes Djauhari Oratmangun, strategi saling mengirim influencer sejatinya dirancang bukan hanya untuk diplomasi politik, tetapi juga untuk menggairahkan sektor pariwisata kedua negara. Influencer Tiongkok yang dikirim ke Indonesia, misalnya, diharapkan bisa menonjolkan keindahan Bali, Lombok, atau Yogyakarta di hadapan audiens Tiongkok.

Sebaliknya, influencer Indonesia yang berkunjung ke Tiongkok seperti Hengky dsn Helmy diharapkan dapat menggaungkan kesan positif dan mendorong wisatawan Indonesia untuk tidak ragu menjelajahi kota-kota di Tiongkok. “Jadi kita saling perkenalkan budaya dan pariwisata, bukan hanya bisnis atau politik,” tegas Djauhari.

Konten yang diproduksi para influencer ini kemudian beredar di TikTok, Instagram, hingga YouTube, dan dikonsumsi oleh jutaan warganet tanpa filter yang biasa muncul di media arus utama. Dengan demikian, pesan-pesan positif tentang Tiongkok — termasuk citra stabilitas, kemajuan teknologi, dan keramahan penduduknya — tersampaikan dengan lebih lancar.

Fenomena keterlibatan influencer Indonesia ini sekaligus menandakan bahwa arena perang opini sudah bergeser dari meja redaksi ke layar smartphone. Lewat live streaming, video vlog, atau konten edukasi, narasi positif tentang Tiongkok dapat dibungkus dengan cara yang sangat dekat dengan gaya hidup anak muda. Pakar komunikasi menyebut diplomasi gaya influencer ini sebagai diplomasi naratif generasi digital, di mana batas antara promosi budaya, bisnis, dan politik menjadi semakin tipis.

Meski begitu, publik tetap perlu bersikap kritis. Tidak semua konten influencer otomatis objektif, apalagi bila terkait diplomasi antarnegara. Dalam situasi persaingan geopolitik global yang kian ketat, narasi positif juga bisa menjadi alat politik.

Influencer mungkin tidak mengaku atau tidak merasa sedang berpropaganda, namun banyak di antara mereka difasilitasi oleh jaringan multi-channel network (MCN) yang terafiliasi dengan pemerintah Tiongkok. Freedom House menyebut metode ini sebagai bentuk propaganda terselubung yang lebih halus — membangun citra tanpa terlihat sedang berkampanye.

Konten positif tentang teknologi, transportasi, kuliner, dan wisata Tiongkok boleh diapresiasi. Namun publik juga berhak menuntut perspektif berimbang, terutama terkait isu kebebasan, demokrasi, dan HAM yang sering dikritik oleh komunitas internasional.

Program tukar influencer mungkin membuka peluang besar mempererat hubungan Indonesia–Tiongkok melalui media sosial. Namun di sisi lain, kita perlu cermat membedakan mana konten asli pengalaman pribadi, mana konten yang sarat pesan politis. (Fadjar)

Berita Terkait