Mega Proyek Dragon, Kontraktor Lokal Mesti Terlibat

adilnews | 7 July 2025, 10:57 am | 232 views

JAKARTA, ADILNEWS.COM- Indonesia terus memacu pembangunan megaproyek ekosistem industri baterai kendaraan listrik (EV) terintegrasi yang digarap oleh PT Aneka Tambang Tbk. (Antam), Indonesia Battery Corporation (IBC), dan konsorsium Contemporary Amperex Technology Co. Ltd (CATL). Proyek senilai sekitar US$6 miliar atau Rp97 triliun ini dijuluki Proyek Dragon, mencakup pengembangan rantai pasok baterai EV dari hulu ke hilir, mulai penambangan nikel, smelter, prekursor, hingga daur ulang baterai.

Peresmian tahap awal proyek di Karawang dihadiri Presiden Prabowo Subianto dan jajaran kementerian. Presiden menegaskan proyek ini bukan sekadar investasi, tetapi bagian dari strategi besar untuk menuju swasembada energi nasional dalam 5–7 tahun mendatang. “Salah satu jalan menuju swasembada energi adalah listrik dari tenaga surya, kuncinya ada di baterai. Hari ini kita saksikan ekosistemnya mulai dibangun,” ujar Prabowo.

Di saat penjualan mobil listrik global melesu akibat perlambatan permintaan dan jurang EV (EV valley), Indonesia justru menilai momen ini sebagai peluang untuk memperkuat industri baterai domestik. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menekankan bahwa kerja sama Indonesia dengan CATL tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan kendaraan listrik, tetapi juga penyimpanan energi skala besar bagi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan target kapasitas 40 gigawatt.

“Presiden sudah memerintahkan agar kita tidak hanya bikin baterai EV, tapi juga untuk solar panel. Ini yang akan jadi kunci ketahanan energi kita ke depan,” kata Bahlil.

Meski demikian, megaproyek ini sempat diterpa dinamika. Konsorsium asal Korea Selatan yang sebelumnya digawangi LG Energy Solution memutuskan mundur dari proyek karena pasar EV global menurun. Posisinya kemudian digantikan investor China, Huayou dan CATL. Menteri Bahlil menegaskan hal itu wajar dalam proyek berskala raksasa. “Yang penting proyek terus berjalan, investor boleh berganti tetapi tujuannya tetap sama,” jelasnya.

Pemerintah juga membuka peluang menambah kepemilikan Indonesia di proyek Dragon. Saat ini, porsi saham BUMN Indonesia di tahap hilir baru sekitar 30%, sementara di tahap hulu seperti tambang nikel sudah mayoritas 51%. Presiden Prabowo meminta agar kepemilikan nasional ditingkatkan hingga 40–50%. Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) tengah menyiapkan suntikan modal ke holding MIND ID untuk menambah saham di proyek ini, tanpa penyertaan langsung.

“Kita harap dengan tambahan modal ini, kemandirian teknologi baterai kita bisa terwujud dan tidak terus tergantung asing,” kata Dony Oskaria, COO Danantara.

Kontraktor Lokal Minta Kesempatan

Di tengah kemegahan proyek ini, suara aspirasi kontraktor lokal mulai menguat. Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) berharap kontraktor dalam negeri jangan hanya jadi penonton di tanah sendiri. Sekjen Gapensi La Ode Safiul Akbar menegaskan proyek sebesar ini harus memberi ruang yang adil, tidak hanya dikuasai kontraktor asing atau BUMN besar.

“Kalau hanya BUMN atau kontraktor dari China yang mengerjakan, efek positif ke ekonomi daerah sangat kecil,” ujarnya. Gapensi siap berkontribusi mulai dari pembangunan pabrik, sarana pendukung, hingga penyiapan lahan (land clearing) agar manfaatnya dirasakan lebih luas.

La Ode juga menyoroti bahwa selama ini proyek-proyek berinvestor asing sering hanya menggunakan pekerja asing. Padahal, kata dia, kontraktor lokal dan tenaga kerja lokal memiliki kapasitas yang memadai. “Jangan hanya beri angin surga, tapi miskin implementasi,” tegasnya.

Sebagai gambaran, Proyek Dragon memiliki enam subproyek utama: tambang nikel (JV1), smelter RKEF (JV2), smelter HPAL (JV3), pabrik prekursor/katoda (JV4), pabrik sel baterai (JV5), dan fasilitas daur ulang baterai (JV6). Lima subproyek dengan investasi US$4,7 miliar dikembangkan di Halmahera Timur, Maluku Utara, sedangkan pabrik baterai di Karawang menelan investasi US$1,2 miliar.

Proyek ini diperkirakan menyerap 8.000 tenaga kerja langsung dan 35.000 tenaga kerja tidak langsung, serta memacu industri pendukung baterai di kawasan industri baru seluas 3.023 hektare di Maluku Utara dan 43 hektare di Karawang.

Bahlil menegaskan bahwa proyek Dragon akan menggunakan listrik PLTS 150 megawatt dan listrik berbasis limbah 30 megawatt, agar sejalan dengan target rendah karbon. Pemerintah juga menilai proyek ini akan menghasilkan multiplier effect sekitar US$45 miliar per tahun untuk ekonomi nasional.

Kedaulatan Energi Jadi Prioritas

Dari sisi geopolitik, Indonesia belajar dari ketegangan global dan ingin mengurangi ketergantungan rantai pasok. Dengan cadangan nikel terbesar dunia, Indonesia memiliki posisi strategis untuk mengamankan bahan baku baterai EV.

“Proyek Dragon ini bukan hanya investasi, tapi soal kedaulatan energi nasional. Kita tidak mau hanya jadi penyedia bahan mentah,” tegas Bahlil.

Hal senada disampaikan Presiden Prabowo, yang menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh terus berada di posisi lemah ketika menghadapi perubahan global. Dengan pembangunan rantai pasok baterai di dalam negeri, Indonesia akan lebih kuat menghadapi fluktuasi harga energi dan mengurangi impor BBM.

Pemerintah juga menyebut Proyek Dragon adalah bagian integral dari strategi hilirisasi industri nikel dan transisi energi hijau menuju Indonesia Emas 2045. Selain mengurangi emisi karbon, proyek ini juga diharap menumbuhkan kapasitas SDM lokal agar mampu bersaing di teknologi kendaraan listrik dan energi terbarukan.

“Dengan transfer teknologi, para insinyur kita ke depan bisa mengembangkan baterai sendiri,” imbuh Bahlil.

Sebagai penutup, pemerintah berjanji akan mengawal megaproyek ini agar benar-benar inklusif, transparan, dan berkelanjutan. Harapannya, Proyek Dragon bukan hanya menjadi kebanggaan nasional, tetapi juga etalase masa depan Indonesia yang mandiri, hijau, dan berdaya saing tinggi. (Fadjar/ Jkt)

Berita Terkait