JAKARTA, ADILNEWS.COM – Indonesia perlu mengantisipasi percepatan modernisasi militer China yang menargetkan menjadi kekuatan militer kelas dunia pada 2027. Dengan agresivitas China di Laut China Selatan (LCS), serta konfliknya dengan sejumlah negara di Asia Tenggara dalam masalah perbatasan, para pakar militer menyarankan pemerintah Indonesia melakukan diplomasi dan peningkatan anggaran pertahanan sebagai langkah antisipatif terhadap potensi eskalasi konflik di kawasan tersebut.
Demikian salah satu point dalam diskusi publik “Modernisasi Militer dan Diplomasi Pertahanan China: Peluang dan Tantangan di Asia Tenggara” yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Paramadina Public Policy Institute (PPPI), di Jakarta pada 30 September 2024 lalu. Acara diskusi yang dipandu oleh Muhammad Ikhsan dari Universitas Paramadina ini menghadirkan beberapa pembicara utama, yakni Brigjen TNI (Purn) Victor P. Tobing (Pemerhati Keamanan Regional), Peni Hanggraini (Dosen Prodi Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina) dan Aisha Rasyidila Kusumasomantri (Direktur Riset Indo-Pacific Strategic Intelligence).
Dalam presentasinya, Brigjen TNI (Purn) Victor P. Tobing menunjukan modernisasi militer China bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Menurutnya, ide mencanangkan modernisasi militer telah ada sejak zaman modernisasi Deng Xiaoping pada tahun 1978. Namun perbedaan yang tajam terjadi sejak Xi Jinping mencapai kedudukan tertinggi dan menjadi penguasa partai, militer, dan negara pada tahun 2012.
“Pada awalnya China tidak berniat membangun pangkalan militer di luar negeri, sejak diluncurkannya buku putih kedua pada tahun 2013, China mencanangkan agar kekuatan militernya setara dengan posisi internasional China,” tandas Victor. Bagi Victor, inilah yang melatarbelakangi dibangunnya pangkalan militer China di Djibouti, Afrika.
“Kehadiran kapal induk China ketiga, yaitu kapal induk Fujian yang baru saja melalui uji coba beberapa bulan lalu menjadi tantangan Indonesia dan negara Asia Tenggara lain dalam kaitan dengan modernisasi militer China dan persoalan Laut China Selatan,” jelas Victor yang pernah bertugas di Kemenkopolhukam dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Pembicara kedua, Peni Hanggarini juga menyoroti perkembangan pesat militer China akhir-akhir ini. “China seolah-olah mengurangi jumlah personal angkatan bersenjatanya, tapi militer China makin kuat dalam bidang teknologi. China menggunakan para kaum terdidik dan terlatih pada bidang teknologi informasi untuk militer mereka,” tandas doktor lulusan Universitas Pertahanan RI ini.
Menurut Peni, perilaku China dalam hal kemiliteran dapat dianggap sangat ambisius, asertif, dan agresif yang ditopang oleh upaya untuk mengejar “China Dream”. “Selain ditujukan untuk menggapai impian dalam mencapai kebangkitan nasional China seiring dengan usianya yang ke-100 pada tahun 2049, sikap 3 A yaitu ambisius, asertif, dan agresif di atas juga didorong oleh kompetisi China dengan Amerika Serikat,” tutur Peni.
Lebih lanjut, Peni menjelaskan bahwa perkembangan tersebut direspons oleh negara-negara ASEAN dengan pendekatan yang berbeda-beda.
Peni mencontohkan, Indonesia, masih menjalin diplomasi pertahanan dengan China, meskipun dalam taraf kerja sama pertahanan yang tergolong masih kategori tingkat rendah. Peni juga berpandangan bahwa masih terdapat banyak ruang untuk meningkatkan diplomasi pertahanan Indonesia dengan China, baik secara bilateral maupun dalam konteks China sebagai mitra ASEAN.
Senada dengan itu, Aisha Rasyidila Kusumasomantri mengakui, angkatan bersenjata China telah menjadi salah satu militer dengan pertumbuhan paling pesat di dunia. Dalam pandangan Aisha, Indonesia masih memiliki beberapa pilihan dalam meresponi perkembangan di atas.
“Pada satu sisi, Indonesia dapat meningkatkan diplomasi pertahanannya dengan China, antara lain dengan menjajaki kemungkinan kerja sama pertahanan antara kedua negara. Namun pada sisi lain Indonesia harus pula meningkatkan pendekatan pertahanan yang mengantisipasi perkembangan di luar Indonesia,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua FSI, Johanes Herlijanto menyampaikan, forum akademis ini menjadi penting dalam memberikan catatan terkait modernisasi dan diplomasi pertahanan China untuk menjadikan militer mereka sebagai kekuatan dunia pada tahun 2035.
“Apalagi pada Kongres Nasional Partai Komunis China (PKC) ke-20 tahun 2022 lalu, Xi mengubah target bagi terlaksananya modernisasi angkatan bersenjata dan pertahanan China yang pada awalnya tahun 2035 menjadi tahun 2027,” tutur Johanes yang juga dosen Universitas Pelita Harapan (UPH) seperti dikutip Kompas.com.
Johanes juga menekankan pentingnya Indonesia tetap menjaga sikap kehatian-hatian dalam mencermati perkembangan modernisasi militer dan diplomasi pertahanan China ini. “Harapannya melalui diskusi ini akan melahirkan sejumlah catatan-catatan akademis bagi pemerintahan Indonesia yang baru dalam menyikapi perkembangan militer dan pertahanan China agar Indonesia tetap memiliki gestur posisi tawar yang kuat dalam hubungan bilateral kedua negara,” tambahnya. (Fadjar/ JKT)