Kunjungan Tokoh Islam Sumut ke Tiongkok dan Kontroversi Xinjiang: Diplomasi Budaya di Tengah Kritik HAM

adilnews | 28 June 2025, 04:15 am | 376 views

Sebanyak 19 tokoh agama dan akademisi dari Sumatera Utara melakukan kunjungan ke Tiongkok pada 29 Mei hingga 5 Juni 2025 atas undangan Konsulat Jenderal Tiongkok di Medan. Delegasi ini berkunjung ke berbagai kota, termasuk Beijing, Zhengzhou, dan Urumqi di Daerah Otonom Xinjiang — wilayah yang selama ini menjadi sorotan dunia terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Muslim-Uighur.

Kunjungan tersebut disebut sebagai bagian dari diplomasi budaya dan pertukaran antar-masyarakat antara Indonesia dan Tiongkok. Konsul Jenderal Zhang Min menyebut bahwa kegiatan ini bertujuan mempererat hubungan persahabatan dan membangun pemahaman yang objektif tentang Tiongkok, khususnya kehidupan umat Islam di Xinjiang.

Kunjungan serupa juga pernah dilakukan sebelumnya oleh sejumlah tokoh agama dan organisasi Islam besar di Indonesia, termasuk Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang juga diundang untuk menyaksikan langsung perkembangan Xinjiang. Dalam setiap kesempatan, pemerintah Tiongkok menampilkan narasi harmoni sosial dan pembangunan ekonomi di wilayah tersebut, dengan harapan memperbaiki citra di mata publik Muslim Indonesia.

Narasi Resmi dan Testimoni Peserta
Rombongan dari Sumatera Utara terdiri dari pimpinan universitas, ulama, dan perwakilan organisasi keagamaan. Dalam pernyataan resmi, Prof. Dr. Nurhayati, Rektor UIN Sumatera Utara, menyampaikan bahwa rombongan menyaksikan langsung kerukunan antar-etnis, keterbukaan keagamaan, serta jejak sejarah panjang Islam di Tiongkok. Mereka juga mengunjungi masjid, museum Islam, serta berdialog dengan pejabat daerah di Xinjiang.

(Foto-foto: Dok UIN Sumut www.uinsu.ac.id)

“Kami melihat Islam tumbuh dalam koridor moderasi dan nasionalisme. Di Xinjiang, kami menemui masyarakat Muslim yang sangat cinta negaranya,” ujar Prof. Nurhayati dalam laporan pasca kunjungan.

Namun, tidak semua tokoh Islam bersikap positif terhadap kebijakan Partai Komuus Tiongkok (PKT) di Xinjiang, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi yang dihadapi minoritas Muslim Uighur.

“Penindasan ini melukai nilai-nilai kemanusiaan dan agama. Hak beribadah adalah hak asasi paling mendasar yang tidak boleh diganggu,” kata Amirsyah.

Ia mendesak agar PBB bersikap tegas terhadap pemerintah Tiongkok dan tidak menerapkan standar ganda dalam membela hak minoritas Muslim. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan keberatan secara santun namun tegas.

Kejahatan Kemanusiaan & Dilema Diplomatik
Para aktivis dan organisasi hak asasi manusia mengingatkan bahwa tampilan luar yang disiapkan oleh pemerintah Tiongkok kepada delegasi asing belum tentu mencerminkan kondisi sebenarnya di lapangan.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa kondisi di Xinjiang adalah pelanggaran HAM yang nyata dan mendalam. Dalam diskusi publik di Jakarta, Usman merujuk laporan Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB yang mengungkap lebih dari satu juta Muslim Uighur dan kelompok etnis Muslim lainnya ditahan secara sewenang-wenang di kamp-kamp “pendidikan ulang”.

“Kebanyakan ditahan tanpa bukti kuat. Sampai hari ini, banyak keluarga yang tidak tahu keberadaan kerabat mereka. Ini bentuk penahanan tanpa proses hukum yang jelas,” ujar Usman.

Menurutnya, praktik-praktik ini dibungkus dengan dalih melawan ekstremisme, tetapi justru berdampak pada pembungkaman ekspresi keagamaan yang sah. Larangan berjilbab, berpuasa, dan memelihara jenggot adalah contoh nyata kebijakan diskriminatif yang diterapkan di Xinjiang.

Usman menyebut bahwa Amnesty telah menyurati Kementerian Luar Negeri Indonesia agar mendesak pemerintah Tiongkok menghentikan pelanggaran ini dan membuka akses informasi bagi komunitas internasional.

Agung Nurwijoyo, dosen Hubungan Internasional di Universitas Indonesia, menyoroti dilema diplomatik yang dihadapi Indonesia. Menurutnya, isu Xinjiang tidak hanya menyangkut HAM, tetapi juga arena geopolitik dan perebutan pengaruh global.

“Negara-negara besar seperti Amerika dan Inggris bereaksi keras. Tapi negara-negara Muslim justru cenderung diam,” ujar Agung.

Ia menjelaskan bahwa Indonesia perlu berhati-hati dalam menanggapi isu ini agar tidak merusak hubungan strategis dengan Tiongkok. Namun di sisi lain, sebagai negara demokratis dan mayoritas Muslim, Indonesia diharapkan mengambil peran lebih aktif dalam mendesak keterbukaan informasi dan penghormatan HAM di Xinjiang.

“Indonesia bisa menjadi jembatan: tetap menjalin hubungan baik, tapi juga menyuarakan kepedulian atas pelanggaran HAM. Kita harus menegaskan bahwa membela kemanusiaan bukan berarti memusuhi mitra dagang,” tambah Agung.

Diplomasi Budaya atau Strategi Propaganda?
Kunjungan para tokoh agama dan akademisi dari Sumatera Utara ini, seperti juga rombongan-rombongan sebelumnya dari NU, Muhammadiyah, dan MUI, membawa narasi positif tentang kehidupan Muslim di Xinjiang. Namun banyak pihak mempertanyakan, apakah testimoni ini benar-benar mencerminkan realitas atau hanya bagian dari strategi diplomatik PKT untuk meredam sorotan global?

Pengamat menilai kampanye “Islam Bahagia di Xinjiang” yang dipromosikan melalui delegasi asing merupakan bagian dari upaya soft power Tiongkok untuk mengontrol narasi internasional — terutama di negara-negara berpenduduk Muslim besar seperti Indonesia.baik

Kunjungan delegasi Islam Sumut ke Tiongkok membuka ruang refleksi bagi publik Indonesia. Apakah kita sebagai bangsa harus menerima mentah-mentah narasi resmi dari negara yang dituding melakukan pelanggaran HAM berat? Ataukah kita mampu memadukan hubungan baik dengan sikap kritis dan berani menyuarakan kebenaran?

Sebagaimana dikatakan Usman Hamid, “membela umat tertindas tidak harus dengan marah-marah, tapi harus dengan kejelasan sikap dan keberpihakan pada nilai-nilai universal: hak hidup, hak beribadah, dan hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang.”

Berita Terkait