JAKARTA, ADILNEWS- Doctors Against Forced Ogan Harvesting (DAFOH) dan End Transplant Abuse In China mengeluarkan pernyataan bersama yang mengecam praktik rejim komunis Tiongkok dalam pengambilan organ paksa, serta menyerukan agar kejahatan tersebut segera diakhiri dan menerapkan rencana aksi antarpemerintah.
Pernyataan bersama itu disampaikan saat acara oertemuan para menteri luar negeri anggota G7 dengan mitra-mitra di kawasan Indo-Pasifik di Fiuggi, Italia pada 25-26 November 2024. Dalam Forum G7 itu, Indonesia juga turut hadir atas undangan Menlu Italia, yang juga mengundang negara di kawasan Indo Pasifik lainnya, seoerti Filipina, India, dan Korea Selatan.
Dalam kesempatan itu, DAFOH dan End Transplant Abuse In China mendesak Para Pemimpin G7+7 memberi informasi kepada warga negara dan melindungi mereka agar tidak terlibat dalam pengambilan organ secara paksa melalui transplantasi organ di China, atau dengan membantu dan mendukung pengambilan organ secara paksa melalui praktik medis, penelitian maupun pelatihan.
Mereka juga mendesak Para Pemimpin G7+7 untuk menghentikan setiap pertukaran dengan Tiongkok dalam praktik, riset dan pelatihan terkait transplantasi organ, hingga pemerintah Tiongkok dapat membuktian pengambilan organ tubuh dari mereka yang ditahan karena keyakinannya – telah sepenuhnya dihentikan. “Hal ini perlu diverifikasi oleh inspeksi independen tanpa pemberitahuan sebelumnya,’ tandas mereka dalam rilisnya yang diterima redaksi ADILNEWS pada awal Desember 2024.
Selain itu, Kedua organisasi masyarakat sipil ini berharap agar Para Pemimpin G7+7 mengadakan sidang parlemen tahunan terkait praktik pengambilan organ paksa di Tiongkok dan menyediakan laporan tahunan yang mencakup testimoni dari para saksi maupun pakar.
Tak hanya itu, mereka mendesak Para Pemimpin G7+7 segera memulai investigasi untuk meminta pertanggungjawaban atas tindakan apa pun yang bertentangan dengan Konvensi Genosida – yang diterapkan terhadap praktisi Falun Gong, Muslim Uighur dan lainnya di Tiongkok.
Perlu diketahui, d Tiongkok, praktik pengambilan organ secara paksa pada tubuh seseorang tanpa persetujuan, serta membunuh korban dalam prosesnya,
adalah direstui pemerintah setempat. “Pengambilan organ paksa telah mencapai skala industri besar selama 25 tahun terakhir. Ini merupakan kejahatan kemanusiaan yang paling
mengerikan di abad ke-21,” tandas mereka.
Pada 2019, China Tribunal, yang diketuai oleh Sir Geoffrey Nice KC, menyimpulkan bahwa pengambilan organ paksa telah dilakukan dalam skala besar selama bertahun-tahun di seluruh Tiongkok dan berlanjut hingga hari ini dan praktisi Falun Gong adalah kelompok korban utama.
Pengambilan organ paksa telah digambarkan sebagai genosida “berdarah dingin” terhadap Falun Gong, karena pemerintah Tiongkok telah menggunakan perampasan organ tubuh untuk secara perlahan dan pengecut – memusnahkan kelompok ini dan prinsip latihannya Sejati-Baik-Sabar, sementara mengumpulkan keuntungan sangat besar dari perdagangan organ tubuh di dalam prosesnya. Kurangnya tindakan dari komunitas internasional telah memungkinkan kejahatan ini terus berlanjut dan kini juga dilakukan terhadap populasi Muslim Uighur selama beberapa tahun terakhir.
Praktik medis tidak etis dan kriminal dari satu negara ini telah mengancam standar etika kedokteran seluruh dunia. Respon langsung dan tegas dari komunitas internasional sangat dibutuhkan untuk menghentikan kejahatan biadab ini. Oleh karena itu, mereka menyampaikan permintaan tersebut kepada para pemimpin negara G7+7.
Menanggapi desakan dari DAFOH dan End Transplant Abuse In China, Global Human Right Efforts (GHURE) meminta kepada pemerintah Indonesia yang juga hadir dalam Forum G7 tersebut untuk mempertimbangkan pernyataan mereka. “Sebagai suatu negara yang berdaulat dan sangat menghormati hak asasi manusia, sudah semestinya pemerintah RI bersikap atas kasus pengambilan organ paksa yang terjadi di China,’ tandas Fadjar Pratikto, Koordinator GHURE.
(Ony/ Jakarta)