Dua BUMN Masih Tanggung Beban Berat Kereta Cepat

adilnews | 14 April 2025, 11:47 am | 425 views

JAKARTA, ADILNEWS.COM- Pada 19 Maret 2025, tiba-tiba perdagangan saham PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau biasa disingkat WIKA, dihentikan oleh otoritas pasar modal, Bursa Efek Indonesia (BEI). Dalam surat PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), otoritas bursa terpaksa melakukan suspensi saham WIKA karena perusahaan plat merah itu gagal melunasi pembayaran obligasi dan sukuk yang sudah jatuh tempo.

Ketidaksanggupan WIKA dalam membayar tunggakan utang pokok dan bunga itu dianggap mengindikasikan adanya permasalahan keuangan yang serius maupun dalam kelangsungan usaha BUMN konstruksi tersebut sehingga bisa berdampak negatif pada investor.

Diketahui pada 2022, WIKA menerbitkan surat utang (Obligasi) senilai Rp 593,95 miliar, dan Sukuk sebesar Rp412,90 miliar. Dua surat utang itu jatuh tempo pada 18 Februari 2025 lalu. Namun karena keterbatasan likuiditas membuat WIKA menunda pembayaran atas keseluruhan nilai obligasi dan sukuk. Akibatnya saham perusahaan kontraktor yang berkantor pusat di Cawang Jakarta ini disuspensi BEI.

WIKA Tekor Banyak
Salah satu faktor masih meruginya WIKA adalah beban keterlibatannya dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) alias Whoosh. Hal itu diakui sendiri oleh Direktur Utama WIKA Agung Budi Waskito saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI di Senayan, pada 10 Juli 2024. Ia menyebut dua faktor penyebab utama bengkaknya kerugian, yakni beban bunga dan beban lain-lain.

Beban bunga meningkat akibat WIKA harus menerbitkan surat utang untuk urunan membiayai mega proyek Kereta Cepat (Whoosh). Beban lain yang ditanggung termasuk beban provisi dan beban administrasi dari utang yang diperoleh WIKA. “Beban lain-lain ini di antaranya mulai tahun 2022 kami sudah mencatat adanya kerugian dari PSBI atau kereta cepat,” jelas Agung.

Seperti diketahui, WIKA menjadi salah satu BUMN yang terlibat dalam proyek Kereta Cepat dalam konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Seluruh utang pembangunan proyek ini dibebankan ke KCIC. Konsorsium ini sendiri melibatkan sembilan perusahaan. Dari Indonesia ada empat BUMN yaitu Wijaya Karya, Jasamarga, Perkebunan Nusantara VIII, dan Kereta Api Indonesia (KAI). Sedangkan dari Tiongkok adalah China Railway International Company Limited, China Railway Group Limited, Sinohydro Corporation Limited, CRRC Corporation Limited, dan China Railway Signal and Communication Corp.

Saat itu, BUMN dari Indonesia membentuk badan usaha bernama PT. Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan dari Tiongkok membentuk konsorsium China Railway. Lalu kedua perusahaan gabungan itu kemudian membentuk konsorsium PT KCIC. Nah, PT PSBI ini memiliki saham sebesar 60 persen di PT KCIC. Sementara sisa saham 40 persen dikuasai konsorsium dari Tiongkok.

WIKA sendiri menyetor modal cukup besar melalui PSBI. “Penyertaannya saja sudah Rp 6,1 triliun (untuk konsorsium Proyek Kereta Cepat). Kemudian, yang masih dispute atau belum dibayar sekitar Rp 5,5 triliun, sehingga hampir Rp 12 triliun,” ungkapnya. Yang jadi masalah, dana yang disetorkan ke konsorsium untuk permodalan itu diperoleh WIKA melalui penerbitan surat utang dalam bentuk obligasi dan sukuk. Praktis, perusahaan harus terbebani dengan bunga yang tinggi. Selain beban bunga, WIKA juga tertekan karena PT. PSBI juga merugi.

Di PSBI, WIKA sendiri memiliki 39 persen saham. WIKA sebelumnya merupakan pimpinan konsorsium PSBI, sebelum digeser oleh KAI melalui revisi Perpres No.93/2021. Akibat PSBI masih merugi, sepanjang 2023, WIKA tekor sebesar Rp7,12 triliun. Kerugian WIKA meningkat sangat besar dibandingkan pada 2022 yang sebesar Rp59,59 miliar. Berdasar Laporan Keuangan Triwulan III-2024, total utang WIKA sudah menembus Rp 50,72 triliun.

