
JAKARTA, ADILNEWS.COM- Kerusakan Ekosistem lingkungan di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya sedang viral di media sosial. Warganet ramai-ramai membagikan unggahan yang menyoroti kondisi lingkungan di Raja Ampat akibat aktivitas tambang nikel dengan menggunakan tagar #SaveRajaAmpat. Alhasil pemerintah memutuskan empat perusahaan tambang dicabut ijinnya.
Viralnya isu tersebut tak lepas dari protes aktivis Greenpeace Indonesia saat Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno memberikan sambutan dalam “Indonesia Critical Minerals Conference & Expo 2025” di Jakarta pada 3 Juni 2025 yang berujung pada pengusiran. Saat itu tiga aktivis bersama seorang perempuan asli asal Papua membentangkan spanduk suarakan dampak buruk aktivitas tambang nikel di Raja Ampat terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat.
Keterlibatan Modal Asing
Belum lama ini, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup mengawasi kegiatan tambang nikel di wilayah Raja Ampat pada 26-31 Mei 2025. Objek pengawasan mencakup empat perusahaan tambang nikel yakni PT Gag Nikel (PT GN), PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM) dan PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP).
PT Gag Nikel (PT GN) adalah perusahaan pemegang kontrak karya sejak 1998. Beroperasi di Pulau Gag dengan luas konsesi 13.136 hektare, mencakup hampir seluruh daratan dan perairan pulau tersebut. Mendapat izin produksi pada 2017, lalu mulai berproduksi pada 2018.
Awalnya, saham PT Gag Nikel dimiliki oleh Asia Pacific Nickel Pty Ltd (Australia) sebesar 75 persen dan PT Aneka Tambang Tbk (Antam) 25 persen. Namun, sejak 2008, Antam mengakuisisi semua saham sehingga PT GN sepenuhnya dikendalikan oleh Antam.
Belakangan PT Antam telah mengakuisisi 30% saham PT Jiu Long Metal Industry, anak perusahaan dari Eternal Tsingshan Group asal Tiongkok pada awal Oktober 2024. Tak tanggung-tanggung, Gag Nikel harus merogoh kocek sebesar US$102,5 juta atau setara Rp1,6 triliun untuk mengakuisisi perusahaan asal Negeri Tirai Bambu itu.
Perusahaan Jiu Long Metal Industry (JLMI) ini mengoperasikan smelter nikel di Pulau Gag, Raja Ampat. Akuisisi PT JLMI oleh PT Antam lewat anak usahanya, PT GN, jadi langkah awal untuk memenuhi kewajiban hilirisasi yang ditetapkan pemerintah.
PT JLMI juga memiliki fasilitas pemurnian di Weda, HalmaheraTengah, Maluku Utara. Fasilitas itu berkapasitas produksi Nickel Pig Iron (NPI) sebanyak 28 ribu ton per tahun. JLMI tak hanya mengolah bijih nikel menjadi NPI, tetapi juga menjadi Nickel Matte. Adapun PT GN menjadi supplier bijih nikel untuk fasilitas pemurnian milik JLMI. Tshingsan melalui JLMI pun bisa mendapat kepastian bijih nikel untuk fasilitas pemurniannya.
Sedangkan PT Anugerah Surya Pratama merupakan perusahaan tambang nikel dengan investasi dari Tiongkok. Di Indonesia, induk dari PT ASP adalah PT Wanxiang Nickel Indonesia. Perusahaan peleburan feronikel ini menguasai areal seluas 9.365 hektare di Kepulauan Waigeo dan 1.167 hektare di Pulau Manuram. ASP mulai beraktivitas sejak 2010.
PT Wanxiang Nickel Indonesia juga merupakan salah satu perusahaan Tiingkok yang beroperasi di Morowali. Kepemilikan saham PT WNI dikaitkan dengan raksasa tambang Tiongkok, Vansun Group. Dengan fasilitas smelter di Morowali, sejak 2023 perusahaan ini telah mengolah 3,5 juta ton bijih nikel dengan kapasitas produksi 351 ribu ton feronikel (FeNi).
Adapun PT Kawei Sejahtera Mining adalah perusahaan tambang nikel dengan IUP seluas 5.922 hektare di Pulau Kawei, Distrik Waigeo Barat. Beroperasi sejak 2013 dan mendapat izin hingga 2033. Perusahaan ini dimiliki sepenuhnya (100%) oleh WNI Hamzah Hendrawan dengan Direktur Utama Freddy Numberi. Produksi KSM sebagian besar dikirim ke Tiongkok.
