Refleksi 26 Tahun Penganiayaan Hati Nurani

adilnews | 16 July 2025, 16:34 pm | 236 views

Oleh: Fadjar Pratikto

20 Juli 1999, menjadi tanggal yang tak terlupakan dalam sejarah kemanusiaan. Di balik propaganda kemajuan ekonomi dan stabilitas yang digaungkan Partai Komunis Tiongkok (PKT), sebuah tirani dimulai—diam, brutal, dan sistematis. Pada hari itulah, rezim Beijing memulai penganiayaan besar-besaran terhadap para praktisi Falun Gong (Falun Dafa), sebuah latihan kultiivasi jiwa dsn raga yang telah menarik puluhan juta orang di Tiongkok karena ajaran moralnya yang sederhana namun dalam: Sejati, Baik, dan Sabar.

Apa yang terjadi sejak hari itu adalah tragedi kemanusiaan yang belum banyak disadari oleh dunia. Bukan hanya pelarangan dan pemusnahan buku-buku spiritual seperti Zhuan Falun, tetapi juga perburuan terhadap tubuh dan jiwa para kultivator. Penangkapan massal, penyiksaan brutal, pemerkosaan, pemenjaraan tanpa proses hukum, hingga pembunuhan terjadi dalam senyap. Tapi dari semua bentuk kebengisan itu, satu hal menjadi noda paling gelap dalam sejarah umat manusia modern: pengambilan organ secara hidup-hidup dari para tahanan hati nurani.

Luka yang Terus Menganga
Ambisi Jiang Zemin untuk menghancurkan Falun Gong dalam waktu singkat ternyata tak bisa diwujudkan. Keteguhan hati para pengikutnya yang mempertahankan prinsip kayakinan lurus membuat rejim komunis kewalahan, Kejahatan PKT semakin menggila mengerakan semua aparatur negara untuk menganiaya dan menghabiskan banyak anggaran negara.

Lebih dari 5.000 kematian telah terverifikasi. Tapi banyak pihak percaya bahwa jumlah sebenarnya jauh lebih besar. Banyak korban yang hilang begitu saja, lenyap tanpa jejak dalam sistem kamp kerja paksa dan rumah sakit militer yang dijadikan lokasi pembantaian sunyi.

Laporan investigasi dari organisasi internasional seperti International Coalition to End Transplant Abuse in China (ETAC), Amnesty International, serta pengumgkapan David Matas, David Kilgour, dan Ethan Gutmann, membongkar praktik sistematis pengambilan organ paksa ini.

Mereka menmbuktikan bahwa organ para praktisi Falun Gong—karena gaya hidup mereka yang sehat dan tidak merokok atau minum alkohol—dijadikan komoditas bernilai tinggi dalam industri transplantasi organ yang dikendalikan negara.

Bayangkan sejenak: seseorang ditangkap karena keyakinannya. Ia dipenjara, disiksa, lalu diambil ginjal, hati, dan jantungnya dalam keadaan hidup, tanpa anestesi cukup. Tubuhnya dibuang, seperti sampah. Dan semua itu—berlangsung di abad ke-21, ketika dunia mengklaim telah maju dalam hak asasi dan kemanusiaan.

Yang lebih memilukan, banyak orang di dunia—termasuk mereka yang hidup di negara demokratis—masih sulit percaya bahwa hal seperti ini benar-benar terjadi. “Terlalu kejam untuk menjadi nyata,” kata sebagian. Tapi para penyintas telah bicara. Dokumen, rekaman, dan investigasi telah terbit. Bahkan sejumlah parlemen dunia telah mengeluarkan resolusi mengecam kekejaman itu.

Namun ketidakpercayaan masih membelenggu kesadaran banyak pihak. Ketika media-media besar abai, ketika pemerintah takut menyinggung raksasa ekonomi seperti Tiongkok, maka yang terjadi adalah pembiaran. Diam. Dan diam, dalam kasus ini, adalah bentuk lain dari persetujuan. Intervensi dari PKT membuat banyak pemimpin negara yang takut utang dan investasinya tak berlanjut.

