Investor Tiongkok Biayai Pembangunan Bandara Bali Utara Dengan Skema Turnkey

adilnews | 7 July 2025, 11:20 am | 423 views

BALI, ADILNEWS.COM- Setelah hampir satu dekade mandek, megaproyek Bandara Internasional Bali Utara akhirnya memasuki tahap persiapan pembangunan. PT BIBU Panji Sakti memastikan proyek senilai Rp50 triliun tersebut akan segera dimulai, mencakup bukan hanya bandara, tetapi juga kawasan aerocity dan aerotropolis yang terintegrasi jaringan tol.

Menariknya, pembangunan infrastruktur raksasa ini diklaim sama sekali tidak menggunakan dana APBN. Dana sepenuhnya berasal dari investor asing, yakni perusahaan konstruksi besar China ChangYe Construction Group. Memorandum of Understanding (MoU) sudah diteken di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing sejak akhir 2024.

“Pendanaan tidak masalah, tidak gunakan APBN satu rupiah pun,” ujar Direktur Utama PT BIBU Panji Sakti, Erwanto Sad Adiatmoko.

Plus Minus Skema Turnkey
ChangYe Construction akan membangun proyek ini memakai pola pembayaran turnkey, yakni kontraktor menyelesaikan pembangunan terlebih dahulu dan baru menerima pembayaran penuh setelah proyek rampung. Erwanto menyebut nilai investasi yang disepakati mencapai sekitar USD 3 miliar atau Rp50 triliun, dengan target selesai pada 2027.

Skema turnkey memang populer di proyek besar karena dinilai meringankan beban arus kas pemilik proyek. Pengembang hanya menerbitkan surat perintah kerja dan mengawasi proses pembangunan, sementara seluruh pembiayaan di awal hingga akhir ditanggung kontraktor. Setelah proyek selesai, barulah pengembang membayar lunas.

Dari sisi teori, metode turnkey menguntungkan karena menghindarkan pemerintah dari beban pembayaran bertahap yang berpotensi macet. Namun di sisi lain, risiko terselubungnya juga besar.

Namun menurut laporan Center for Politics and Governance Studies Universitas Bakrie, investasi Tiongkok yang menggunakan turnkey project berpotensi membuka pintu dominasi kontraktor asing, termasuk soal tenaga kerja. “Skema ini menjadi salah satu pintu masuk tenaga kerja asal Tiongkok melalui proyek-proyek infrastruktur, yang ternyata menimbulkan permasalahan baru dalam pengaturan ketenagakerjaan di Indonesia,” tulis riset yang terbit di Asia Pacific Studies Volume II Nomor 2 tahun 2017.

Senada dengan itu, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirah, mengkritik metode turnkey sebagai jalan mulus bagi dominasi penuh investor Tiongkok. “Mereka kuasai semua: mesin, material, metode, pembiayaan, sampai tenaga kerjanya. Mereka tak peduli apakah pekerja asingnya punya keahlian atau tidak,” kata Mirah seperti dikutip Inilah.com (20 Februari 2023).

Mirah menyebut hal ini membuat kesempatan tenaga kerja lokal tersisih, padahal pembangunan bandara semestinya menjadi ladang penyerapan pekerja Indonesia.

Risiko lain yang harus diantisipasi adalah potensi pembengkakan biaya. Skema turnkey, di mana kontraktor memegang kendali penuh dari desain hingga eksekusi, rawan memunculkan perubahan spesifikasi di tengah jalan. Akibatnya, biaya proyek bisa melambung.

Publik tentu masih mengingat tragedi pembengkakan anggaran Kereta Cepat Jakarta–Bandung yang semula Rp66 triliun menjadi lebih dari Rp114 triliun. Meski tidak memakai skema turnkey, kasus itu mencerminkan lemahnya kontrol Indonesia dalam proyek dengan dominasi mitra Tiongkok.
“Bandara Bali Utara kompleks, ada reklamasi, kawasan penunjang, dan integrasi tol. Kalau tidak diawasi ketat, nilai proyek bisa meroket,” tutur kontraktor asal Bali yang tak mau disebut namanya.

Menurutnya, posisi Indonesia dalam turnkey memang terlihat “diuntungkan” di awal karena tidak perlu keluar modal, tetapi begitu jatuh tempo pembayaran, pemerintah atau pemilik proyek tetap harus menyiapkan sumber dana besar sekaligus. “Kalau tidak siap, ujungnya tetap berutang,” tambahnya.

Tantangan Berat Pengawasan
Kontrak turnkey biasanya memberikan keleluasaan kepada kontraktor asing mulai dari perencanaan, pemilihan material, hingga cara pembangunan. Hal ini berpotensi membuat kualitas proyek di luar kendali pengembang lokal.

Sumber di Asosiasi Kontraktor Indonesia mengingatkan bahwa kontrak turnkey harus diimbangi dengan pengawasan ketat sejak awal hingga commissioning. “Kalau tidak, kita hanya bisa pasrah, takut muncul biaya-biaya tak terduga, atau mutu bangunan di bawah standar,” ujarnya.
Pemerintah diharapkan menyiapkan tim pengawas independen agar praktik mark-up, overrun cost, atau penurunan mutu tidak terjadi.

Di luar aspek teknis turnkey, megaproyek Bandara Bali Utara juga menuai kritik dari anggota legislatif. Anggota Komisi VII DPR RI Bane Raja Manalu menilai pembangunan bandara di kawasan Buleleng berpotensi memperburuk kondisi overtourism di Bali, yang sudah padat wisatawan.
Badan Pusat Statistik mencatat wisatawan mancanegara ke Bali menembus 6,3 juta kunjungan pada 2024, naik dari 5,2 juta pada 2023.

“Ketika Bali sudah overtourism, sudah tidak sesuai dengan Tri Hita Karana, sampah dan kemacetan menjadi persoalan, lalu masalah sosial lainnya,” kata Bane dalam rapat Panja RUU Kepariwisataan di DPR, Maret lalu.

Ia mempertanyakan logika pembangunan bandara yang diarahkan untuk maskapai low cost carrier yang hanya akan membawa lebih banyak turis berbiaya rendah. “Turisnya tidak berkualitas, tidak berdampak signifikan ke ekonomi,” tegas politisi PDIP ini.

Bane juga menyoroti jumlah kendaraan bermotor di Bali yang sudah mencapai 4,7 juta unit pada 2022, padahal jumlah penduduknya hanya 4,3 juta jiwa. “Bali sudah jenuh infrastrukturnya,” katanya.

Bandara Internasional Bali Utara diharapkan mampu memecah dominasi Bandara Ngurah Rai, serta mendorong pemerataan pembangunan Bali Utara yang selama ini tertinggal. Namun berbagai pihak mendesak agar skema turnkey ini diawasi ketat agar tidak menjadi “kereta cepat jilid dua”.
Dengan nilai investasi Rp50 triliun dan pembayaran di akhir proyek, publik patut memastikan seluruh persyaratan teknis, hukum, dan lingkungan benar-benar terpenuhi.

Kalau tidak, bandara megah ini memang bisa berdiri, tetapi risiko jeratan utang, pembengkakan biaya, serbuan tenaga kerja asing, hingga kerusakan lingkungan dapat menghantui puluhan tahun ke depan.
Bandara Internasional Bali Utara harus menjadi instrumen pembangunan, bukan jebakan hutang yang menambah beban generasi mendatang.(Fadjar)

Berita Terkait