
JAKARTA, ADILNEWS.COM- Isu penyalahgunaan Fentanil kembali menjadi perhatian dunia setelah Amerika Serikat dilanda krisis Fentanil pada tahun 2025 ini
Tahun lalu, Badan Narkotika Nasional (BNN) RI menemukan laboratorium narkoba di Payangan, Gianyar, Bali pada 22 Juni 2024. Waktu itu Kepala Biro Humas dan Protokol BNN RI Brigadir Jenderal Polisi Sulistyo Pudjo Hartono di Denpasar menyebut clandestine laboratory berisi narkotika Golongan 1 dimethyltryptamine (DMT), fentanyl dan macam-macam. Laboratorium narkoba rahasia itu dikendalikan oleh warna negara asing dan WNI sebagai operator.
Namun, dua hari kemudian, BNN meralat penemuannya mengenai dugaan Fentanyl turut diproduksi dalam pabrik gelap narkotika di Gianyar tersebut. Setelah dilakukan analisis lebih lanjut oleh bagian laboratorium BNN RI, rupanya narkoba zombie itu dinyatakan tidak terkonfirmasi. Hal ini dipastikan bagian Lab BNN melalui Direktur Psikotropika dan Prekursor Deputi Bidang Pemberantasan BNN, Brigjen Pol Aldrin Marihot Pandapotan Hutabarat, SH, MSi di TKP.
“Untuk Fentanyl dari hasil penelitian analisa lebih lanjut, bahwa bahan itu tidak terkonfirmasi, kemungkinan campuran eskstraksi beberapa regent, kami pastikan tidak ada bahan Fentanyl,” ungkap Aldrin.
Adakah Kasus Fentanil?
Banyak kalangan yang mengkuatirkan keberadaan fentanil dalam peredaran narkoba di Indonesia. Efeknya yang menyeramkan yakni berprilaku seperti Zombie alias mayat hidup seperti yang digambarkan oleh para pecandu fentanil di Amerika Serikat, membuat masyarakat cemas.
Dua tahun lalu, Wakil Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Kombes Jayadi memastikan fentanil belum terdeteksi di Indonesia. Lebih lanjut, Jayadi menjelaskan dalam narkoba jenis Flakka terdapat kandungan fentanil.
“Flakka itu di dalamnya kandungannya ada fentanil. Fentanil itu merupakan narkotika, di Amerika lagi booming, pertanyaannya apakah di Indonesia sudah mewabah atau sudah masuk ke Indonesia? Sampai dengan hari ini, sampai dengan saat ini kita belum menemukan,” kata Jayadi kepada wartawan di gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan pada 29 Mei 2023 lalu.
Namun dua bulan kemudian, BNN menyatakan bahwa fentanil sudah terdeteksi masuk ke Indonesia. Korbannya sudah mendapat rehabilitasi. “Seperti fentanil yang ada di USA itu sudah terdeteksi ada walaupun belum seperti di sana, yang diracik oleh organize crime. (Korban) sudah direhab di lembaga atau tempat rehabilitasi BNN RI,” tandas Komjen Petrus Reinhard Golose, Kepala BNN di Kuta, Kabupaten Badung, Bali pada 25 Juli 2023.
Ada dua jenis fentanil yang beredar di dunia. Pertama adalah fentanil yang dikeluarkan oleh perusahaan farmasi untuk pengobatan serta jenis kedua adalah yang diracik oleh organisasi kriminal dunia yang diedarkan secara ilegal. Berdasar catatan BNN, saat ini telah masuk 91 new psychoactive substances (NPS) alias zat mengandung narkotika jenis baru, satu di antaranya adalah fentanil.
Sebenarnya Fentanil adalah obat opioid sintetik ampuh yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA).
Fentanil biasanya digunakan sebagai analgesik (pereda nyeri) dan anestesi. Fentanil kira-kira 100 kali lebih kuat dari morfin dan 50 kali lebih kuat dari heroin sebagai analgesik. Di Indonesia, fentanil masuk narkotika jenis baru, dan penggunaannya di atur dalam Permenkes Nomor 4 Tahun 2021.
Berdasarkan penjelasan BNN, narkoba jenis baru NPS yaitu Fentanyl, efeknya lebih berbahaya dari heroin. Pasalnya, efek yang ditimbulkan dari narkoba jenis tersebut lebih dari 50 kali lipat dan sangat mematikan. “Fentanyl ini dikenal sebagai Zombie Drug. Kalau sudah pakai ini sudah kayak Zombie orangnya,” ujar Koordinator Kelompok Ahli BNN, Komjen Pol (Purn) Ahwil Luthan seperti dikutip Pro 3 RRI pada 27 Juli 2023.
Menurut Ahwil, BNN telah menelesuri keberadaan narkoba jenis baru tersebut. Bahkan, laboratorium BNN juga sudah mendeteksi narkoba Fentanyl ini. “Dengan adanya pertukaran informasi di seluruh dunia ini, semua lab kita siap untuk bertukar informasi dan melaksanakan pemeriksaan,” ujarnya.
Sebelumnya, kata Ahwil, narkotika jenis baru ini belum termasuk dalam dua konvensi PBB tahun 1961 mengenai Narkotika dan Konvensi PBB tahun 1971 tentang Psikotropika. “Jadi ini belum termasuk, sehingga kalau belum termasuk di undang-undang biasanya jadi masalah untuk penegakan hukumnya,” tuturnya. Hal itu karena undang-undang di Indonesia mengenal Pasal 1 ayat 1 KUHP, di mana seorang tidak boleh dihukum apabila belum ada UU yang mengatur.
