Pengaruh Tiongkok Makin Menguat di Asia Tenggara, ASEAN Hadapi Dilema Keseimbangan

adilnews | 2 October 2025, 01:30 am | 120 views

Oleh: Fadjar Pratikto

Dinamika geopolitik Asia Tenggara kian dipengaruhi oleh langkah ambisius Tiongkok di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping. Meski kerja sama ekonomi dan diplomasi dengan Beijing mendatangkan banyak keuntungan, para pengamat mengingatkan bahwa ketergantungan berlebihan justru dapat mengikis posisi strategis ASEAN di panggung global.

Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), Johanes Herlijanto, menilai strategi Tiongkok sudah berlangsung lama dan semakin agresif dalam satu dekade terakhir.

“Tiongkok berusaha memastikan tidak ada perkembangan di kawasan yang mengancam kepentingan nasionalnya. Karena itu mereka selalu hadir aktif dalam forum ASEAN,” ujarnya dalam seminar di Jakarta, Rabu (1/10/2025).

Menurut Johanes, sejak era Xi, pendekatan Tiongkok meluas dari bidang ekonomi, politik, hingga sosial-budaya. Tujuannya, memperkuat citra internasional sekaligus mengokohkan klaimnya di kawasan sensitif seperti Laut China Selatan (LCS) dan Selat Taiwan.

Kompleksitas ASEAN dan Risiko Fragmentasi

Penelitian FSI yang dipimpin Ratih Kabinawa menunjukkan bahwa Beijing kerap mendekati negara yang sedang menjabat ketua ASEAN. Posisi tersebut strategis karena bisa membentuk konsensus, menyusun agenda, bahkan menjadi penengah konflik.

Johanes mencontohkan peran Malaysia yang tahun ini sukses memediasi ketegangan Thailand-Kamboja. Keberhasilan itu, menurutnya, muncul karena Kuala Lumpur mampu menjaga keseimbangan: bersahabat dengan Beijing, tanpa mengabaikan hubungan dengan Washington.

“Jika ASEAN terlalu condong ke China, suara kita akan melemah. Misalnya, sulit bersikap tegas saat kapal penjaga pantai Tiongkok menekan Filipina,” tegas Johanes.

Pandangan berbeda disampaikan Broto Wardoyo, akademisi Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Menurutnya, Beijing tidak bisa serta merta memaksa ASEAN mengambil sikap bulat.
“Keragaman kepentingan negara anggota membuat strategi paling realistis bagi China adalah menjaga status quo,” ujarnya.

Ia menambahkan, pandangan elit politik dan masyarakat sering kali tidak sama. Survei menunjukkan sekitar 70% elit Indonesia lebih condong ke China dibanding AS. “Tapi itu tidak selalu mencerminkan opini publik luas,” kata Broto.

Dari sisi ekonomi, keuntungan jelas terlihat. Eva Kurniati Situmorang, diplomat Kementerian Luar Negeri RI, menekankan bahwa China adalah mitra dagang terbesar ASEAN dan Indonesia. Program Belt and Road Initiative (BRI) serta rencana CAFTA 3.0 dinilai membuka pasar ekspor yang luas.

Namun, ia juga mengingatkan bahaya fragmentasi internal. “Jika pengaruh China masuk terlalu dalam, ASEAN bisa pecah dari dalam. Karena tiap negara akan mengikuti kepentingan masing-masing,” jelas Eva.

Menurutnya, jalan keluar terbaik adalah bersikap pragmatis: mempererat hubungan dengan Beijing, tetapi tetap membangun kedekatan dengan kekuatan global lain. “Kuncinya menjaga sentralitas ASEAN. Jangan sampai kawasan ini kehilangan suara kolektif,” tegasnya.

Tantangan di Laut China Selatan & Menjaga Keseimbangan

Profesor Ilmu Politik dari National University of Singapore (NUS), Ian Chong, mengingatkan bahwa ASEAN kini berhadapan dengan Tiongkok yang jauh lebih ambisius dibanding dua dekade lalu.
“Karena faktor geografis, ASEAN tidak bisa menghindari hubungan dengan China. Tapi masalah pelik tetap ada, terutama Laut China Selatan,” jelasnya.

Ia pesimistis kode etik kawasan bisa segera disepakati. “Salah satu hambatannya, China tidak mengakui putusan arbitrase internasional 2016. Padahal mereka penandatangan UNCLOS. Ini menyulitkan ASEAN yang butuh kepastian hukum,” tegas Ian.

Meski pandangan para ahli beragam, ada benang merah: pengaruh Tiongkok tidak mungkin dihindari. Namun, terlalu dekat dengan Beijing bisa membatasi ruang gerak ASEAN.

Johanes menekankan pentingnya meniru sikap Malaysia yang seimbang dalam merangkul China sekaligus AS. Eva menambahkan, strategi itu sejalan dengan politik luar negeri bebas-aktif Indonesia. Sementara Broto menegaskan bahwa kerumitan internal ASEAN justru bisa menjadi senjata pertahanan dari tekanan eksternal.

“Yang paling penting, ASEAN tidak kehilangan sentralitasnya. Jika terpecah, pihak luar yang akan diuntungkan,” kata Eva.

Ian Chong pun menutup dengan peringatan: “China kini lebih kuat dan ambisius. Tetapi ASEAN punya modal: solidaritas, kedekatan geografis, dan posisi strategis. Itulah yang harus dijaga agar tidak hanya menjadi perpanjangan tangan kekuatan besar.”

Berita Terkait