Tiongkok Semakin Kuat Mencengkram Tanah Air Berdasarkan Indeks Provinsi China–Indonesia 2025

adilnews | 30 September 2025, 08:45 am | 11 views

Oleh: Fadjar Pratikto

Tanpa banyak disadari, Tiongkok telah hadir di hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia, mulai dari ekonomi, sosial, politik, hingga pendidikan. Temuan ini terungkap dalam laporan terbaru Indeks Provinsi Tiongkok–Indonesia 2025 yang dirilis oleh Center of Economic and Law Studies (Celios) pada 10 September 2025 di Jakarta.

Penelitian yang berlangsung selama satu tahun penuh, sejak 1 Agustus 2024 hingga 1 Agustus 2025, memetakan jejak pengaruh Tiongkok di berbagai provinsi dan sektor. Hasilnya memperlihatkan bagaimana kehadiran Beijing tidak lagi hanya berpusat di proyek-proyek nasional di Jakarta, melainkan telah menembus hingga ke daerah, bahkan ke ruang-ruang sosial masyarakat.

“Hubungan Indonesia–Tiongkok kini tidak lagi sebatas kesepakatan besar di tingkat pusat. Dari tambang nikel di timur hingga kelas bahasa Mandarin di Jawa, pengaruh Tiongkok semakin nyata dalam keseharian,” kata Muhammad Zulfikar Rakhmat, Direktur Desk China-Indonesia Celios, saat peluncuran laporan ini.

Ekonomi Jadi Pintu Utama
Celios mencatat, ekonomi merupakan domain terkuat kehadiran Tiongkok di Indonesia dengan skor pengaruh mencapai 41,2 persen. Sektor ini mencakup perdagangan, investasi, dan pembangunan infrastruktur.

Provinsi Sumatra Utara menjadi wilayah dengan aktivitas ekonomi Tiongkok paling menonjol, mencapai 83,3 persen. Lalu disusul Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Kalimantan Timur yang sama-sama menjadi basis penting investasi Beijing, khususnya di sektor pertambangan dan energi. Sebaliknya, Sumatra Barat dan Papua Pegunungan tercatat nol aktivitas ekonomi Tiongkok.

Fenomena ini sekaligus menegaskan tren strategi Beijing dalam mengincar provinsi-provinsi kaya sumber daya alam. Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara kini berkembang sebagai pusat pengolahan nikel, sementara Bengkulu dan Sumatra Selatan menjadi target ekspansi proyek energi. Kalimantan Timur pun menonjol dengan kehadiran kawasan industri berbasis investasi Tiongkok.

“Ekonomi adalah pintu masuk utama bagi Tiongkok. Dari situ, mereka memperluas jejaring ke bidang sosial, politik, hingga akademik,” ujar Zulfikar.

Setelah ekonomi, hubungan sosial menempati posisi kedua dengan skor 22,1 persen. Celios menemukan interaksi ini tumbuh lewat jaringan diaspora, festival budaya, dan pertukaran pelajar.

Provinsi Bali menjadi episentrum keterhubungan sosial dengan tingkat pengaruh 50 persen, didorong oleh kehadiran komunitas diaspora dan aktivitas pariwisata internasional. Sumatra Utara (44,4 persen) dan Jakarta (38,9 persen) juga tercatat kuat sebagai simpul interaksi budaya dengan Tiongkok.

Bagi Celios, indikator ini mencerminkan bagaimana interaksi sehari-hari mulai membentuk persepsi masyarakat terhadap Beijing. “Tiongkok tidak hanya hadir dalam bentuk investasi, tetapi juga dalam acara budaya, pendidikan bahasa, bahkan jejaring komunitas lokal,” jelas Zulfikar.

Dari Politik Lokal hingga Akademik
Salah satu temuan penting lainnya dalam laporan ini adalah pengaruh Tiongkok dalam politik lokal, dengan skor 12,7 persen. Sumatra Utara mencatat angka tertinggi, 40 persen, sementara Jawa Tengah mengikuti dengan 32,5 persen.

Celios menyebut, pengaruh ini terlihat dari adanya perjanjian resmi, kunjungan sosial, hingga kerja sama antara pemerintah provinsi dan aktor politik lokal dengan mitra Tiongkok. Di beberapa daerah, hubungan ini bahkan masuk ke ranah simbolik, seperti penandatanganan nota kesepahaman atau kunjungan delegasi resmi.

