Sulawesi Tengah Hanya Kebagian Kerusakan, Dana Bagi Hasil Nikel Tak Seimbang dengan Nilai Ekspor

adilnews | 6 October 2025, 07:33 am | 84 views

Oleh: Fadjar Pratikto

Polemik pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) sumber daya alam kembali mencuat. Persoalan ini disoroti tajam oleh anggota Komite IV DPD RI asal Sulawesi Tengah, Andhika Mayrizal Amir, dalam rapat bersama Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia pada 2 September 2025.

Andhika menilai formula DBH sektor pertambangan, khususnya nikel, sudah tidak relevan. Mekanisme perhitungan masih menggunakan basis ore mentah, padahal Sulawesi Tengah kini menjadi pusat industri hilirisasi nikel nasional—mulai dari feronikel, stainless steel, hingga bahan baku baterai kendaraan listrik.

“Formula lama menghambat nilai tambah bagi daerah. RAPBN 2026 harus sudah memakai formula berbasis produk hilir. Jika tidak, hilirisasi hanya jadi slogan tanpa memberi keadilan bagi daerah penghasil,” ujar putra mantan Wakil Gubernur Sulteng, Ma’mun Amir.

Andhika juga menyinggung aspirasi kepala daerah, termasuk dari Kabupaten Morowali Utara, yang mendesak pemerintah pusat segera mencairkan dana kurang bayar DBH periode 2021–2024. Dana tersebut sangat dibutuhkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dasar di daerah penghasil tambang.

Pusat Untung, Daerah Hancur
Kritik serupa pernah dilontarkan Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, yang menyoroti ketimpangan ekstrem antara nilai ekspor nikel dan pendapatan daerah. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR RI pada 29 April 2025, Anwar menyebut kontribusi industri smelter yang mencapai Rp570 triliun per tahun, namun DBH untuk provinsinya hanya sekitar Rp200 miliar.

“Negeri kami hancur-hancuran, Pak. Tambang di mana-mana, lingkungan rusak, sementara hasil yang kami terima sangat kecil. Pajak besar-besaran masuk ke pusat, NPWP pengusaha terdaftar di Jakarta, dan kami hanya kebagian kerusakan,” ungkap Anwar dengan nada kecewa.

Ia juga menyoroti kebijakan tax holiday dan tax allowance hingga 25 tahun bagi perusahaan smelter. “Cadangan nikel di Morowali tinggal sepuluh tahun. Setelah habis, apa yang tersisa untuk daerah?” tegasnya.

Provinsi Sulawesi Tengah memiliki potensi besar bijih nikel berkadar rendah (Ni ≤ 1,5%) yang menjadi bahan utama baterai kendaraan listrik. Salah satu daerah kaya nikel adalah Kabupaten Banggai, yang memiliki 21 perusahaan tambang dengan total luas Izin Usaha Pertambangan (IUP) mencapai 61.752 hektare.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga kini terdapat 113 izin tambang nikel aktif di Sulawesi Tengah dengan total area konsesi 259.848 hektare. Namun dari investasi besar-besaran tersebut, serapan tenaga kerja lokal masih minim—hanya 3.796 orang sepanjang 2020–2022, menurut data Kementerian Investasi.

Padahal, nilai investasi sektor pertambangan nikel di periode yang sama mencapai lebih dari Rp863 miliar. Ironisnya, pendapatan daerah dari DBH dan pajak tak sebanding dengan skala eksploitasi dan kerusakan yang ditimbulkan.

Dominasi Tiongkok & Hilangnya Kedaulatan Ekonomi Daerah
Temuan terbaru Transparency International Indonesia (TII) memperkuat gambaran timpang tersebut. Dalam laporan bertajuk “Risiko Korupsi dalam Industri Nikel Indonesia”, TII menyebut bahwa investasi Tiongkok menguasai sekitar 75% kapasitas peleburan nikel di Indonesia, dengan 116 proyek smelter yang sebagian besar berlokasi di Sulawesi Tengah dan kawasan sekitarnya.