Seperti diketahui, proyek kereta cepat didanai oleh pinjaman dari China Development Bank (75%) dan setoran modal pemegang saham (25%). Proyek Whoosh ini sempat terkendala karena bengkaknya kebutuhan investasi sebesar US$ 1,9 miliar atau dari semula Rp 27,17 triliun menjadi Rp 113,9 triliun. Terpaksa anggota konsorsium harus menanggung biaya tambahan tersebut sehingga kereta cepat bisa beroperasi pada Oktober 2023.

Tak heran jika sepanjang tahun 2023, perusahaan pelat merah ini merugi Rp7,12 triliun. Kerugian perseroan ini meningkat sangat besar dibandingkan kerugian tahun 2022 yang ‘hanya’ Rp59,59 miliar. Kerugian tersebut membuat WIKA terpaksa harus meminta penyertaan modal negara (PMN) pada 2025 ini sebesar Rp. 2 triliun untuk membantu penguatan modal kerja. PMN itu akan dialokasikan untuk tambahan modal proyek strategis yang masih berjalan (Whoosh) dan proyek baru pada 2025 ini.

KAI Terlilit Utang
Tidak hanya WIKA, PT KAI juga mengalami masalah yang hampir sama akibat beban keterlibatannya dalam proyek Kereta Cepat. Konsisten naik sejak 2020, posisi utang KAI naik dari Rp50,46 triliun pada 2023 menjadi Rp56,5 triliun pada kuartal I 2024.

Pada 2020, aset KAI mencapai Rp53,15 triliun dan utang Rp35,92 triliun. Angka ini meningkat pada 2021. Aset naik menjadi Rp62,71 triliun dan utang Rp39,11 triliun. Aset itu kembali naik menjadi Rp71,58 triliun pada 2022, sedangkan utang naik Rp42,5 triliun. Aset dan utang KAI kembali naik pada 2023 menjadi Rp81,3 triliun dan Rp50,46 triliun.

Utang KAI naik dari Rp50,46 triliun pada 2023 menjadi Rp56,56 triliun pada kuartal I 2024. Kenaikan utang atau liabilitas itu terjadi seiring dengan beroperasinya kereta cepat Whoosh dan LRT Jabodetabek. Proyek KCJB atau Whoosh berkontribusi besar atas bengkaknya kerugian yang dialami KAI pada tahun buku 2023.

KAI bersama WIKA menjadi bagian dari PSBI yang menjadi pemegang saham pengendali di PT Kereta Cepat Indonesia-China. Di PSBI, beban terbesar harus ditanggung PT KAI sebagai pemimpin konsorsium dengan kepemilikan saham 60%. Sejak 2022, mereka sudah mencatat adanya kerugian dari PSBI atau kereta cepat

Untuk membayar beban biaya proyek Whoosh, KAI menggunakan dana pinjaman yang diterima dari China Development Bank (CDB) sejak 7 Februari 2024. Jumlahnya US$1,2 miliar untuk menutup pembengkakan biaya atau cost overrun Whoosh antara lain untuk membayar biaya konstruksi kepada sejumlah kontraktor. “Kan kontraktornya banyak, ada yang dari China, Indonesia, dari mana-mana kita selesaikan,” ujar EVP Corporate Secretary KAI, Raden Agus Dwinanto Budiadji.

Beruntung demi memperkuat perusahaan dan kelancaran proyek Whoosh, KAI tidak diwajibkan membagi dividen kepada negara selama periode 2021-2023. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta pada 9 Juli 2024, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko KAI Salusra Wijaya mengatakan keputusan ini sesuai dengan arahan Komite Kereta Cepat, yang terdiri dari Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, dan Menteri BUMN.

“Sejak 2021, KAI mendapat amanah dari Komite Kereta Cepat untuk menahan dividen untuk penguatan keuangan KAI … Jadi tidak ada porsi dividen,” ujar Salusra.

Sebagai gambaran, KAI mencatat total kontribusi kepada penerimaan negara pada 2018 sebesar Rp3,9 triliun, kemudian naik menjadi Rp4,4 triliun pada 2019 melalui pajak dan PNBP atau penerimaan negara bukan pajak. Namun, pada 2020 dan 2021, kontribusi KAI dalam bentuk PNBP dan pajak menurun karena pandemi COVID-19 yang menyebabkan operasional kereta api mengalami penurunan kinerja. Kontribusi KAI kepada negara pada 2020 sebesar Rp3 triliun dan pada 2021 Rp2,9 triliun.