Penganiayaan Transnasional
Yang membuat luka ini semakin menganga adalah fakta bahwa penganiayaan ini tak lagi hanya terjadi di Tiongkok. Ia telah menyeberang batas, menjelma menjadi represi transnasional.

Di Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia—dan bahkan di negara-negara Asia Tenggara—para praktisi Falun Gong menghadapi sabotase, teror digital, dan kampanye disinformasi yang terorganisir. Shen Yun Performing Arts, grup seni ternama yang didirikan oleh praktisi Falun Gong, telah berkali-kali menerima ancaman bom dan boikot, dengan indikasi kuat bahwa semua itu dikoordinasi oleh rezim Beijing.

PKT menggunakan kedutaan besar, konsulat, agen intelijen, bahkan media sosial dan media arus utama untuk menyebarkan narasi keliru tentang Falun Gong. Tujuannya jelas: membungkam suara-suara yang masih berani bicara tentang kebenaran. Ini adalah bentuk baru penindasan: perang tanpa senjata, tapi mematikan secara moral dan sosial.

Mengapa PKT begitu takut terhadap Falun Gong? Jawabannya sederhana namun dalam: iman yang tak bisa dikendalikan. Falun Gong tidak berpolitik, tidak punya partai, tidak bersenjata. Tapi mereka punya sesuatu yang ditakuti tirani: keberanian untuk mengikuti hati nurani dan bertahan di tengah penyiksaan.

Ketika satu rezim merasa terancam oleh latihan meditasi dan ajaran moral, maka bukan ajarannya yang radikal, melainkan kekuasaan itu sendiri yang rapuh.

Kini, 26 tahun telah berlalu. Luka itu belum sembuh. Tangisan keluarga korban belum reda. Banyak anak tumbuh tanpa orang tua yang direnggut oleh negara karena keyakinannya. Banyak ibu masih menunggu kabar dari putra-putri mereka yang hilang dalam malam penangkapan. Banyak penyintas masih dihantui mimpi buruk dari ruang-ruang penyiksaan dan bunyi rantai.

Apa yang bisa kita lakukan?
Kita tidak perlu menjadi aktivis untuk membela kebenaran. Kita hanya perlu menjadi manusia yang masih memiliki hati nurani. Hati yang tak bisu saat melihat kejahatan, dan mulut yang tak bungkam ketika menyaksikan ketidakadilan.

Kita bisa menyebarkan informasi yang benar. Kita bisa mendukung petisi internasional yang menyerukan sanksi terhadap pelaku penganiayaan. Kita bisa mengedukasi masyarakat sekitar. Kita bisa berdiri bersama korban dan penyintas—dalam solidaritas

Setiap abad punya tragedinya. Abad 20 menyaksikan Holocaust, genosida Armenia, pembantaian Rwanda. Kini, di abad 21, dunia sedang menyaksikan—dan sebagian membiarkan—penganiayaan terhadap Falun Gong.
Jangan sampai anak cucu kita bertanya nanti, “Di mana kamu ketika hal itu terjadi?” Dan kita hanya bisa menjawab, “Aku tahu… tapi aku tidak berbuat apa-apa.”

Mari kita ubah jawaban itu mulai hari ini. Mari berdiri, bersuara, dan berkata: Cukup sudah. Penganiayaa harus segera dihentikan.
Karena sejatinya, membela Falun Gong bukan hanya soal membela sebuah keyakinan spiritual. Tapi membela hak setiap manusia untuk hidup dengan damai, bermartabat, dan bebas dari ketakutan.

“Ketika ketidakadilan menjadi hukum, maka perlawanan menjadi kewajiban moral.” Kata-kata yang abadi, dan tak pernah lebih relevan dari sekarang.

Berita Terkait