“Dominasi ini menempatkan Tiongkok sebagai aktor kunci dalam rantai pasok nikel Indonesia, dari pemurnian hingga penyediaan bahan baku baterai kendaraan listrik global,” kata Gita Ayu Atikah, peneliti tambang TII.

Data TII menunjukkan, 98% ekspor nikel Indonesia mengalir ke Tiongkok, dengan nilai mencapai US$38 miliar pada 2024. Salah satu episentrum aktivitas industri tersebut adalah kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) seluas 5.500 hektare.

Kawasan ini dikuasai oleh Tsingshan Group asal Tiongkok melalui anak perusahaannya PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS). Perusahaan tersebut menjadi tulang punggung proyek hilirisasi nikel nasional dan terhubung langsung dengan rantai pasok global baterai kendaraan listrik.

Namun, di balik label “Proyek Strategis Nasional”, banyak pihak menilai keberadaan IMIP dan smelter asing serupa hanya memperkuat struktur ekonomi yang tidak adil. Keuntungan besar mengalir ke pusat dan investor, sementara daerah penghasil hanya menjadi tempat menanggung beban sosial dan ekologis.

Eksploitasi tambang nikel di Sulawesi Tengah telah meninggalkan jejak kerusakan yang masif. Hutan gundul, sedimentasi sungai, dan laut yang berubah keruh menjadi pemandangan umum di sekitar kawasan tambang. Para nelayan di Teluk Morowali mengeluh karena hasil tangkapan ikan terus menurun akibat pencemaran limbah tambang.

“Laut kami penuh lumpur merah dari tambang. Ikan makin sulit, kami sudah tak bisa lagi hidup dari laut,” ujar Yusuf, nelayan asal Desa Fatufia, Morowali.

Akademisi dari Universitas Tadulako mengingatkan, tanpa pengawasan lingkungan yang kuat, bencana ekologis besar bisa menimpa Sulawesi Tengah dalam satu dekade ke depan. Namun perizinan yang seluruhnya dikendalikan pemerintah pusat membuat pemerintah daerah hampir tidak memiliki ruang untuk menegakkan pengawasan.

Desakan Reformasi Formula DBH
Pemerintah daerah, anggota DPD, DPR, hingga masyarakat sipil kini mendesak agar pemerintah pusat segera melakukan reformasi total terhadap kebijakan Dana Bagi Hasil. Setidaknya, ada empat tuntutan utama:

1. Formula DBH harus berbasis hilirisasi nikel, bukan lagi ore mentah.
2. Transparansi pencairan DBH, termasuk pembayaran kurang bayar dari tahun-tahun sebelumnya.
3. Revisi kebijakan tax holiday dan tax allowance agar tidak hanya menguntungkan investor besar.
4. Peningkatan peran daerah dalam pengawasan lingkungan dan distribusi manfaat ekonomi.

“Kalau tidak segera diperbaiki, Sulawesi Tengah hanya akan jadi penonton di tanah sendiri. Sumber daya habis, lingkungan rusak, sementara kesejahteraan rakyat tidak terangkat,” kata seorang aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng.

Sulawesi Tengah sejatinya adalah tulang punggung industri nikel Indonesia, penyumbang utama bahan baku transisi energi hijau dunia. Namun realitas di lapangan menunjukkan ketimpangan yang mencolok: kekayaan alam disedot keluar negeri, sementara pendapatan daerah tak seberapa dan lingkungan hancur.

Dengan pembahasan RAPBN 2026 di depan mata, momentum ini menjadi ujian bagi pemerintah pusat. Mampukah negara memastikan keadilan fiskal bagi daerah penghasil sumber daya alam? Ataukah pola lama—di mana pusat dan investor asing diuntungkan sementara rakyat di daerah hanya menanggung kerusakan—akan terus berulang?

“Jika formula DBH tidak segera direvisi, hilirisasi hanya akan menjadi mitos. Daerah penghasil akan tetap miskin di atas tanah yang kaya,” ujar Andhika Amir menutup pernyataannya.

Berita Terkait