Namun, menurut Ahwil, pihaknya bertindak cepat terkait dengan keberadaan NPS ini. BNN sudah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan terkait 91 jenis NPS. Sebab sesuai Permenkes No 4 Tahun 2021, Fentanyl masuk dalam Narkotika golongan 1. “Bila regulasi sudah mengatur demikian, maka perlu ada langkah bersama semua pihak untuk mencegah hal tersebut masuk Indonesia,” ujar Ahwil.
Bisa jadi kasus konsumsi fentanil di Indonesia baru pada taraf penyimpangan penggunaan fentanil yang sebenarnya untuk pengobatan medis. Namun pemerintah juga mesti mewaspadai peredaran jenis narkotika baru ini di Tanah Air mengingat Indonesia sudah menjadi bagian dari jaringan peredaran narkoba internasional, khususnya yang berasal dari Tiongkok.
Ingat empat tahun lalu, Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta berhasil menggagalkan usaha penyelundupan 152 kilogram narkotika jenis ganja sintetis dan tembakau gorila asal Tiongkok. “Rinciannya dua kilogram ganja sintetis dan 150 kilogram tembakau gorila. Termasuk temuan paling besar sepanjang tahun 2020 untuk tembakau gorila,” ujar Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe C Bandara Soekarno-Hatta Finari Manan dalam keterangan tertulis pada 2 Desember 2020.
Kalau jaringan Tiongkok bisa menyelundupkan narkotika jenis ganja sintetis dan tembakau gorila ke Indonesia, besar kemungkinan mereka juga bisa datangkan fentanil seperti yang dilakukannya di negara lain. Karena itu kewaspadaan tinggi harus kita lakukan terhadap fentanil yang bisa bisa menghancurkan masa depan generasi muda.
Krisis Fentanil
Saat ini, Amerika Serikat sedang dilanda krisis fentanil. Kematian akibat overdosis fentanil telah menjadi krisis nasional, merenggut lebih dari 200 nyawa warga per hari, menurut Badan Penegakan Narkoba AS. Pada 2023 saja, sekitar 75.000 warga Amerika meninggal karena overdosis fentanil, peningkatan yang mengejutkan sebanyak 23 kali lipat dari 10 tahun lalu.
Tak heran jika Presiden AS Donald Trump telah mendeklarasikan keadaan darurat nasional akibat perdagangan gelap fentanil ke Amerika yang terus berlanjut. Krisis fentanil dipicu oleh rantai pasokan global yang terbentang dari Tiongkok, di mana bahan kimia itu diproduksi, hingga Meksiko, tempat para kartel mengoplos obat tersebut dan menyelundupkannya melintasi perbatasan ke AS dan negara lainnya.
Badan Penegak Obat-obatan (DEA) mengatakan pihaknya menyerang setiap aspek rantai pasokan global, menarget para produsen, penyelundup dan distributor fentanil. “Delapan kasus ini adalah hasil upaya DEA menyerang rantai pasokan fentanil di Tiongkok,” kata Kepala DEA Anne Milgram dalam konferensi pers. Selain prekursor (senyawa pembentuk) dan analog fentanil, perusahaan Tiongkok juga mengekspor zat aditif berbahaya berupa xylazine dan nitazine ke AS dan Meksiko.
Badan-badan investigasi memperingatkan bahwa keterlibatan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dalam sindikat itu tidak dapat disangkal karena miliaran dolar beredar dalam bisnis ini. Selain itu, PKT juga dituduh terlibat dalam perdagangan narkoba di Kolombia, dan wilayah lain di Amerika Selatan untuk meningkatkan pendapatannya.
Pasar narkoba terbesar adalah Amerika Serikat, tempat narkoba dikirim oleh penyelundup ke seluruh dunia. Selain itu, penyelundup Tiongkok juga aktif di negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand, Myanmar, Laos, dan Kamboja. Bahkan mungkin sampe ke negeri kita, Indonesia.
Dalam dekade terakhir, mafia Tiongkok telah menjadi pemain dominan dalam perdagangan obat-obatan terlarang, khususnya kartel Amerika Latin yang berurusan dengan zat-zat seperti fentanil.
Selama ini, Rezim PKT berkilah epidemi fentanil yang terjadi di AS sebagai “masalah mereka sendiri”. Namun menurut Yuan Hongbing, mantan profesor hukum di Universitas Peking di Tiongkok yang sekarang tinggal di Australia, epidemi opioid di Amerika jauh dari luka yang ditimbulkan sendiri seperti yang dituduhkan PKT.
Dunia tahu, rezim Tiongkok telah memainkan peran penting dalam krisis fentanil di Amerika, namun menyalahkan AS atas hal itu telah lama menjadi strategi pemimpin PKT Xi Jinping. Yuan, yang memiliki akses orang dalam ke para pemimpin senior PKT, mengatakan Xi secara konsisten memberikan arahan internal selama masa jabatan pertama dan kedua Trump bahwa Beijing harus mempertahankan narasi bahwa krisis narkoba di Eropa dan AS tidak terkait dengan Tiongkok.
Yuan mengatakan rezim tersebut juga telah diarahkan oleh Xi untuk menegaskan bahwa Tiongkok membuat prekursor kimia secara legal, dan jika mereka diubah menjadi obat-obatan mematikan dan diselundupkan ke AS atau Eropa, itu bukan tanggung jawab Tiongkok.
“Justru karena arahan Xi, kita sekarang melihat peningkatan dramatis dalam produksi prekursor fentanil dari Tiongkok dan ekspor bahan kimia ini, yang memicu krisis fentanil yang sedang berlangsung di Amerika Serikat,” kata Yuan seperti dikutip The Epoch Times.