Beban keuangannya yang berat, membuat KAI mengajukan PMN sebesar Rp1,8 triliun pada tahun anggaran 2025 untuk menuntaskan proyek Whoosh dan mendukung pengadaan sarana KRL Jabodetabek, termasuk mendatangkan 11 rangkaian kereta baru dari Tiongkok. Selama periode 2015-2022, total PMN tunai yang diterima KAI sebesar Rp17,7 triliun, yang seluruhnya dipakai untuk penugasan proyek kereta cepat, dan LRT Jabodetabek.

Salah Tata Kelola
Beban berat yang ditanggung WIKA dan KAI dalam proyek kereta cepat, apakah sudah sudah dipertimbangkan resikonya? Pengamat BUMN dari Datanesia Institute, Herry Gunawan, menilai, ada yang salah dari tata kelola proyek Whoosh sehingga menjadi beban. Masalah tata kelola dalam perencanaan proyek ambisius itu terlihat dari pembengkakan biaya proyek dari kesepakatan 6,07 miliar dollar AS (Rp 91,5 triliun) menjadi 8 miliar dollar AS (Rp 120 triliun).

Alih-alih ditanggung oleh kontraktor, pembengkakan biaya proyek justru dibebankan kepada konsorsium, yakni PT PSBI. Beban keuangan turut ditanggung WIKA dan KAI karena sejak awal dua BUMN itu ditugasi menjadi pendamping kontraktor sehingga terkena imbas beban pada fase konstruksi. “Itu peta awalnya. Jadi, masalah utama di tata kelola proyek yang antara lain adanya pembengkakan biaya proyek,” kata Herry seperti dikutip Kompas.

Secara teknis, kata Herry, terlalu menggebunya pemerintah Jokowi mewujudkan kereta api cepat, tanpa mempertimbangkan aspek ekonomi secara bisnis. Kondisi ini membuat Indonesia nyaris tidak punya posisi tawar di hadapan investor dan kontraktor dari Tiongkok. Posisi negosiasi yang rendah membuat pihak Indonesia yang terlibat dalam proyek ini semakin enggan transparan mengungkap permasalahan yang ada. Di sisi lain, keuangan perusahaan negara yang mendapat mandat dalam proyek ini akan terus terbebani.

“Seluruh beban ini akan terus terbawa sampai bertahun-tahun ke depan. Apalagi kereta cepat sulit memenuhi skala ekonomi,” kata Herry.

Sebelumnya, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), almarhum Faisal Basri pernah mencontohkan WIKA yang sepanjang tahun 2023 lalu telah menelan kerugian hingga Rp 7,12 triliun. Menurut Faisal, kerugian itu muncul karena penugasan dari pemerintah yang melampaui kemampuan BUMN. Jika hal ini diteruskan, katanya, satu per satu perusahaan pelat merah akan tumbang.

Bila tidak dibereskan, lanjut Faisal, permasalahan itu juga akan berlanjut di era pemerintahan Prabowo Subianto. “Meledak satu-satu,” kata Faisal di Jakarta Selatan pada 16 Juli 2024.

Tak hanya WIKA, Faisal memprediksi PT KAI juga berpotensi merugi karena proyek sepur kilat dengan nilai kerugian mencapai Rp 108 triliun. Per Januari 2024 lalu, KAI telah memangkas layanan kereta Argo-Parahyangan karena kinerja Whoosh yang tak membaik. “Maksimal lima tahun dia nyerah, kalau lima tahun begini terus,” tandas ekonom senior UI itu. Bila demikian, negara harus mengambil alihnya secara keseluruhan.

Pemaksaan proyek kereta cepat yang melampaui kemampuan BUMN itu juga, menurut Faisal, akan menyebabkan pemerintah setiap tahun harus menyuntik modal dari APBN. Tahun 2025, 16 BUMN akan disuntik Penyertaan Modal Negara senilai total Rp 44,24 triliun.

Jadi benarkan kekuatiran sejumlah kalangan, pada akhirnya proyek kereta cepat yang diklaim pemerintah sebagai skema B to B, ternyata tetap saja negara menjaminnya dengan dana APBN. Ketika dua perusahaan negara tak mampu lagi menanggung beban pembengkakan biaya, pemerintah menutupnya dengan APBN lewat pemberian penyertaan modal negara.*****

Berita Terkait