Meski angka ini belum sebesar pengaruh ekonomi, kecenderungan keterlibatan politik lokal memperlihatkan bahwa Tiongkok mulai membangun akar jejaring jangka panjang di tingkat daerah.

Ranah akademik juga tidak kalah menonjol, mencatat skor 12,7 persen. Pengaruh Tiongkok tercermin dalam program beasiswa, kemitraan kampus, dan jaringan penelitian.

Sumatra Utara dan Jawa Timur menjadi wilayah dengan pengaruh akademik tertinggi, masing-masing 40,9 persen, disusul Jawa Barat (34,1 persen), Bali (31,8 persen), dan Yogyakarta (29,6 persen). Kehadiran lembaga seperti Confucius Institute memperkuat diplomasi pendidikan ini.

“Strategi Beijing sangat sistematis. Mereka mengirim beasiswa, membuka kerja sama penelitian, sekaligus membangun kedekatan generasi muda Indonesia dengan kebudayaan Tiongkok,” papar Zulfikar.

Meski lebih kecil, Tiongkok juga hadir di bidang teknologi dengan skor 7,4 persen. Provinsi Lampung (39,3 persen), Jawa Barat (32,1 persen), dan Sulawesi Utara (28,6 persen) menjadi yang paling terlibat dalam kerja sama teknologi.

Bidang kebijakan luar negeri subnasional tercatat hanya 3,6 persen, dengan Jawa Tengah mendominasi (25 persen), disusul Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Bali masing-masing 20 persen.

Adapun pengaruh Tiongkok di ranah media hampir tak terukur, hanya 0,7 persen, dengan Sumatra Barat mencatatkan angka relatif tinggi (13,6 persen).

Meski dominan di provinsi kaya sumber daya dan wilayah barat–tengah Indonesia, pengaruh Tiongkok relatif kecil di Kalimantan, Maluku, dan Papua. “Provinsi di Papua menunjukkan kehadiran Tiongkok yang sangat kecil atau bahkan tidak terukur,” kata Zulfikar.

Namun, di sisi lain, dominasi Tiongkok justru sangat kuat di Sumatra Utara, Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi. Pemetaan ini memperlihatkan strategi Beijing yang fokus pada provinsi-provinsi dengan potensi ekonomi besar serta akses politik dan sosial yang strategis.

Dampak dan KontroversiIndeks Provinsi Tiongkok–Indonesia 2025 merupakan edisi kedua setelah penelitian perdana tahun lalu. Jika pada awalnya pengaruh Beijing lebih terlihat di proyek-proyek strategis nasional, kini laporan ini menegaskan bahwa Tiongkok sudah masuk ke hampir semua lapisan: dari tambang nikel hingga kelas bahasa, dari MoU politik hingga festival budaya.

Kehadiran Tiongkok di berbagai sendi kehidupan Indonesia membawa peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, investasi Beijing mendukung pembangunan infrastruktur, industrialisasi, dan pendidikan. Namun, di sisi lain, muncul pula kekhawatiran soal kedaulatan, ketergantungan ekonomi, migrasi tenaga kerja, dan isu lingkungan.

Bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan agenda nasionalisme dan kedaulatan, tarik-menarik antara kebutuhan investasi asing dan kepentingan domestik diperkirakan semakin kuat. “Agenda nasionalis Prabowo akan membuat debat tentang seberapa jauh kita harus bergantung pada Tiongkok semakin intens,” ujar Zulfikar.

Tanpa kita sadari, lanjut Zulfikar, Tiongkok kini hadir di ekonomi, politik, akademik, hingga kehidupan sosial sehari-hari masyarakat Indonesia. Ini adalah dinamika baru hubungan bilateral yang tidak bisa hanya dipandang dari Jakarta, tetapi harus dilihat dari daerah.

Laporan Celios ini pun menjadi peringatan sekaligus bahan refleksi: bagaimana Indonesia dapat mengelola peluang pembangunan dari Tiongkok tanpa mengorbankan kedaulatan, keseimbangan lingkungan, dan independensi ekonomi-politik.

Berita Terkait