Terakhir, PT Mulia Raymond Perkasa mendapatkan IUP seluas 2.194 hektare di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele. Perusahaan ini mulai survei dan ambil sampel sejak September 2024. Hingga saat ini, belum ada informasi publik tentang perusahaan ini ermasuk keterkaitannya dengan investor dari luar.
Empat Perusahaan Dicabut Ijinnya
Pemerintah akhirnya mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat. Keputusan tersebut diumumkan oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dalam konferensi pers secara daring pada 10 Juni 2025. Pencabutan izin itu merupakan hasil evaluasi menyeluruh yang melibatkan sejumlah kementerian terkait, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet.
“Presiden memimpin langsung rapat terbatas yang membahas persoalan izin tambang di Raja Ampat. Atas arahan beliau, pemerintah memutuskan mencabut izin usaha pertambangan empat perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut,” ujar Prasetyo. Ia mengklaim kebijakan ini bukan reaksi terhadap sorotan publik terkait dengan perluasan tambang nikel di Raja Ampat. Jauh sebelum ramai-ramai tambang nikel ini, kata Prasetyo, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden tentang penertiban kawasan hutan yang mencakup seluruh kegiatan berbasis sumber daya alam, termasuk sektor pertambangan.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan empat IUP yang dicabut yaitu milik PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa dan PT Nurham. Adapun izin PT Gag Nikel yang berada di Pulau Gag tidak dicabut dan dibiarkan beroperasi. Bahlil mengatakan keputusan ini diambil setelah pihaknya mengecek langsung kondisi di lapangan. Hanya PT Gag Nikel yang memperoleh Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun 2025. Sementara empat perusahaan lainnya tidak mengajukan.
Keputusan mempertahankan ijin PT Geg Nikel tentu saja menimbulkan tanda tanya besar, sebab sebelumnya Menteri ESDM telah menghentikan sementara aktivitas tambang nikel PT Gag pada 5 Juni 2025 dengan alasan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun Bahlil merevisi, “Pulau Gag itu juga tidak berada di dalam kawasan Geopark Raja Ampat. Letaknya sekitar 42 km dari Piaynemo, pusat kawasan wisata utama, dan secara geografis lebih dekat ke Maluku Utara”.
Sedangkan keempat perusahaan yang izinnya dicabut dinilai memiliki sejumlah persoalan, termasuk pelanggaran lingkungan dan legalitas yang tak sesuai. PT ASP diketahui melakukan kegiatan pertambangan di Pulau Manuran tanpa sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengelolaan air limbah larian. Di lokasi ini, KLH/BPLH memasang plang peringatan sebagai bentuk penghentian aktivitas.
Kasus kerusakan lingkungan di Raja Ampat bagaimanapun menunjukan lemahnya pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan tambang, termasuk yang didanai oleh investor asing, khususnya dari Tiongkok. Anggota Komisi VII DPR RI, Desy Natalia, meminta agar pemerintah mengevaluasi ulang kerja sama investasi tambang yang mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan hak masyarakat lokal.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Iqbal Damanik mengkritisi keputusan pemerintah, Alasan operasi perusahaan dipertahankan karena lokasi tambang cukup jauh dari wisata Raja Ampat dianggap tidak tepat. Aturan resmi melarang adanya pertambangan di pulau-pulau kecil. Di sisi lain, Iqbal mengungkapkan deforestasi di Raja Ampat mencapai 500 haktare.
“Ini angka yang besar lho untuk pulau-pulau kecil. Dan 500 hektare ini besar. (Sebanyak) 300 hektare sendiri itu (deforestasi) ada di Pulau Gag,” ungkap Iqbal seperti dikutip KompasTV.
Masyarakat adat dan nelayan yang terdampak di Raja Ampat juga mulai menggalang dukungan hukum. Lembaga Bantuan Hukum Papua Barat dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mendampingi warga untuk mengajukan gugatan perdata atas kerusakan lingkungan dan hilangnya penghidupan.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah dan dunia industri bahwa pertumbuhan ekonomi tidak boleh berjalan dengan mengorbankan alam dan masyarakat lokal. Wilayah Raja Ampat, yang dikenal sebagai salah satu surga keanekaragaman hayati laut dunia, harus diselamatkan dari kerakusan investasi yang tak bertanggung jawab.****